Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menjalin Indonesia dari Titik Nol "Barus" dalam Balutan Sumpah Pemuda

28 Oktober 2020   10:27 Diperbarui: 19 Desember 2020   12:36 590
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai rangkaian kegiatan akhir bulan bahasa dan sastra, sebelum puncak peringatan yang bertepatan dengan peringatan hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2020, maka Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (disebut juga Badan Bahasa), menggelar suatu acara yang bertajuk "Gelar Wicara Nasional Bahasa dan Kemandirian Bangsa Bersama Presiden Republik Indonesia".

Badan Bahasa merupakan instansi pemerintah yang ditugaskan untuk menangani masalah kebahasaan dan kesastraan di Indonesia. Kegiatan gelar wicara nasional itu dipusatkan di Provinsi Sumatera Utara, sebagai tuan rumah peringatan bulan bahasa dan sastra, yang tentu saja dilaksanakan secara virtual, pada Selasa, 27 Oktober 2020 kemarin.

Berbeda dengan peringatan pada tahun-tahun sebelumnya, suasana pandemi Covid-19 tidak memungkikan untuk mengumpulkan kerumuman. Sebab biasanya pada acara semacam ini, dilakukan pengucapan ikrar bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.

Topik utama terkait bahasa dan sastra pada acara gelar wicara tersebut adalah "Menjalin Indonesia dari Provinsi Sumatera Utara melalui Titik Nol Barus". Barus adalah nama sebuah kecamatan di Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Maka, bersama-sama dengan pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah, diundang juga peserta dari pemerintah Kabupaten Langkat, Kota Medan, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Karo, Kota Binjai, dan Kota Tebing Tinggi. Daerah ini semua terkait dengan sejarah kebudayaan Melayu, dan bertalian juga dengan asal usul bahasa Indonesia yang berakar dari bahasa Melayu.

Ada sejarah yang terjadi pada Kongres Pemuda I (pertama) pada tahun 1926, terkait dengan sejarah bahasa Indonesia. Adalah Mohammad Yamin, yang merupakan Sekretaris Persatuan Pemuda Indonesia (PPI) dan dalam kongres itu ia juga adalah salah seorang utusan dari Jong Sumatranen Bond, yang mencetuskan ide soal rumusan ikrar sumpah pemuda.

Peneliti sejarah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam, menyebut M. Yamin menyodorkan ide yang tertulis di secarik kertas itu kepada Ketua Kongres Pemuda, Sugondo Djojopuspito. Di dalamnya tertulis kata "satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa".

Ide M. Yamin didukung oleh Djamaludin Adinegoro. Konsep Sumpah Pemuda yang diusulkan oleh M. Yamin adalah:

  • Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia;
  • Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia;
  • Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan bahasa Melayu.

Sementara itu, Mohamad Tabrani Soerjowitjirto atau lebih dikenal sebagai Mohamad Tabrani, mewakili Jong Java dengan dukungan dari Sanusi Pane yang mewakili Jong Bataks, menyetujui butir 1 dan 2 usulan M. Yamin, tetapi menolak butir 3. Menurut M. Tabrani dan Sanusi Pane, kalau tumpah darah dan bangsa disebut Indonesia, maka bahasa persatuannya harus disebut bahasa Indonesia, bukannya bahasa Melayu. Usul itu disetujui bersama pada 2 Mei 1926.

Menarik untuk diketahui bahwa M. Yamin dan Sanusi Pane tidak hanya tokoh pergerakan, tetapi juga menguasai bahasa, sastra, sejarah dan bidang lainnya. Mohammad Yamin, kelahiran Talawi, Sawahlunto, Sumatera Barat, pada 24 Agustus 1903, meninggal di Jakarta, 17 Oktober 1962 pada umur 59 tahun. Ia adalah seorang sastrawan, sejarawan, budayawan, politikus, dan ahli hukum.

Ia telah ditetapkan sebagai pahlawan nasional Indonesia. Ia yang dikenang sebagai salah seorang pelopor Sumpah Pemuda, merupakan salah satu perintis puisi modern Indonesia dan "pencipta imaji keindonesiaan", yang mempengaruhi sejarah persatuan Indonesia.

Sementara itu, Sanusi Pane lahir di Muara Sipongi, Mandailing Natal, Sumatera Utara, pada tanggal 14 November 1905. Meninggal di Jakarta, tanggal 2 Januari 1968 pada umur 62 tahun. Ia adalah seorang sastrawan Indonesia yang digolongkan ke dalam angkatan Pujangga Baru. Ia banyak menulis puisi, naskah drama, dan kajian sejarah.

Kembali ke soal bahasa. Bahwa kongres bahasa Indonesia I (pertama) dilakukan di Solo pada tanggal 25-28 Juni 1938. Selanjutnya, kongres kedua dilaksanakan di kota Medan, Sumatera Utara, pada 28 Oktober-2 November 1954, bertepatan dengan hari Sumpah Pemuda.

Kota Medan dipilih, karena menurut M. Yamin, Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan (1953--1955), di kota Medanlah bahasa Indonesia dipakai dan dipelihara, baik di keseharian rumah tangga maupun dalam kehidupan bermasyarakat.

Kembali ke topik menjalin keindonesiaan dari titik nol Barus. Ada hal yang sangat menarik dari kota ini yang belum diketahui oleh banyak orang. Yuk, kita lihat.

1. Kota ini merupakan emporium dan pusat peradaban tua

Emporium adalah pusat perdagangan; pusat perbelanjaan. Barus menjadi pusat peradaban pada abad 1 -- 17 M, disebut juga dengan nama lain, yaitu Fansur.

Kecamatan Barus berada di Pantai Barat Sumatera, dengan ketinggian antara 0 -- 3 meter di atas permukaan laut. Di sebelah Baratnya, Barus berbatasan langsung dengan Samudera Hindia, maka tidak heran sebagai kota pelabuhan, ia menjadi pusat perdagangan. Perdagangan adalah salah satu modus operandi penyebaran bahasa yang sangat efektif.

2.Terkenal sejak zaman Firaun Mesir

Syekh Ali Akbar Marbun, pimpinan salah satu pondok pesantren di Barus, mengatakan bahwa Barus sudah terkenal sejak zaman Firaun Mesir. Terutama demi kepentingan pembalseman mumi di Mesir, dengan rempah-rempah dan bahan kapur barus yang diambil orang Mesir dari Barus.

Kapur Barus dan rempah-rempah dari kota Barus, pada masa lalu merupakan salah satu komoditas perdagangan yang sangat berharga yang diperdagangkan sampai ke Arab, dan Parsia. Kapur Barus sangat harum dan menjadi bahan utama dalam pengobatan. Namun, eksplorasi yang berlebihan dari kapur barus ini mengakibatkan tidak ada lagi regenerasi dari pohon yang berusia lama ini.

3. Pusat penelitian arkeologi Islam

Barus adalah kota peradaban tua yang pernah jaya pada masanya. Ia menjadi salah satu tujuan wisata bagi para peneliti arkeologi Islam, baik dari dalam dan luar negeri. Khususnya di Lobu Tua, sebuah kawasan di Barus, peneliti Prancis dan Indonesia bersama-sama melakukan eksplorasi arkeologi. Saat ini disana dapat dilihat peninggalan sejarah Islam, yaitu adanya makam Papan Tenggi dan makam Mahligai.

Foto: Presiden Jokowi mengunjungi kawasan objek wisata religi Pemakaman Mahligai Barus. (Laily Rachev/Biro Pers Setpres)
Foto: Presiden Jokowi mengunjungi kawasan objek wisata religi Pemakaman Mahligai Barus. (Laily Rachev/Biro Pers Setpres)

4. Ada Sufi terkenal dari Barus

Ia adalah Hamzah al-Fansuri atau dikenal juga sebagai Hamzah Fansuri. Ia adalah seorang ulama sufi dan sastrawan yang hidup pada abad ke-16, yang berasal dari Barus. Ada juga yang berpendapat ia lahir di Ayutthaya, ibukota lama kerajaan Siam.

Nama "al-Fansuri" sendiri berasal dari arabisasi kata Pancur, sebuah kota kecil di pesisir Barat Tapanuli Tengah, dekat dengan Barus. Dalam zaman Kerajaan Aceh Darussalam, kampung Fansur itu terkenal sebagai pusat pendidikan Islam di bagian Aceh Selatan.

Maka tidak heran, Hamzah al-Fansuri lama berdiam di Aceh. Ia terkenal sebagai penganut aliran wahdatul wujud. Itu adalah sebuah ajaran yang meyakini penyatuan wujud Tuhan dengan wujud makhluk, artinya bersatunya Tuhan dengan manusia yang telah mencapai hakiki atau dipercaya telah suci.

Dalam sastra Melayu, Hamzah al-Fansuri dikenal sebagai pencipta genre syair. Ada yang menyebutnya sebagai Sang Pemula Puisi Indonesia.

Sang sufi yang juga penyair mula-mula Indonesia dari abad ke-16 itu, telah dianugerahi Bintang Budaya Parama Dharma, oleh Presiden Indonesia ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono, pada 12 Agustus 2013 yang lalu.

5. Barus adalah titik nol

Melalui Barus, kita mengetahui sejarah perihal bahasa Melayu dan bahasa Indonesia. Melayu Barus merupakan titik nol, dalam pengembangan bahasa dan sastra Indonesia.

Prof. Amrin Saragih, seorang doktor linguistik terjemahan bahasa Inggris dari Universitas Negeri Medan, mengatakan bahwa permulaan rentasan bahasa Melayu yang berkeindonesiaan adalah dari Barus.

Itu tidak terlepas dari peran Barus pada titik nol sebagai pusat perdagangan, pusat penyebaran agama Islam, pusat budaya, bahasa dan sastra Melayu.

Sementara itu, Prof. Abdul Hadi mengatakan bahwa faktor pemerkuat penggunaan bahasa Melayu adalah tingginya perdagangan yang menjadikan bahasa Melayu sebagai sarana transaksi komoditas. Selain itu juga adalah dakwah Islam, serta penyebaran pemikiran dan syariat.

