Listrik belum ada, itulah yang dijelaskan pada lagu dalam lirik "belajar di bawah temaram cahaya lampu minyak bersumbu". Tak jarang, saat bangun pagi keesokan hari, lobang hidung kami kehitaman terkena jelaga lampu minyak bersumbu yang sangat berjasa itu, hahaha.
Beberapa waktu kemudian, kami juga akhirnya berhasil membeli sebuah lampu petromak (lampu gas) yang berbahan bakar minyak tanah (kerosin). Saya sangat mengingatnya, kami bertiga membeli lampu itu ke kota, Kabanjahe, setelah sebelumnya membongkar celengan ibu, berisi banyak koin harga Rp50 dan Rp100.
Koin itu kami bawa di dalam kantongan plastik untuk ditukar menjadi sebuah lampu gas di toko "Lama" Kabanjahe. Tidak lupa, ibu membawa kami menyinggahi sebuah majalah Bobo edisi terbaru di agen koran "S. Pelawi", majalah Bobo pertama milik kami sendiri.
Kisah agen koran S. Pelawi dapat dibaca pada artikel bertajuk "S.Pelawi" Bertahan di Antara Gempuran Media Digital.
Bukan mau mengatakan bahwa peran ayah tidak ada sama sekali. Ayah mungkin saja mengerjakan tugas lain yang tidak kurang penting, bahkan mungkin sangat penting dalam pelayanan jemaat dengan berbagai risiko. Kadang dicemooh, atau tak dihiraukan, sambil menunggangi sepeda motor bututnya. Sesekali menembus gelap malam berhiaskan hujan, menembusi jalanan kampung yang sunyi dan berjauhan.
Namun, karena bapak kurang terlihat bagi adek-adek, pernah sekali waktu saat bapak yang mendatangi kami ke desa Serdang, demi pemandangan yang tidak biasa ini, adek saya yang nomor dua berkata, "Ngapain kam ke sini, Pak?". Haha.
Saya tidak bisa membayangkan rasa seperti apa yang dirasakan oleh bapak saat pertama kali disambut di pintu rumah dengan ucapan polos seorang bocah berumur 2 atau 3 tahun itu. Ucapan polos dari seorang anak yang tentu saja sangat merindukan bapaknya, tapi dipaksa menjadi lebih dewasa dan mandiri oleh keadaan.
Setiap kali melintasi lapangan dan rumah dinas guru SD di desa itu, saya tidak bisa tidak akan menoleh ke rumah dan lapangan itu. Tidak bisa tidak, saya juga akan menoleh sejenak ke masa lalu, dan segala kenangan manis di dalamnya. Kenangan suka dan duka menjadi seorang anak pendeta jemaat dan seorang guru SD sederhana di sebuah desa kecil. Saya mensyukuri masa kini, dan akan tetap berharap menapaki masa depan.
Berikut adalah lirik lagu dan terjemahannya. Siapa tahu ada di antara kita yang ingin bernyanyi bersama, dan tentu saja berbagi kenangan masa kecil, setelah mendengarkan lagu ini. Saya juga menyertakan utas/ link video YouTube-nya, jangan lupa like, share, coment, dan subscribe ya. Terima kasih.
Bujur Bapa, Bujur Nande (Terimakasih Bapak, Terimakasih Ibu)
cipt. Os Tarigan, 2020 Â