Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Belajar Menulis Puisi tentang Ibu, Sambil Berlari Terbirit-birit di Sebuah Kelas Berjalan

23 Desember 2020   00:09 Diperbarui: 23 Desember 2020   00:16 403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dahsyat, Lae.

Begitu jawaban singkat dari seorang Khrisna Pabichara, tepat 2 menit kemudian setelah saya menyetorkan sebuah puisi untuk diponten olehnya. Tentu saja dengan sedikit catatan atas beberapa kekeliruan.

Puisi itu sendiri berhasil saya anggit tepat 6 menit kemudian, sejak pertama kali dia tugaskan kepada kami. Ini adalah pertemuan ke-5 di kelas "Menulis Bersama KPB dan KP", pada Selasa, 22/12/2020.

Mengapa saya mengatakan bahwa saya berhasil? Sebab catatan perbandingan waktu 1:3, antara waktu yang dibutuhkan oleh seorang guru untuk melakukan penilaian dan waktu yang dihabiskan oleh seorang murid untuk menyelesaikan tugas yang dibebankan, bagi saya adalah sebuah catatan waktu yang tak terlalu buruk.

Namun, apakah ini hebat? Bagi seorang guru di kelas berjalan seperti ini, jawabannya tentu ya. Sebab setengah dari 51 orang yang menjadi murid di kelas ini biasanya selalu hadir mengikuti kelas. Memeriksa hasil karya para murid yang keluar dari batok kepala dengan isi yang beragam, dan dalam tempo yang hampir bersamaan seperti ini tentu tidak mudah.

Ini pun adalah buah dari kemajuan zaman. Teknologi memungkinkan kelas berjalan, dimana murid-murid bisa mengumpulkan tugas mereka dalam waktu hampir bersamaan, tanpa pernah saling beradu pandang. Teman sekelas sebagian besarnya tak saling kenal rupa, begitupun dengan gurunya.

Kini, guru dan para murid dimungkinkan hanya bertemu dalam gagasan, lewat kata-kata sebagai jembatan.

Merenungi kenyataan ini, karena sudah lama meninggalkan bangku sekolah, aku jadi berpikir, jangan-jangan pepatah yang berbunyi "Guru kencing berdiri, murid kencing berlari" sudah habis dimakan zaman. Tidakkah lebih tepat untuk mengatakan, bahwa "Guru mengajar sambil berjalan, murid belajar terbirit-birit?"

Perkara murid dan guru dalam model kelas seperti ini, barangkali adalah juga sebagian potret kenyataan dalam ruang-ruang kelas pendidikan kita. Mulai dari murid-murid taman bermain hingga anak-anak kuliahan. Di mana hampir semuanya sudah pindah ke moda digital pada masa pandemi seperti saat ini, dan tak tahu akan berlangsung sampai kapan.

Kembali ke tugas puisi.

Tugas puisi yang bisa selesai dianggit dalam tempo 6 menit itu adalah sebuah puisi yang terdiri atas tiga bait. Masing-masing bait terdiri atas tiga baris, dan tiap-tiap barisnya terdiri atas tiga kata.

Menurut teman saya yang juga seorang pencinta puisi, bernama Al Kedi, jenis puisi seperti ini disebut puisi terzina. Puisi ini bisa juga disebut dengan tiga seuntai, bisa diartikan sebagai tiga baris dalam satu tujuan.

Dia, Al Kedi itu, mencontohkannya melalui salah satu jenis puisi yang dianggit oleh sang maestro, mendiang Sapardi Djoko Damono, yang meninggal pada 19 Juli 2020 silam dalam usia 80 tahun. Puisi itu berjudul "Aku Ingin".

Mengenai ulasan tentang itu bisa dibaca pada artikel yang ditulis oleh rekan saya itu di sini.

Mengapa singkat, dalam kelas berjalan dan terbirit-birit?

Perkara ini tidak lain karena kelas menulis pada pertemuan ke-5 ini dilakukan secara jarak jauh, pada pukul 19.00 sampai dengan pukul 21.30 WIB. Itu dilakukan oleh sang guru yang mengajar sambil duduk di dalam sebuah mobil yang membawanya dalam perjalanan pulang ke rumahnya.

Lalu bagaimana dengan murid-muridnya, kami? Itu pun mungkin tidak kalah serunya.

Saya tidak tahu dengan rekan yang lainnya. Barangkali ada yang masih tiduran, karena ada yang tinggal di luar negeri, yang tentu saja berada pada zona waktu yang berbeda. Menyebutkan nama tempatnya pun aku tak mampu. Mungkin juga ada yang sambil berlari terbirit-birit mengejar angkutan umum, karena itu memang jam pulang kerja bagi sebagian kelas pekerja.

Saya sendiri, mengikuti kelas ini sambil terengah-engah. Bukan saja karena badan saya yang sudah agak tambun, tapi juga karena saya mengikuti kelas saat hendak pulang kantor, usai menemani rekan yang ditimpuki beban kerja yang menumpuk sebagaimana biasanya menjelang akhir tahun. Tak lain, adalah soal pertanggungjawaban keuangan.

Sebelum menulis puisi itu, kami diberikan bahan bacaan sebagai sebuah pengantar. Bagi yang mau ikut belajar membuat puisi, atau terpikir untuk berpuisi di malam dingin berbintang seperti malam ini di kampung saya, bolehlah ikut membaca tulisan ini.

Saya kira, Daeng Khrisna, guru kelas kami itu, tidak akan marah bila saya membagikan bahan bacaan sebagai pengantar, yang juga merupakan tulisannya di Kompasiana dari dua tahun yang lalu itu. Mengajar sambil berjalan tanpa dibayar saja dia mau, mengapa pula membagikan ilmunya di sini dia bisa marah?

Oh ya, katanya cukup waktu 10 menit saja bagi kita untuk membacanya sambil mencerna makna yang bisa diambil dari tulisannya, tentu saja. Setelahnya, dia memberikan tugas selanjutnya terkait dengan permainan ingatan dalam imaji kata-kata.

Jangan kira 10 menit ini waktu yang lama. Sebab mengajar sambil meladeni jawaban dan pertanyaan yang bergemuruh di antara ujaran-ujaran para murid sambil berjalan, bukan saja membutuhkan energi yang memadai. Seingatku, kalau dulu saat masih duduk di bangku SD hingga SMA, dari masa sejak 1990 hingga 2001, guru saya bisa saja melemparkan penghapus papan tulis yang terbuat dari kayu keras, dan mendarat tepat di kening murid yang suka bercakap-cakap saat jam pelajaran.

Bagaimana kontras realitas ini tidak pantas dijadikan alasan untuk mengubah berbagai pepatah dan ungkapan dalam dunia pendidikan kita yang tampaknya memang tak akan pernah lagi sama dengan masa lalu itu? Apalagi dia bukan seorang guru yang dibayar, paling banyak dia kami doakan, dan dia tidak mungkin melemparkan penghapus papan tulis.

Apa manfaat belajar menulis puisi di sebuah kelas berjalan?

Bagi saya pribadi, manfaat yang saya dapatkan dari bahan pengantar di atas bila harus dituliskan dalam kuota maksimal 30 kata, adalah bahwa: "Dalam membuat puisi, kita terlebih dahulu perlu menentukan gagasan, membentuk bingkai, dan menentukan diksi. Gagasan bertumpu pada isi, bukan bertolak dari iri. Jangan pedulikan tentang rasa yang taksama."

Kutipan ini berasal dari tulisan guru menulis itu. Namun, ini bukan bahan contekan. Sebab menulis puisi adalah soal rasa. Contekan setelanjang apapun bisa menghasilkan berbagai rasa yang berbeda bagi setiap orang yang berpuisi. Kecuali bila itu hanya sekadar angan-angan dan tak kunjung dituliskan. Itu mimpi saja, kawan!

Ini adalah sebuah contoh puisi yang usianya hanya 5 menit dalam kandungan, dan saya lahirkan pada menit ke-6. Temanya adalah tentang ibu, dengan subtema kehilangan. Lagipula menurutku, tentang ibu ada begitu banyak hal yang bisa dituliskan, karena bagiku, ibu selalu dan selamanya adalah Women of The Year versi saya.

Ke mana kucari
Ibu telah kembali
Pulang menitipkan nelangsa

Tak memesan titimangsa
Semua terjadi tetiba
Terselip gundah gulana

Bunda, oh ibuku
Nirmala puncak ancala
Panar kutatap swargaloka

Larut dalam keasyikan mengikut kelas menulis puisi, yang sebenarnya hanya terjadi di layar telefon genggamku, malam ini hampir kuinjak seekor anjing yang lagi tiduran di tengah jalan. Pada malam hari, jalan ini sungguh sangat gelap, tiada lampu jalan. Untung aku tak digigitnya.

Anjingnya pun mungkin keheranan, karena tanpa sengaja tak kuhiraukan dia penguasa di sana. "Main labrak saja orang ini," pikirnya. Dalam batinku, "Ini soal rasa, Bung!" Padahal anjingnya tak pernah bertanya.

Delapan tulisan terakhir saya di Kompasiana adalah puisi. Sebagai seorang yang sudah merasa nyaman menulis artikel tentang pernak-pernik realitas di sekitar rumah dan tempat saya tinggal sekarang, di Kabanjahe, Tanah Karo, kini saya mencoba merasai. Seperti apa rasanya menulis puisi, sekalipun mungkin tanpa apresiasi memadai.

Semakin lama ternyata aku semakin kerasukan, rasa kata-kata yang semakin merasuki nurani. Entah sampai kapan akan bertahan seperti ini. Inilah pengalamanku belajar menulis puisi tentang ibu sambil terbirit-birit, terengah-engah, dan hampir digigit anjing, di sebuah kelas berjalan bersama Daeng Khrisna Pabichara. Salam takzim.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun