Mengapa masih ada tersisa rasa benci yang begitu hakiki kepada sesama sendiri, bila kita sama-sama mengungsi di atas pasir padang gurun atau tanah rimba raya belantara kehidupan, yang tanpa diminta pun, nyatanya sudah penuh kesusahan ini?
Melepas Minggu akhir tahun gereja, dan memasuki masa-masa penantian kelahiran Kristus dalam minggu-minggu Adven ke depan, mari mengheningkan cipta bagi saudara-saudara yang sudah lebih dahulu meninggalkan kita oleh karena berbagai sebab. Kepada mereka yang menderita di bawah ketakutannya karena tidak menemukan perhentian sementara dari pelariannya, yang sebenarnya dalah pelarian kita bersama.
Mengheningkan cipta untuk mengenang mereka dalam hari yang muram dingin ini, sambil berharap esok hari akan menjadi lebih hangat dari hari ini. Bagaimana pun semangat untuk merebut hari ini suatu saat akan usai, meninggalkan kita untuk mengingat hari kematian kita sendiri. Bukankah saling mencintai lebih baik bila begini dan begitu adanya?
Apapun alasannya, kita manusia tidak lebih dari setitik debu di antara luasnya alam raya. Siapakah kita sehingga merasa layak dan berkuasa sebagai hakim untuk menentukan sendiri mana yang salah dan mana yang benar, yang boleh dan yang tidak boleh, bagi sesama kita menurut ukuran kita sendiri? Terkadang bahkan mengatasnamakan sang Maha Pencipta alam semesta dan segala isinya.
Para pemuja mistis, para filsuf, para sufi, para maestro, dan sebagian manusia yang karena satu dan lain hal menganggap diri sebagai penjaga dogma dan bertindak menjadi hakim atas sesamanya mengatasnamakan Sang Pencipta, bahkan dalam perbedaan pendapat dan sudut pandangnya sendiri atas Sang Pencipta. Mengapa berkelahi membela Dia yang tak terjangkau dengan seluruh kosa kata yang tersedia.
Dia bisa saja hadir dengan berbagai rasa yang berbeda bagi setiap orang secara pribadi. Dia yang bahkan dapat dirasakan dalam semilir angin yang nyaris tidak terasa, dan dalam paradoks keheningan yang riuh.
Dia yang diberi nama berbeda-beda, bisa hadir di mana saja, di kandang hina, di sekolah-sekolah, di rumah sakit, di rumah tangga, di kantor-kantor, di penjara, dan di hati setiap orang yang bersedia menerimanya. Kehadirannya sejatinya senantiasa membawa kedamaian turut serta.
Di tengah peperangan Dia hadir membawa perdamaian, di tengah perselisihan Dia hadir mempersatukan, di tengah kegelapan Dia hadir membawa terang, di tengah keputusasaan Dia hadir membawa harapan.
Mengingkari kesementaraan hidup ini hanya akan membuat kita mempermalukan diri kita sendiri. Malu karena kita sebenarnya sedang menipu diri kita sendiri dengan merasa mulia, sementara Dia yang Maha Mulia pun tak tabu merendahkan diriNya.
Patut bagi kita merenungkan bahwa kita sedang menjalani kehidupan pada masa Adven yang berdimensi eskatologis. Hari-hari yang tampak segera akan mengakhiri realitas biasa, menuju kesatuan kembali dengan yang ilahi.
Maka, kemarin, hari ini, besok, dan setiap hari sampai seterusnya, kita tetap menyambut Dia yang patut dinanti dalam penghakimannya yang adil. "Tuhan memberkati engkau dan melindungi engkau, Tuhan menyinari engkau dengan wajahNya dan memberi engkau kasih karunia, Tuhan menghadapkan wajahNya kepadamu dan memberi engkau damai sejahtera" (Bilangan 6:24-26).