Harapan yang mengakar kuat kepada substansi mungkin akan hadir bila kita memberi perhatian yang cukup terhadap tumbuh kembang perilaku etis di dalam hubungan kita yang dinamis antara satu dengan lainnya. Bagaimanapun kita hidup dalam keanekaragaman, pada era postmodernis yang bercirikan diskontinuitas historis.
Hal-hal menjadi tampak makin rumit dalam hidup, yang sebenarnya hanya karena kita kehilangan kepolosan sebagaimana halnya pada anak-anak. Bukan sembarang polos menjadi polos tak berotak, atau poltak, hehe (bercanda).
Berbagai Hal tentang Terakhir
Terakhir memang bukanlah sekadar catatan akhir yang akan segera berakhir. Namun, terakhir, entah apapun itu memang selalu menyisakan rasa was-was, takut sekaligus bercampur harapan.
Misalnya, the last minute, menggambarkan rasa cemas dan gugup sehubungan dengan waktu yang sempit untuk mengejar target yang dibebankan. The last supper, gambaran untuk jamuan makan minum terakhir yang memilukan sekalipun dibalut janji yang meneguhkan harapan.
Atau the last samurai, untuk sebuah kebanggaan yang tidak selamanya relevan dengan zaman. The last match, untuk sebuah pertarungan memasuki masa pensiun yang tak selalu berbuah kemenangan, dan berbagai "the last" lainnya yang dapat ditambahkan sendiri.
Seperti Revano, anak kecil di keluarga kami, yang memberikan jawaban takterduga dalam sudut pandangnya sendiri atas sebuah pengalaman baru dalam usianya, demikianlah akhir hari dalam menyambut hal-hal yang baru akan segera tiba.Â
Satu hal yang jelas, kita belumlah bisa mengatakan itu baik atau tidak, sesuai harapan atau tidak, sebelum kita menjalaninya. Perubahan bukan sesuatu yang harus dibenci, karena berubah berarti hidup belum berakhir.
Sir Walter Scott mengatakan "Hope is brightest when it drawn from fears." Harapan terbaik justru lahir dari berbagai ketakutan.
Manakala ketakutan itu dapat dikendalikan, ia akan berubah menjadi sebuah energi yang membangkitkan semangat kehidupan. Meskipun tidak pas dikatakan mukjizat, barangkali itu akan menghantarkan kita kepada keajaiban-keajaiban, bisa juga tidak.
Sekalipun oleh karena perubahan kita akan ditertawakan, sebagaimana Revano mendefinisikan hamil sebagai kondisi manusia yang mencirikan orang dengan perut kekenyangan, hidup tidak akan berakhir sekalipun saat kita menjadi bahan tertawaan.
Perubahan bukan pekerjaan sekali jadi seorang diri. Ia menuntut banyak partisipasi, banyak pengorbanan, komitmen bersama dan tentu saja orang-orang dengan muka dan kuping tebal yang tahan cemoohan.