Judul di atas adalah judul sebuah lagu ciptaan adek saya, Os Ertanta Tarigan Tua, yang dirilis pada 24 November 2020 melalui kanal YouTube-nya, cio cilinggem, dan diisi dengan suaranya sendiri. Sila dikunjungi, dilanggani, dikomentari, disukai, dan dibagikan. Hehe.
Bagi saya pribadi, mendengarkan lagu ini tentu saja serasa membawa saya kembali ke masa-masa 34-35 tahun yang lalu, saat masih berumur 3 atau 4 tahun. Itu adalah kenangan saat kami menempati sebuah rumah dinas bagi guru-guru SD Inpres (Instruksi Presiden), di desa Serdang, Kecamatan Barusjahe, Kabupaten Karo.
Rumah itu sangat mungil dan sederhana, hanya berukuran 3x3 meter, kalau tidak salah, dan berdempetan satu dengan yang lainnya. Letaknya dekat dengan rimbunan rumpun bambu di belakang, sedangkan di depannya terhampar sepetak lapangan rumput yang cukup luas untuk tempat anak-anak bermain bola atau berkejaran sambil bercengkrama saat siang menjelang sore.
Kenangan dalam Lagu
Secara garis besar lagu ini bercerita tentang keseharian kami bertiga, saya dan adek saya, bersama ibu kami. Bapak tinggal di desa lain, desa Sukanalu masih di kecamatan yang sama, melayani sebagai seorang pendeta jemaat dengan sepeda motor bututnya, jenis Honda CB.
Kami hanya berkumpul seminggu sekali. Setiap hari Sabtu, ibu memboyong kami, anaknya bertiga, ke desa Sukanalu, sebab hari Minggu kami biasanya beribadah di Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) Sukanalu. Adek yang bungsu digendongan ibu, saya dan adek yang nomor dua saling berpegangan tangan dituntun ibu.
Di rumah mungil itu, ibu adalah yang paling bertanggung jawab mengurus semua hal. Ibu memasak, mencuci, membersihkan rumah, menyiapkan kami (saya dan adek nomor dua) sebelum berangkat ke sekolah. Kami berangkat ke sekolah bersama, karena ibu adalah guru di sekolah itu.
Pulang dari sekolah ibu berangkat ke ladang kami di belakang sekolah. Saya bertugas menjaga adek-adek saya yang masih kecil. Terkadang mau ikut juga rasanya bersama kawan-kawan menghambur bermain ke lapangan atau berlari menuju sungai, mandi-mandi.
Sore menjelang malam, ibu pulang dari ladang. Dia memasak makan malam, setelah makan malam, ibu masih lagi mengajari kami mengerjakan PR. Sekitar jam 8 malam bolehlah kami mendapatkan sedikit hiburan sebelum tidur, dengan mendengarkan lagu-lagu dari radio transistor bertenaga baterai.
Listrik belum ada, itulah yang dijelaskan pada lagu dalam lirik "belajar di bawah temaram cahaya lampu minyak bersumbu". Tak jarang, saat bangun pagi keesokan hari, lobang hidung kami kehitaman terkena jelaga lampu minyak bersumbu yang sangat berjasa itu, hahaha.
Beberapa waktu kemudian, kami juga akhirnya berhasil membeli sebuah lampu petromak (lampu gas) yang berbahan bakar minyak tanah (kerosin). Saya sangat mengingatnya, kami bertiga membeli lampu itu ke kota, Kabanjahe, setelah sebelumnya membongkar celengan ibu, berisi banyak koin harga Rp50 dan Rp100.
Koin itu kami bawa di dalam kantongan plastik untuk ditukar menjadi sebuah lampu gas di toko "Lama" Kabanjahe. Tidak lupa, ibu membawa kami menyinggahi sebuah majalah Bobo edisi terbaru di agen koran "S. Pelawi", majalah Bobo pertama milik kami sendiri.
Kisah agen koran S. Pelawi dapat dibaca pada artikel bertajuk "S.Pelawi" Bertahan di Antara Gempuran Media Digital.
Bukan mau mengatakan bahwa peran ayah tidak ada sama sekali. Ayah mungkin saja mengerjakan tugas lain yang tidak kurang penting, bahkan mungkin sangat penting dalam pelayanan jemaat dengan berbagai risiko. Kadang dicemooh, atau tak dihiraukan, sambil menunggangi sepeda motor bututnya. Sesekali menembus gelap malam berhiaskan hujan, menembusi jalanan kampung yang sunyi dan berjauhan.
Namun, karena bapak kurang terlihat bagi adek-adek, pernah sekali waktu saat bapak yang mendatangi kami ke desa Serdang, demi pemandangan yang tidak biasa ini, adek saya yang nomor dua berkata, "Ngapain kam ke sini, Pak?". Haha.
Saya tidak bisa membayangkan rasa seperti apa yang dirasakan oleh bapak saat pertama kali disambut di pintu rumah dengan ucapan polos seorang bocah berumur 2 atau 3 tahun itu. Ucapan polos dari seorang anak yang tentu saja sangat merindukan bapaknya, tapi dipaksa menjadi lebih dewasa dan mandiri oleh keadaan.
Setiap kali melintasi lapangan dan rumah dinas guru SD di desa itu, saya tidak bisa tidak akan menoleh ke rumah dan lapangan itu. Tidak bisa tidak, saya juga akan menoleh sejenak ke masa lalu, dan segala kenangan manis di dalamnya. Kenangan suka dan duka menjadi seorang anak pendeta jemaat dan seorang guru SD sederhana di sebuah desa kecil. Saya mensyukuri masa kini, dan akan tetap berharap menapaki masa depan.
Berikut adalah lirik lagu dan terjemahannya. Siapa tahu ada di antara kita yang ingin bernyanyi bersama, dan tentu saja berbagi kenangan masa kecil, setelah mendengarkan lagu ini. Saya juga menyertakan utas/ link video YouTube-nya, jangan lupa like, share, coment, dan subscribe ya. Terima kasih.
Bujur Bapa, Bujur Nande (Terimakasih Bapak, Terimakasih Ibu)
cipt. Os Tarigan, 2020 Â
Kuinget sanga danak-danak marenda
(aku terkenang masa kecilku dulu)
Tegundu aku erdalan mulih ku kuta
(kau menuntunku berjalan pulang ke desa kita)
'Di nggo latih nahengku si kitik e
(ketika kaki kecilku mulai lelah)
Angkatndu aku das barandu
(kau mengangkatku ke pundakmu)
"mari nakku..." nindu o Bapa
("kemari anakku..." panggilmu.. Bapak)
Kuinget sanga danak-danak marenda
(aku terkenang masa kecilku dulu)
Erlajar ras ka' tua, i remang lampu sumbu e
(belajar dengan kakak, di temaram cahaya lampu sumbu itu)
'Di nggo kenca reh bergehna berngi e
(ketika malam semakin dingin)
Minter kami i dakepndu
(kau langsung memeluk kami)
"Mari nakku..." nindu o Nande
("kemari anakku..." panggilmu.. Ibu)
Tedeh ateku kam Nande, tedeh ateku Kam Bapa
(Aku merindukanmu Ibu, aku merindukanmu Bapak)
Nginget tawa-tawa bas ingan medem e
(mengenang senda gurau di tempat tidur)
Erkuning sope tunduh, megiken turin-turin
(erkuning* sebelum tidur, mendengarkan cerita)
I rumahta, duru kerangen buluh e
(Di rumah kita, di pinggir hutan bambu)
Gundari tuhu la tergejap perdalan wari
(sekarang, waktu tak terasa begitu cepat berlalu)
Nggo mbelin turang singuda
(Adik kecil telah dewasa)
Kami pe ndauh erkuta
(kami juga tinggal di tempat yang jauh)
Gejap kami keleng atendu'mpebelin kami
(kami merasakan kasih sayangmu lah yang membesarkan kami)
Bujur Bapa... Bujur Nande...
(Terimakasih Bapak... Terimakasih Ibu...)
Oo... Tuhu tedeh ate...
(Oo.. Sungguh aku rindu...)
Penutup
Oh... masa, jangan paksa kami (anak-anak), menjadi dewasa sebelum waktunya. Masa kami (anak-anak) adalah masa bermain dan belajar. Jika pun kami terpaksa bekerja dan dewasa sebelum waktunya, itu adalah realitas masa yang tak pernah kami minta.
Siapa sangka jika bermain, belajar, dan bahkan bekerja adalah anugerah dalam kenangan masa kecil yang tidak pernah akan kami lupakan. Biarlah itu menjadi kenangan indah tentang masa kecil kami. Terima kasih Bapak, terima kasih Ibu, untuk masa kecil kami yang akan selalu kami syukuri.
Terima kasih pencipta lagu, Os Ertanta Tarigan Tua, suaranya alami, menyatu dengan kenangannya. Sukses, salam sehat penuh berkat ^_^
Catatan:
erkuning: membaluri badan dengan rempah khas Suku Karo, ampuh untuk melawan hawa dingin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H