Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Belajar Menulis Puisi tentang Ibu, Sambil Berlari Terbirit-birit di Sebuah Kelas Berjalan

23 Desember 2020   00:09 Diperbarui: 23 Desember 2020   00:16 403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Andrea Piacquadio from Pexels

Jangan kira 10 menit ini waktu yang lama. Sebab mengajar sambil meladeni jawaban dan pertanyaan yang bergemuruh di antara ujaran-ujaran para murid sambil berjalan, bukan saja membutuhkan energi yang memadai. Seingatku, kalau dulu saat masih duduk di bangku SD hingga SMA, dari masa sejak 1990 hingga 2001, guru saya bisa saja melemparkan penghapus papan tulis yang terbuat dari kayu keras, dan mendarat tepat di kening murid yang suka bercakap-cakap saat jam pelajaran.

Bagaimana kontras realitas ini tidak pantas dijadikan alasan untuk mengubah berbagai pepatah dan ungkapan dalam dunia pendidikan kita yang tampaknya memang tak akan pernah lagi sama dengan masa lalu itu? Apalagi dia bukan seorang guru yang dibayar, paling banyak dia kami doakan, dan dia tidak mungkin melemparkan penghapus papan tulis.

Apa manfaat belajar menulis puisi di sebuah kelas berjalan?

Bagi saya pribadi, manfaat yang saya dapatkan dari bahan pengantar di atas bila harus dituliskan dalam kuota maksimal 30 kata, adalah bahwa: "Dalam membuat puisi, kita terlebih dahulu perlu menentukan gagasan, membentuk bingkai, dan menentukan diksi. Gagasan bertumpu pada isi, bukan bertolak dari iri. Jangan pedulikan tentang rasa yang taksama."

Kutipan ini berasal dari tulisan guru menulis itu. Namun, ini bukan bahan contekan. Sebab menulis puisi adalah soal rasa. Contekan setelanjang apapun bisa menghasilkan berbagai rasa yang berbeda bagi setiap orang yang berpuisi. Kecuali bila itu hanya sekadar angan-angan dan tak kunjung dituliskan. Itu mimpi saja, kawan!

Ini adalah sebuah contoh puisi yang usianya hanya 5 menit dalam kandungan, dan saya lahirkan pada menit ke-6. Temanya adalah tentang ibu, dengan subtema kehilangan. Lagipula menurutku, tentang ibu ada begitu banyak hal yang bisa dituliskan, karena bagiku, ibu selalu dan selamanya adalah Women of The Year versi saya.

Ke mana kucari
Ibu telah kembali
Pulang menitipkan nelangsa

Tak memesan titimangsa
Semua terjadi tetiba
Terselip gundah gulana

Bunda, oh ibuku
Nirmala puncak ancala
Panar kutatap swargaloka

Larut dalam keasyikan mengikut kelas menulis puisi, yang sebenarnya hanya terjadi di layar telefon genggamku, malam ini hampir kuinjak seekor anjing yang lagi tiduran di tengah jalan. Pada malam hari, jalan ini sungguh sangat gelap, tiada lampu jalan. Untung aku tak digigitnya.

Anjingnya pun mungkin keheranan, karena tanpa sengaja tak kuhiraukan dia penguasa di sana. "Main labrak saja orang ini," pikirnya. Dalam batinku, "Ini soal rasa, Bung!" Padahal anjingnya tak pernah bertanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun