Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Belajar Menulis Puisi tentang Ibu, Sambil Berlari Terbirit-birit di Sebuah Kelas Berjalan

23 Desember 2020   00:09 Diperbarui: 23 Desember 2020   00:16 403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Andrea Piacquadio from Pexels

Menurut teman saya yang juga seorang pencinta puisi, bernama Al Kedi, jenis puisi seperti ini disebut puisi terzina. Puisi ini bisa juga disebut dengan tiga seuntai, bisa diartikan sebagai tiga baris dalam satu tujuan.

Dia, Al Kedi itu, mencontohkannya melalui salah satu jenis puisi yang dianggit oleh sang maestro, mendiang Sapardi Djoko Damono, yang meninggal pada 19 Juli 2020 silam dalam usia 80 tahun. Puisi itu berjudul "Aku Ingin".

Mengenai ulasan tentang itu bisa dibaca pada artikel yang ditulis oleh rekan saya itu di sini.

Mengapa singkat, dalam kelas berjalan dan terbirit-birit?

Perkara ini tidak lain karena kelas menulis pada pertemuan ke-5 ini dilakukan secara jarak jauh, pada pukul 19.00 sampai dengan pukul 21.30 WIB. Itu dilakukan oleh sang guru yang mengajar sambil duduk di dalam sebuah mobil yang membawanya dalam perjalanan pulang ke rumahnya.

Lalu bagaimana dengan murid-muridnya, kami? Itu pun mungkin tidak kalah serunya.

Saya tidak tahu dengan rekan yang lainnya. Barangkali ada yang masih tiduran, karena ada yang tinggal di luar negeri, yang tentu saja berada pada zona waktu yang berbeda. Menyebutkan nama tempatnya pun aku tak mampu. Mungkin juga ada yang sambil berlari terbirit-birit mengejar angkutan umum, karena itu memang jam pulang kerja bagi sebagian kelas pekerja.

Saya sendiri, mengikuti kelas ini sambil terengah-engah. Bukan saja karena badan saya yang sudah agak tambun, tapi juga karena saya mengikuti kelas saat hendak pulang kantor, usai menemani rekan yang ditimpuki beban kerja yang menumpuk sebagaimana biasanya menjelang akhir tahun. Tak lain, adalah soal pertanggungjawaban keuangan.

Sebelum menulis puisi itu, kami diberikan bahan bacaan sebagai sebuah pengantar. Bagi yang mau ikut belajar membuat puisi, atau terpikir untuk berpuisi di malam dingin berbintang seperti malam ini di kampung saya, bolehlah ikut membaca tulisan ini.

Saya kira, Daeng Khrisna, guru kelas kami itu, tidak akan marah bila saya membagikan bahan bacaan sebagai pengantar, yang juga merupakan tulisannya di Kompasiana dari dua tahun yang lalu itu. Mengajar sambil berjalan tanpa dibayar saja dia mau, mengapa pula membagikan ilmunya di sini dia bisa marah?

Oh ya, katanya cukup waktu 10 menit saja bagi kita untuk membacanya sambil mencerna makna yang bisa diambil dari tulisannya, tentu saja. Setelahnya, dia memberikan tugas selanjutnya terkait dengan permainan ingatan dalam imaji kata-kata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun