Campuran parutan kelapa dan gula aren ini berfungsi sebagai inti, yang akan dibalut dengan adonan tepung beras pulut.
Daun ini berberfungsi sebagai bungkus "cimpa unung-unung" ini. Sebelum digunakan, maka helai daun yang sudah dipotong sejengkal, diolesi terlebih dahulu dengan minyak makan.Â
Fungsinya adalah agar adonan tepung yang telah diisi dengan inti campuran parutan kelapa dan gula aren tidak lengket di permukaan daun. Kemudian, ikat kedua ujung gulungan daun dengan helai-helai daun yang yang lebih kecil.
Namun, dalam perayaan pesta tradisi sebagaimana dalam kerja tahun, makanan ini seperti sudah menjadi salah satu menu wajib.Â
Asal kata "unung-unung" adalah "iunungken". Sebuah kata kerja pasif dalam bahasa Karo yang bila diartikan maksudnya adalah "dibuat di tengah". Hal ini merujuk kepada inti "cimpa unung-unung" yang dibuat persis di tengah.
Sambil ikut membantu membuatnya, aku juga jadi ikut termenung. Bahwa terkadang, dalam kenyataan seperti akibat pandemi yang tidak pernah tepikir sebelumnya seperti saat ini, kita perlu mengambil posisi di tengah, di-unung-kan.Â
Bahwa perubahan akan selalu ada. Apa yang tidak pernah tepikir sebelumnya, bisa saja terjadi kapan saja. Oleh sebab itu, selain perlu bersyukur untuk setiap keadaan yang bisa dijalani bersama keluarga, kita juga perlu antisipatif terhadap segala kemungkinan takterduga yang bisa muncul dalam hidup.
Selamat kerja tahun. Salam sehat