Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pernak-pernik Kearifan Lokal Seputar Tuak di Bawah "Jabi-jabi"

1 November 2020   04:36 Diperbarui: 1 November 2020   16:02 715
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Akar pohon beringin tua (Dokumentasi pribadi)

Pertentangan dan ketegangan yang muncul dari suatu kondisi kritis apabila mampu dikelola dalam suatu zona ambang, justru akan memperkuat dan memperkaya keyakinan awalnya sendiri.

Suatu tradisi yang sekalipun terasa abstrak, bisa menjadi tempat interaksi dari berbagai hal. Syukur kalau hal itu bisa diselami dan melahirkan pertanyaan serta topik yang menarik untuk bisa semakin kritis menyikapi situasi.

Menemukan sebuah ide yang dahsyat, dari sebuah interaksi dengan cakupan spektrum pemikiran yang lebih luas dari yang pernah ada sebelumnya, dalam konsepsi fenomenologis dan hermeneutis, memungkinkan terjadinya pergeseran pemikiran dari sekadar etik ke emik. Kita tidak sempit memahami budaya sebagai sekadar struktur, tapi beralih ke makna.

Musyawarah di bawah pohon beringin tua (Dokumnetasi pribadi)
Musyawarah di bawah pohon beringin tua (Dokumnetasi pribadi)
Begitulah yang terjadi pada hari musyawarah desa itu. Dalam sebuah kasus dijelaskan oleh pemimpin wilayah setempat, bahwa ada satu kendala dalam pembangunan saluran irigasi di sebuah desa, karena keberatan seorang warga.

Tidak jelas apa alasan keberatan seorang warga desa itu, untuk sawahnya dilewati pembangunan saluran irigasi yang juga akan bermanfaat baginya. "Pokoknya tidak bisa lewat sawah saya, titik." Begitu saja alasannya, ditirukan oleh pemimpin wilayah setempat itu.

Karena peliknya pencarian jalan keluar atas masalah yang "tidak jelas" ini, maka di luar musyawarah resmi di balai desa itu, kami beberapa orang melanjutkan pembahasan secara informal di bawah sebuah pohon beringin tua. Lokasinya lebih kurang 3 km dari pintu gerbang pos lintas batas daerah Tanah Karo, Sumatera Utara, dengan Aceh Tenggara, Provinsi Aceh.

Pohon beringin itu sangat besar, hingga akar-akarnya pun ada yang sudah tumbuh di dahan yang tinggi dan kembali menjuntai ke bawah, menghunjam tanah, kokoh dan dalam sekali kelihatannya. Pada masyarakat Karo, pohon beringin disebut juga "Jabi-jabi".

Itu adalah sebuah pohon yang dijadikan juga sebagai simbol wahana bermusyawarah untuk mencapai mufakat. Selain itu, pohon ini juga tentu saja mewakili simbol berbagai hal berbau mistis, misterius dan keramat bagi warga desa.

Percakapan informal kami di bawah pohon "Jabi-jabi" ini berlangsung sambil mengelilingi sebuah meja dengan hidangan minuman tuak dan air kelapa muda. Pembahasan juga dijalin dengan berbagai perspektif, interdisipliner, membahas berbagai aspek pembangunan, tidak saja secara teritorial, tapi juga kultutal.

Maka benarlah seperti hasil riset lapangan etnograf lapangan dan antropolog Polandia bernama Bronislaw Malinowski itu. Bahwa untuk merumuskan suatu kebijakan pembangunan tidak bisa memakai perspektif tungggal, atau bahkan mengadopsi bulat-bulat dimensi berpikir yang dianggap sudah mapan seperti cara berpikir positivistik, seolah semua harus terukur dan bisa dihitung.

Mengecilkan arti sebuah kasus penolakan, sekalipun dengan dalih demi pembangunan untuk kepentingan umum (umum yang mana?), terkadang menjadi awal dari tabungan masalah yang lebih besar di kemudian hari. Tidak cukup hanya mempertentangkan hal-hal secara oposisi biner, benar-salah, beradab-tidak beradab, maju-terbelakang, dan seterusnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun