Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Jurnalisme Warga, Sepatu Kotor di Antara Harapan dan Kenyataan

4 Desember 2020   23:37 Diperbarui: 5 Desember 2020   07:22 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Lucas Pezeta from Pexels


Kamis, 3/12/2020. Waktu menunjukkan pukul 14 lebih lima belas menit. Aku yang duduk di balik setir tidak sabar lagi untuk segera memacu mobil menuju Siosar. Itu adalah sebuah kawasan relokasi, hunian tetap bagi warga pengungsi erupsi Gunung Sinabung.

Hari itu aku bersama seorang rekan kerja membawa dua orang tamu agung dari Bandung. Mereka berdua jurnalis, setidaknya senang menulis, dan membaca puisi. Kang Hikmat dan teteh Nisa, namanya.

"Ini aku Yus! Teo, abang Jeny". Demikian aku menelefon seorang teman, Yus, namanya, sesaat sebelum mobil keluar dari gerbang hotel. Dia pengusaha kopi dan pemilik cafe. Belum lagi sampai di jalan besar, alih-alih sampai di Siosar, aku juga sudah tak sabar memastikan kehadiran kami nanti di cafe teman saya itu.

Begitulah, rencana kami satu hari itu, sebenarnya lebih tepatnya sepertiga hari. Melakukan liputan langsung, setidaknya ke tiga tempat dengan tiga atau lebih narasumber. Saya adalah seorang supir yang juga sedang berlagak menjadi seorang jurnalis yang akan melakukan reportase, hari itu.

Di telinga saya masih terngiang kuliah kang Hikmat di kelas tadi pagi. Dia, menceritakan sebuah kisah tentang Gabriel Garcia Marquez.

Gabo, sapaan lazimnya, adalah seorang sastrawan pemenang Nobel, juga seorang jurnalis. Menurut Gabo "Jurnalisme adalah sebentuk sastra", dan reportase di matanya adalah cerita.

Gabo menyampaikan hal itu, ketika dia menjadi mentor dalam lokakarya reportase kepada tiga puluh jurnalis Amerika Latin, yang diadakan Yayasan Jurnalisme Ibero-Amerika Baru.

Jurnalis dengan medium utama kerjanya adalah kata-kata, yang disebut sebagai irama oleh Gabo, bukanlah rangkaian bahasa yang bertele-tele dan disampaikan dengan mendayu-dayu. Jurnalis menurutnya perlu latihan untuk mengasah insting. Keahlian khas seorang jurnalis tidak terbentuk dari sebuah peristiwa kebetulan, tapi kepekaan insting yang dilatih.

Waduh, lirih hati dari kuliah kang Hikmat tadi pagi semakin membikin kepala pusing. Apalagi mendengarkan suara hati sendiri sambil menyetir, di jalanan dengan para pengendara yang juga tampaknya melaju dengan tergesa-gesa. "Pemandangan jalanan inikah gambaran jurnalisme sebagai sastra yang tergesa-gesa itu?", pikirku.

Bagaimanapun, kalimat pendek dari seorang rekan yang suka puisi membuatku menguatkan tekad hari itu. Pancaindra akan melahirkan pancatresna, dalam lapangan jurnalisme warga (citizen journalism).

Teman saya yang mengatakan ini memang seorang perempuan Jawa, Dewi Lely namanya. Menarik makna dari ungkapan dahsyatnya itu, maksudnya barangkali, apabila seorang warga meliput kenyataan lapangan dan menyajikannya dalam bentuk cerita, bukan sekadar berita, maka pancaindra akan terasah melahirkan karya jurnalistik yang berdimensi lima cinta.

Ahhh, lagi-lagi. Bukankah ini terlalu membikin pusing kepala? Bagaimana pula aku akan mewujudkan kalimat mbak dokter gigi Dewi, temanku itu, bila membandingkannya dengan bujukan maut kang Hikmat, dalam balutan seringai misteriusnya. Katanya "Katakan sebanyak-banyaknya hal dengan sesingkat-singkatnya."

Bagaimana pula aku akan menceritakan kenyataan-kenyataan yang membikin pusing kepala ini dalam tulisan yang sesingkat-singkatnya, sementara perjalanan belum pula sampai separuh jalan ke tujuan? Sementara itu waktu yang tersedia untuk mencari bahan cerita saja tidak penuh lagi sepertiga hari.

Biarlah kisah liputannya dibuat untuk hari lain. Untuk hari ini cukuplah mengutip kalimat Romo Shindunata, seorang jurnalis dengan jejak langkah yang panjang, yang ucapannya diucapkan ulang oleh kang Hikmat dalam vokal teatrikalnya itu, "Bagi saya pekerjaan pertama wartawan adalah pekerjaan kaki, baru kemudian pekerjaan tangan."

Ternyata betul, begitu keluar dari mobil, sepatuku langsung kotor. Jalanan berlumpur, beberapa hari ini hujan nyaris tanpa henti.

Ada banjir, ada longsor. Itu bukan hanya soal pancaindra dan pancatresna. Di sana ada tangisan, ada nestapa. Dari orang-orang yang kehilangan, tidak saja harta benda, tapi juga nyawa keluarganya. 

Baiklah, terjun ke dalam kenyataan, menjejak lapangan, sepatu memang harus kotor, ya Romo?

Aku menyelami kenyataan, bahwa sepatu kotor adalah indikasi bahwa aku tidak sedang menjejakkan kaki di surga. Ladangku adalah bentangan tanah dengan sederet fakta-fakta yang tidak terisolasi. Setiap fakta tersebar saling berhubungan. Mungkin aku memang sedang belajar menjadi wartawan, jurnalisme warga.

Sebab di dalamnya, aku tidak hanya menjadi konsumen media, yang hanya menelan segala sesuatunya. Memang aku tidak sempurna, tapi aku berhak membuat, mengawasi, mengoreksi, menanggapi, atau sekadar memilih informasi yang ingin aku baca.

Hei, Bung! Aku terlibat di dalam cerita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun