Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Memento Mori", Ingat Hari Mati, Selamat Memberi Arti Hidup

30 November 2020   13:23 Diperbarui: 30 November 2020   13:31 805
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://www.flickr.com/photos/photosightfaces/5815091703/ by Brett Davies

Foto seorang bocah dengan layang-layang karya Brett Davies di atas menunjukkan seorang bocah lelaki yang sangat antusias menerbangkan layang-layangnya, dengan latar belakang pemandangan hangat matahari terbenam di tepian kota Galle, bagian Selatan Sri Lanka.

Seminggu yang lalu, tepatnya Minggu, 22/11/2020, adalah ibadah Minggu akhir kalender gerejawi di Gereja Batak Karo Protestan (GBKP). Dalam tradisi sebagian gereja, pada minggu terakhir kalender gerejawi ini disebutkan nama-nama mereka, anggota jemaat yang meninggal selama satu tahun pelayanan. Hal itu dimaksudkan untuk mengenang perjalanan hidup, kasih, dan karya yang telah mereka perbuat selama hidupnya.

Sedangkan, bagi jemaat yang masih hidup, mengenang mereka yang sudah pergi lebih dulu berguna untuk mengingatkan, bahwa hidup di dunia hanyalah sementara. Saat hidup di dunialah kita memiliki kesempatan untuk memberi arti kematian kita nanti.

"Memento mori", ingatlah hari matimu.

Ada sebuah firman dari nats Alkitab pada kitab Pengkhotbah Pasal 1 ayat 11, katanya, "Kenang-kenangan dari masa lampau tidak ada, dan dari masa depan yang masih akan datang pun tidak akan ada kenang-kenangan pada mereka yang hidup sesudahnya".

Shakespeare pernah menulis cerita dengan kalimat yang diucapkan oleh Hamlet, katanya "Suatu hari kita berjalan-jalan di atas bumi, lalu pada hari berikutnya kita mati dan hilang." Kalimat di atas, dalam pemaknaan hidup pada periode Barok adalah semacam kritik atas kehidupan yang ditandai oleh kepalsuan, sikap hidup yang dibuat-buat.

Oleh sebab pada saat yang sama, nyatanya tidak kurang banyak orang yang sangat gandrung dengan sisi lain zaman pada masa itu, yakni hakikat kesementaraan dari segala sesuatu. Sadar atau tidak, kenyataannya bahwa seluruh keindahan yang mengelilingi hidup suatu hari akan musnah.

Hari ini kita bisa saja merasakan kebahagiaan meluap, dan seolah akan selamanya menjalani hari dengan sikap hidup yang sangat optimis. Kita berteriak "Carpe diem!". Bersemangat merebut setiap kesempatan pada hari ini. Ya, kalau tidak sekarang kapan lagi!

Belum tentu, sesaat setelah itu, tanpa menunggu hari berganti, sisi lain kehidupan dalam rupa kemurungan karena kesusahan akan membuat kita tersadar bahwa kita suatu saat pasti akan mati, "memento mori". Tertawa jangan terlalu, menangis juga jangan terlalu, sebab kita di dunia ini hanya hidup sementara. Hidup di antara optimisme dan kesenduan yang silih berganti.

Kita perlu menjalani hidup dengan penuh kasih dan pengertian terhadap sesama. Kalaupun ada yang mampu selalu tampak dewasa bukan berarti dia tidak dirundung oleh masalah.

Apalagi bagi mereka, sesama kita, yang terpaksa "mengungsi" dalam kehidupan. Mengungsi karena rasa takut akibat ancaman, entah karena bencana alam, perang, ataupun ancaman rasa kebencian. Patut kita renungkan, bahwa sebenarnya siapa pun kita, kita bersama-sama adalah pengungsi di kehidupan dunia yang sementara ini?

Mengapa masih ada tersisa rasa benci yang begitu hakiki kepada sesama sendiri, bila kita sama-sama mengungsi di atas pasir padang gurun atau tanah rimba raya belantara kehidupan, yang tanpa diminta pun, nyatanya sudah penuh kesusahan ini?

Melepas Minggu akhir tahun gereja, dan memasuki masa-masa penantian kelahiran Kristus dalam minggu-minggu Adven ke depan, mari mengheningkan cipta bagi saudara-saudara yang sudah lebih dahulu meninggalkan kita oleh karena berbagai sebab. Kepada mereka yang menderita di bawah ketakutannya karena tidak menemukan perhentian sementara dari pelariannya, yang sebenarnya dalah pelarian kita bersama.

Mengheningkan cipta untuk mengenang mereka dalam hari yang muram dingin ini, sambil berharap esok hari akan menjadi lebih hangat dari hari ini. Bagaimana pun semangat untuk merebut hari ini suatu saat akan usai, meninggalkan kita untuk mengingat hari kematian kita sendiri. Bukankah saling mencintai lebih baik bila begini dan begitu adanya?

Apapun alasannya, kita manusia tidak lebih dari setitik debu di antara luasnya alam raya. Siapakah kita sehingga merasa layak dan berkuasa sebagai hakim untuk menentukan sendiri mana yang salah dan mana yang benar, yang boleh dan yang tidak boleh, bagi sesama kita menurut ukuran kita sendiri? Terkadang bahkan mengatasnamakan sang Maha Pencipta alam semesta dan segala isinya.

Para pemuja mistis, para filsuf, para sufi, para maestro, dan sebagian manusia yang karena satu dan lain hal menganggap diri sebagai penjaga dogma dan bertindak menjadi hakim atas sesamanya mengatasnamakan Sang Pencipta, bahkan dalam perbedaan pendapat dan sudut pandangnya sendiri atas Sang Pencipta. Mengapa berkelahi membela Dia yang tak terjangkau dengan seluruh kosa kata yang tersedia.

Dia bisa saja hadir dengan berbagai rasa yang berbeda bagi setiap orang secara pribadi. Dia yang bahkan dapat dirasakan dalam semilir angin yang nyaris tidak terasa, dan dalam paradoks keheningan yang riuh.

Dia yang diberi nama berbeda-beda, bisa hadir di mana saja, di kandang hina, di sekolah-sekolah, di rumah sakit, di rumah tangga, di kantor-kantor, di penjara, dan di hati setiap orang yang bersedia menerimanya. Kehadirannya sejatinya senantiasa membawa kedamaian turut serta.

Di tengah peperangan Dia hadir membawa perdamaian, di tengah perselisihan Dia hadir mempersatukan, di tengah kegelapan Dia hadir membawa terang, di tengah keputusasaan Dia hadir membawa harapan.

Mengingkari kesementaraan hidup ini hanya akan membuat kita mempermalukan diri kita sendiri. Malu karena kita sebenarnya sedang menipu diri kita sendiri dengan merasa mulia, sementara Dia yang Maha Mulia pun tak tabu merendahkan diriNya.

Patut bagi kita merenungkan bahwa kita sedang menjalani kehidupan pada masa Adven yang berdimensi eskatologis. Hari-hari yang tampak segera akan mengakhiri realitas biasa, menuju kesatuan kembali dengan yang ilahi.

Maka, kemarin, hari ini, besok, dan setiap hari sampai seterusnya, kita tetap menyambut Dia yang patut dinanti dalam penghakimannya yang adil. "Tuhan memberkati engkau dan melindungi engkau, Tuhan menyinari engkau dengan wajahNya dan memberi engkau kasih karunia, Tuhan menghadapkan wajahNya kepadamu dan memberi engkau damai sejahtera" (Bilangan 6:24-26).

Selamat menjalani masa Adven bagi umat yang merayakannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun