Menyambut perayaan Maulid Nabi pada tanggal 29 Oktober 2020 ini, Pemerintah telah menetapkan tanggal 28 dan 30 Oktober 2020 sebagai cuti bersama, terutama bagi Pegawai Negeri Sipil. Setidaknya ada 5 hari libur panjang sejak hari Rabu hingga Minggu pada pekan ini.
Selain hari besar keagamaan ini, bagi masyarakat Karo di berbagai desa di Kecamatan Kabanjahe Kabupaten Karo, momen bulan Oktober setiap tahunnya juga dirayakan pesta tahunan merayakan hasil panen yang disebut "kerja tahun".Â
Masih dalam situasi keprihatinan akibat pandemi covid-19, dalam tulisan kali ini kita akan melihat beberapa potret pelaksanaan pesta kerja tahun di beberapa desa.
Perayaan pesta kerja tahun pada momen libur panjang Maulid Nabi pada tahun ini, sejatinya tetap menerapkan protokol kesehatan, sehingga pelaksanaannya tidak sampai menciptakan klaster baru kasus penyebaran Covid-19.Â
Kenyataan paling signifikan sebagai perubahan pada pesta kerja tahun di tahun ini adalah perayaan dalam sepi, karena keluarga yang diluar daerah tidak diundang sebagaimana biasanya.
Saya juga menyampaikan kompilasi potret realitas perayaan kerja tahun ini, dari liputan yang terpantau pada lini masa media sosial teman-teman yang merayakannya di berbagai desa di Tanah Karo.Â
Salah satu contoh misalnya, dari teman saya Terkelin Surbakti, yang merayakan kerja tahun di desa Payung Kecamatan Payung. Di sana dikabarkan bahwa walaupun dalam situasi prihatin, masyarakat masih antusias mengambil bagian dalam pesta kerja tahun. Masih dilakukan pembagian daging hewan sebagai bahan lauk pauk untuk jamuan makan acara syukuran yang disebut "erbante".
"Asyik djiwa, bagaimana dengan tuak, Kraeng Tua? ", tanyanya begitu aku mengabari dia reportase "erbante" dari Tanah Karo lewat layanan pesan whatsapp.Â
Aku juga merasa menarik atas kesamaan ini. Kami sama-sama mengapresiasi kearifan lokal yang hampir sama di Manggarai dan Tanah Karo.
Hari ini saya mengabarkan reportase kerja tahun di Tanah Karo kepada saudara saya ini sambil menyantai di kedai kopi, sembari menguping bapak-bapak yang sedang mengobrol tentang sepinya pesta syukuran kerja tahun pada tahun ini akibat pandemi.
Memang sedih juga dengan kenyataan ini. Sistem sosial kami di sini banyak berubah akibat pandemi.
Pada bulan oktober seperti ini, biasanya orang-orang desa merayakan pesta panen kerja tahun bersama sanak saudara dari perantauan.
Pandemi membuat banyak tradisi menjadi berubah. Termasuk kekhawatiran kami bahwa tradisi seperti "erbante" dan "nakeng sabi" tidak lama lagi juga akan hilang. Kini orang-orang "harus" terbiasa melakukan apa-apa dalam sepi.
Momen kerja tahun seperti inilah biasanya salah satu wadah untuk menjalin kebersamaan orang Karo dan keluarganya yang tinggal di Tanah Karo dengan dispora yang tinggal di berbagai tempat di luar Karo. Sedih juga rasanya dengan realitasnya kini.Â
Pasar sepi pembeli, angkutan juga tidak seperti tahun-tahun yang lalu sebelum pandemi. Orang-orang yang tinggal di luar kota tidak banyak yang kembali ke desa, merayakan kerja tahun, bersama orang tua dan sanak saudara. Demikianlah beberapa obrolan bapak-bapak di kedai kopi yang sempat saya dengar.
"Covid-19 masih merajalela, kami belum berani mudik.  Semoga Covid-19 cepat berlalu dan kita semua sehat dalam perlindungan Tuhan", harap salah seorang bapak.
Selain di desa Payung, kerja tahun juga berlangsung di desa Lingga, desa Nangbelawan, dan desa Rumah Kabanjahe, Kecamatan Kabanjahe.
Perbedaan waktu pelaksanaan kerja tahun di setiap desa, karena pengaruh sistem penanggalan suku karo, yang mengakibatkan perbedaan waktu baik untuk musim tanam dan musim panen di berbagai desa.
Ada juga seorang saudara yang mengabarkan pelaksanaan kerja tahun dari desa Nangbelawan. Tradisi setiap desa dalam merayakan kerja tahun juga tidaklah sama.Â
Bila sebagian memasak "rires" atau lemang, liputannya dapat dibaca di sini. Maka, sebagian lainnya memasak cimpa, penganan berbahan baku tepung beras.
Kerabat kami yang tinggal di Nangbelawan ini memasak wajik. Dalam kebersamaan dengan keluarga.
Salah satu tradisi yang masih berlangsung dalam kerja tahun di desa ini, walaupun dalam suasana berbeda akibat pandemi, adalah tradisi memasak "cimpa unung-unung" yang masih terus ada.
Bahan untuk membuat penganan ini adalah tepung dari beras pulut (beras ketan), parutan kelapa, gula aren, dan daun "bulung singkut".
Campuran parutan kelapa dan gula aren ini berfungsi sebagai inti, yang akan dibalut dengan adonan tepung beras pulut.
Daun ini berberfungsi sebagai bungkus "cimpa unung-unung" ini. Sebelum digunakan, maka helai daun yang sudah dipotong sejengkal, diolesi terlebih dahulu dengan minyak makan.Â
Fungsinya adalah agar adonan tepung yang telah diisi dengan inti campuran parutan kelapa dan gula aren tidak lengket di permukaan daun. Kemudian, ikat kedua ujung gulungan daun dengan helai-helai daun yang yang lebih kecil.
Namun, dalam perayaan pesta tradisi sebagaimana dalam kerja tahun, makanan ini seperti sudah menjadi salah satu menu wajib.Â
Asal kata "unung-unung" adalah "iunungken". Sebuah kata kerja pasif dalam bahasa Karo yang bila diartikan maksudnya adalah "dibuat di tengah". Hal ini merujuk kepada inti "cimpa unung-unung" yang dibuat persis di tengah.
Sambil ikut membantu membuatnya, aku juga jadi ikut termenung. Bahwa terkadang, dalam kenyataan seperti akibat pandemi yang tidak pernah tepikir sebelumnya seperti saat ini, kita perlu mengambil posisi di tengah, di-unung-kan.Â
Bahwa perubahan akan selalu ada. Apa yang tidak pernah tepikir sebelumnya, bisa saja terjadi kapan saja. Oleh sebab itu, selain perlu bersyukur untuk setiap keadaan yang bisa dijalani bersama keluarga, kita juga perlu antisipatif terhadap segala kemungkinan takterduga yang bisa muncul dalam hidup.
Selamat kerja tahun. Salam sehat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H