Katanya lagi, tercatat dalam Kitab Nagara Kertagama, bahwa kapal-kapal Majapahit singgah di Barus. Selain itu karya-karya bangsa Arab yang masuk ke Nusantara melalui Barus, turut memperkaya bahasa dan budaya Melayu, yang kelak menjadi cikal bakal bahasa Indonesia.

Maka, tidak heran sebagaimana penjelasan Dr. Ir. H. Akbar Tandjung, seorang putra daerah Barus, yang juga merupakan politisi senior, bahwa Presiden Jokowi meresmikan Barus sebagai "Titik Nol Peradaban Islam Nusantara", pada 24 Maret 2017 yang lalu.

Presiden Jokowi meresmikan tugu Titik Nol Islam Nusantara di Barus | Sumber: hidayatullah.com
Presiden Jokowi meresmikan tugu Titik Nol Islam Nusantara di Barus | Sumber: hidayatullah.com

Kata pak Akbar Tanjung, bahwa pada masa lalu, Barus dikenal sebagai tempat pelabuhan terbuka, bandar perdagangan nusantara. Termasuk juga pintu masuknya agama-agama, Islam (sekitar abad ke-7 Masehi), Kristen (terlihat dari bangunan gereja yang sudah lama berdiri di Barus), Hindu (sebab Barus berbatasan langsung dengan Samudra Hindia di sebelah Barat).

6. Ada Marga Barus pada suku Karo

Menariknya lagi, bahwa ada marga Barus, yang merupakan sub marga dari cabang Marga Karo-Karo pada suku Karo. Nenek moyang marga Barus pada suku Karo ini juga diyakini memiliki keterkaitan dengan kota Barus yang bersejarah itu.

Bahkan, dekat perbatasan Kabupaten Karo dan Kabupaten Deli Serdang, ada sebuah gunung yang disebut "Deleng Barus". Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa Tanah Karo dan Deli Serdang juga tidak dapat dipisahkan dari sejarah kebudayaan Melayu.

Narasumber dari Balai Bahasa Provinsi Sumatera Utara, yang memfasilitasi pelaksanaan gelar wicara secara virtual itu mengatakan bahwa selain kota Barus yang ada di pantai Barat Sumatera, ada juga sejarah menarik dari pesisir pantai Timur Sumatera Utara, yang berpusat di Malaka. Pada masa lalu ada sebuah kerajaan besar bernama Kerajaan Haru.

Katanya lagi, bahwa pada Kitab Pararaton, dijelaskan sebuah terjemahan ucapan dari maha patih Gajah Mada, katanya "Kita telah mengalahkan Nusantara,...termasuk Kerajaan Haru". Tanah Karo pernah menjadi bagian dari kejayaan kerajaan ini.

Pada abad ke-13, kerajaan Haru terkenal sangat kuat, hingga ditaklukkan oleh kerajaan Samudra Pasai. Sudah pula masuk pengaruh agama Islam dan bahasa Melayu. Adalah kesultanan Serdang, yang sampai dengan sultannya yang ke-14 mempunyai hubungan dengan Aceh. Setelah itu, kesultanan hanya menjadi lembaga adat, dalam sistem pemerintahan republik.

Wasana Kata

Dari penjelasan di atas, sudah jelas terlihat dari sejarahnya, bahwa salah satu bahasa yang memiliki modal menjadi bahasa persatuan Indonesia adalah bahasa Melayu. Bahasa persatuan kita adalah bahasa Melayu yang kemudian diberi nama baru bahasa Indonesia.

Tema bulan bahasa 2020 ini adalah "Berbahasa untuk Indonesia Sehat". Ini berhubungan dengan pemahaman bahwa berbahasa bisa menyehatkan. Saling memahami lewat bahasa dapat mendukung penanganan masalah-masalah kesehatan, termasuk penanganan covid-19.

Bahasa Indonesia yang tumbuh dari bahasa Melayu telah berkembang melampaui zaman. Bahasa daerah dan bahasa asing termasuk yang menjadi sumber pertumbuhannya.

Pada 28 Oktober 2020 ini, menjadi permenungan bagi kita tentang bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, pada momen Hari Sumpah Pemuda. Revitalisasi aspek kebahasaan, dari sejarah keberhasilan bahasa Melayu sebagai pengantar dakwah agama Islam di Barus Sumatera Utara, bukan dengan maksud membeda-bedakan suku dan agama tertentu.

Namun, turut mendorong pemahaman tentang pentingnya revitalisasi dan pelestarian bahasa daerah, termasuk mengembalikan arti penting nilai bahasa Melayu, sebagai bagian dari aset Republik Indonesia.

Memuliakan bahasa memajukan bangsa
Bahasa daerah itu pasti, bahasa Indonesia itu wajib, dan bahasa asing itu perlu
Utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, pelajari bahasa asing
Ubah slogan menjadi tindakan, mari gunakan bahasa Indonesia
Rupawan karena bahasa, tiada cela berbahasa Indonesia

Referensi: 1, 2, 3, 4, 5, 6

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun