Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Merenungkan "Cimpa Unung-unung" dalam Kerja Tahun di Masa Pandemi

29 Oktober 2020   18:23 Diperbarui: 29 Oktober 2020   21:54 746
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menyambut perayaan Maulid Nabi pada tanggal 29 Oktober 2020 ini, Pemerintah telah menetapkan tanggal 28 dan 30 Oktober 2020 sebagai cuti bersama, terutama bagi Pegawai Negeri Sipil. Setidaknya ada 5 hari libur panjang sejak hari Rabu hingga Minggu pada pekan ini.

Selain hari besar keagamaan ini, bagi masyarakat Karo di berbagai desa di Kecamatan Kabanjahe Kabupaten Karo, momen bulan Oktober setiap tahunnya juga dirayakan pesta tahunan merayakan hasil panen yang disebut "kerja tahun". 

Masih dalam situasi keprihatinan akibat pandemi covid-19, dalam tulisan kali ini kita akan melihat beberapa potret pelaksanaan pesta kerja tahun di beberapa desa.

Perayaan pesta kerja tahun pada momen libur panjang Maulid Nabi pada tahun ini, sejatinya tetap menerapkan protokol kesehatan, sehingga pelaksanaannya tidak sampai menciptakan klaster baru kasus penyebaran Covid-19. 

Kenyataan paling signifikan sebagai perubahan pada pesta kerja tahun di tahun ini adalah perayaan dalam sepi, karena keluarga yang diluar daerah tidak diundang sebagaimana biasanya.

Saya juga menyampaikan kompilasi potret realitas perayaan kerja tahun ini, dari liputan yang terpantau pada lini masa media sosial teman-teman yang merayakannya di berbagai desa di Tanah Karo. 

Salah satu contoh misalnya, dari teman saya Terkelin Surbakti, yang merayakan kerja tahun di desa Payung Kecamatan Payung. Di sana dikabarkan bahwa walaupun dalam situasi prihatin, masyarakat masih antusias mengambil bagian dalam pesta kerja tahun. Masih dilakukan pembagian daging hewan sebagai bahan lauk pauk untuk jamuan makan acara syukuran yang disebut "erbante".

Tradisi ini mirip dengan tradisi "Nekeng Sabi" di Manggarai, NTT. Sayapun mengingat kisah dari saudara Kompasianer, Guido, yang tinggal di Manggarai.
"Asyik djiwa, bagaimana dengan tuak, Kraeng Tua? ", tanyanya begitu aku mengabari dia reportase "erbante" dari Tanah Karo lewat layanan pesan whatsapp. 

Aku juga merasa menarik atas kesamaan ini. Kami sama-sama mengapresiasi kearifan lokal yang hampir sama di Manggarai dan Tanah Karo.

Hari ini saya mengabarkan reportase kerja tahun di Tanah Karo kepada saudara saya ini sambil menyantai di kedai kopi, sembari menguping bapak-bapak yang sedang mengobrol tentang sepinya pesta syukuran kerja tahun pada tahun ini akibat pandemi.

Memang sedih juga dengan kenyataan ini. Sistem sosial kami di sini banyak berubah akibat pandemi.

Pada bulan oktober seperti ini, biasanya orang-orang desa merayakan pesta panen kerja tahun bersama sanak saudara dari perantauan.
Pandemi membuat banyak tradisi menjadi berubah. Termasuk kekhawatiran kami bahwa tradisi seperti "erbante" dan "nakeng sabi" tidak lama lagi juga akan hilang. Kini orang-orang "harus" terbiasa melakukan apa-apa dalam sepi.

Momen kerja tahun seperti inilah biasanya salah satu wadah untuk menjalin kebersamaan orang Karo dan keluarganya yang tinggal di Tanah Karo dengan dispora yang tinggal di berbagai tempat di luar Karo. Sedih juga rasanya dengan realitasnya kini. 

Pasar sepi pembeli, angkutan juga tidak seperti tahun-tahun yang lalu sebelum pandemi. Orang-orang yang tinggal di luar kota tidak banyak yang kembali ke desa, merayakan kerja tahun, bersama orang tua dan sanak saudara. Demikianlah beberapa obrolan bapak-bapak di kedai kopi yang sempat saya dengar.

"Covid-19 masih merajalela, kami belum berani mudik.  Semoga Covid-19 cepat berlalu dan kita semua sehat dalam perlindungan Tuhan", harap salah seorang bapak.
Selain di desa Payung, kerja tahun juga berlangsung di desa Lingga, desa Nangbelawan, dan desa Rumah Kabanjahe, Kecamatan Kabanjahe.

Perbedaan waktu pelaksanaan kerja tahun di setiap desa, karena pengaruh sistem penanggalan suku karo, yang mengakibatkan perbedaan waktu baik untuk musim tanam dan musim panen di berbagai desa.

Ada juga seorang saudara yang mengabarkan pelaksanaan kerja tahun dari desa Nangbelawan. Tradisi setiap desa dalam merayakan kerja tahun juga tidaklah sama. 

Bila sebagian memasak "rires" atau lemang, liputannya dapat dibaca di sini. Maka, sebagian lainnya memasak cimpa, penganan berbahan baku tepung beras.

Kerabat kami yang tinggal di Nangbelawan ini memasak wajik. Dalam kebersamaan dengan keluarga.

Memasak wajik pada pesta Kerja Tahun di Desa Nangbelawan Kec. Kabanjahe (29/10/2020) Foto: Tangyar FB/ Riana Sinulingga
Memasak wajik pada pesta Kerja Tahun di Desa Nangbelawan Kec. Kabanjahe (29/10/2020) Foto: Tangyar FB/ Riana Sinulingga
Saya sendiri merayakan kerja tahun bersama keluarga di desa Rumah Kabanjahe. Situasinya juga tidak jauh berbeda. Agak terasa sepi dibandingkan perayaan tahun-tahun sebelumnya.

Salah satu tradisi yang masih berlangsung dalam kerja tahun di desa ini, walaupun dalam suasana berbeda akibat pandemi, adalah tradisi memasak "cimpa unung-unung" yang masih terus ada.

Bahan untuk membuat penganan ini adalah tepung dari beras pulut (beras ketan), parutan kelapa, gula aren, dan daun "bulung singkut".

Adonan beras pulut (dokpri)
Adonan beras pulut (dokpri)
Campuran parutan kelapa dan daun bulung singkut (Dokpri)
Campuran parutan kelapa dan daun bulung singkut (Dokpri)
Cara membuatnya juga sederhana. Buat adonan dari bahan tepung beras pulut. Kemudian, parutan kelapa dicampur dengan gula aren yang diiris halus.

Campuran parutan kelapa dan gula aren ini berfungsi sebagai inti, yang akan dibalut dengan adonan tepung beras pulut.

Membungkus inti gula cimpa unung-unung (Dokpri)
Membungkus inti gula cimpa unung-unung (Dokpri)
Kemudian daun bulung singkut dipotong kira-kita sepanjang sejengkal. Daun yang mirip dengan dedaunan tanaman anggrek ini, berbentuk helai daun yang panjang. 

Daun ini berberfungsi sebagai bungkus "cimpa unung-unung" ini. Sebelum digunakan, maka helai daun yang sudah dipotong sejengkal, diolesi terlebih dahulu dengan minyak makan. 

Fungsinya adalah agar adonan tepung yang telah diisi dengan inti campuran parutan kelapa dan gula aren tidak lengket di permukaan daun. Kemudian, ikat kedua ujung gulungan daun dengan helai-helai daun yang yang lebih kecil.

Cimpa unung-unung yang telah dibungkus dan diikat kedua ujungnya (Dokpri)
Cimpa unung-unung yang telah dibungkus dan diikat kedua ujungnya (Dokpri)
Tidak ada aturan khusus kapan harus memasak cimpa unung-unung. Sebab makanan tradisional ini ada juga dijual sebagai kudapan sehari-hari. 

Namun, dalam perayaan pesta tradisi sebagaimana dalam kerja tahun, makanan ini seperti sudah menjadi salah satu menu wajib. 

Asal kata "unung-unung" adalah "iunungken". Sebuah kata kerja pasif dalam bahasa Karo yang bila diartikan maksudnya adalah "dibuat di tengah". Hal ini merujuk kepada inti "cimpa unung-unung" yang dibuat persis di tengah.

Sambil ikut membantu membuatnya, aku juga jadi ikut termenung. Bahwa terkadang, dalam kenyataan seperti akibat pandemi yang tidak pernah tepikir sebelumnya seperti saat ini, kita perlu mengambil posisi di tengah, di-unung-kan. 

Bahwa perubahan akan selalu ada. Apa yang tidak pernah tepikir sebelumnya, bisa saja terjadi kapan saja. Oleh sebab itu, selain perlu bersyukur untuk setiap keadaan yang bisa dijalani bersama keluarga, kita juga perlu antisipatif terhadap segala kemungkinan takterduga yang bisa muncul dalam hidup.

Selamat kerja tahun. Salam sehat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun