Teman saya yang mengatakan ini memang seorang perempuan Jawa, Dewi Lely namanya. Menarik makna dari ungkapan dahsyatnya itu, maksudnya barangkali, apabila seorang warga meliput kenyataan lapangan dan menyajikannya dalam bentuk cerita, bukan sekadar berita, maka pancaindra akan terasah melahirkan karya jurnalistik yang berdimensi lima cinta.
Ahhh, lagi-lagi. Bukankah ini terlalu membikin pusing kepala? Bagaimana pula aku akan mewujudkan kalimat mbak dokter gigi Dewi, temanku itu, bila membandingkannya dengan bujukan maut kang Hikmat, dalam balutan seringai misteriusnya. Katanya "Katakan sebanyak-banyaknya hal dengan sesingkat-singkatnya."
Bagaimana pula aku akan menceritakan kenyataan-kenyataan yang membikin pusing kepala ini dalam tulisan yang sesingkat-singkatnya, sementara perjalanan belum pula sampai separuh jalan ke tujuan? Sementara itu waktu yang tersedia untuk mencari bahan cerita saja tidak penuh lagi sepertiga hari.
Biarlah kisah liputannya dibuat untuk hari lain. Untuk hari ini cukuplah mengutip kalimat Romo Shindunata, seorang jurnalis dengan jejak langkah yang panjang, yang ucapannya diucapkan ulang oleh kang Hikmat dalam vokal teatrikalnya itu, "Bagi saya pekerjaan pertama wartawan adalah pekerjaan kaki, baru kemudian pekerjaan tangan."
Ternyata betul, begitu keluar dari mobil, sepatuku langsung kotor. Jalanan berlumpur, beberapa hari ini hujan nyaris tanpa henti.
Ada banjir, ada longsor. Itu bukan hanya soal pancaindra dan pancatresna. Di sana ada tangisan, ada nestapa. Dari orang-orang yang kehilangan, tidak saja harta benda, tapi juga nyawa keluarganya.Â
Baiklah, terjun ke dalam kenyataan, menjejak lapangan, sepatu memang harus kotor, ya Romo?
Aku menyelami kenyataan, bahwa sepatu kotor adalah indikasi bahwa aku tidak sedang menjejakkan kaki di surga. Ladangku adalah bentangan tanah dengan sederet fakta-fakta yang tidak terisolasi. Setiap fakta tersebar saling berhubungan. Mungkin aku memang sedang belajar menjadi wartawan, jurnalisme warga.
Sebab di dalamnya, aku tidak hanya menjadi konsumen media, yang hanya menelan segala sesuatunya. Memang aku tidak sempurna, tapi aku berhak membuat, mengawasi, mengoreksi, menanggapi, atau sekadar memilih informasi yang ingin aku baca.
Hei, Bung! Aku terlibat di dalam cerita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H