Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

"Planet of the Apes", Perihal Kemanusiaan dan Kecerdasan Manusia

16 Oktober 2020   15:01 Diperbarui: 16 Oktober 2020   21:42 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Karya fiksi merupakan hasil imajinasi dari manusia sendiri. Manusia terkadang mencoba mengkritisi esensi kemanusiaannya sendiri, memakai sudut pandang makhluk lain sebagai pihak ketiga, kendatipun itu adalah hasil tafsirannya sendiri.

Hal ini sebagaimana yang tampak dalam film Planet of the Apes. Sang sutradara mencoba menyampaikan pesan-pesan humanis, sekaligus yang bermuatan ekologis, futuris, etis dalam bingkai evolusi modernis, dalam hubungannya dengan penafsiran dari sudut pandang simpanse atau kera.

Planet of the Apes disutradari oleh Tim Burton, dan dirilis pada 27 Juli 2001, di Amerika Serikat. Film ini dibintangi oleh Mark Wahlberg yang berperan sebagai  Kapten Leo Davidson, Helena Bonham Carter berperan sebagai Ari, dan Tim Roth yang berperan sebagai Jenderal Thade.

Dikisahkan, bahwa pada tahun 2029, seorang astronot bernama Leo Davidson mendaratkan pesawat luar angkasa di sebuah stasiun luar angkasa dalam rangka misi penyelamatan. Namun, akibat sebuah kecelakaan dia terdampar di sebuah planet dimana gorila (kera) memerintah atas manusia.


Dengan bantuan seorang aktivis pencinta simpanse bernama Ari, Kapten Leo memimpin perjuangan melawan dominasi tentara gorila. Pasukan gorila ini dipimpin oleh Jenderal Thade, dan prajurit kepercayaannya bernama Attar.

Saat manusia dan kera berperang, kosmos kembali ke titik kesetimbangannya. Kejadian awalnya berulang kembali, dimana seekor kera eksperimental yang dianggap oleh manusia sebagai nenek moyangnya, ternyata dikirim kembali ke bumi oleh manusia yang terdampar di tengah peperangan manusia dan kera.

Pertarungan kedua spesies ini, bila diperas ke dalam sebuah kalimat singkat, bertujuan dalam rangka membuka tabir rahasia tentang masa lalu umat manusia dan kunci menuju masa depannya.

Sulit membayangkan bagaimana hal itu bisa terjadi, sementara sampai dengan saat ini belum pernah ada didapatkan kabar tentang kera yang mampu berdiskusi soal persepsi.

Dalam film tersebut, ada sebuah dialog fiksi, saat kera memberi persepsi tentang manusia, katanya: "Manusia adalah makhluk yang kecerdasannya sangat berhubungan dengan kekejamannya".

Setelah menonton sampai akhir, sang sutradara tampaknya mencari jalan aman untuk mengakhiri filmya. Sekaligus menegaskan ke penonton, bahwa sang sutradara juga manusia, bukan kera.

Satu pesan yang saya tangkap dari film ini: "Marilah kita lemah lembut sekalipun kepada kera, untuk menjinakkan kekejaman dan kebuasan mereka". Bahwa kekejaman dan kebuasan sebenarnya adalah karakteristik hewan bukan kita manusia.

Dalam sebuah dialog, Ari berkata: "You know one day they'll tell a story about a human who came from the stars and changed our world. Some will say it was just a fairy tale, that it was never real. But I'll know". Suatu hari orang-orang akan menceritakan sebuah kisah tentang manusia yang berasal dari bintang-bintang dan mengubah dunia kita. Sebagian lagi akan berkata bahwa itu hanya dongeng dan tidak pernah terbukti. Namun, aku akan tahu.

Selain film produksi tahun 2001 itu, sebenarnya ada juga Planet of the Apes versi produksi tahun 1968, yang juga merupakan film produksi Amerika Serikat, bergenre sains fiksi. Film ini disutradarai oleh Franklin J. Schaffner, dan dibintangi oleh Charlton Heston, Roddy McDowall, Kim Hunter, Maurice Evans, James Whitmore, James Daly dan Linda Harrison.

Satu hal yang menarik, bahwa baik film versi tahun 1968 ini, maupun versi tahun 2001 sama-sama dibuat berdasarkan pada sebuah novel berbahasa Perancis, berjudul La Planete des Singes, ditulis oleh Pierre Boulle.


Pada versi tahun 1968 ini, film ini memang penuh dengan nilai-nilai konservatif, yang skeptis terhadap teori evolusi. Kaum evolusionis beranggapan bahwa kera adalah nenek moyangnya manusia.

Dalam pandangan evolusionis ini, logisnya adalah jika kera berevolusi, maka mereka akan mampu berpikir logis, rasional, etis sebagaimana layaknya manusia sekarang. Namun, semakin lama ditonton, filmnya semakin jelas menggambarkan bahwa bagaimanapun kera didandani, bisa ngomong, dan sebagainya, ternyata sifat alamiah mereka, yakni berlaku kejam, tidak bisa hilang.

Kera juga tidak terbukti bisa menjadi "manusiawi". Sebagian pihak menilai ini sebagai sebuah bantahan terhadap teori evolusi Darwin.

Kalangan liberal atau progresif, yang biasa juga dikenal sebagai Darwinis, banyak yang menganggap dan mempercayai bahwa nilai-nilai konservatif sebagai anti ilmu pengetahuan dan teknologi. Pertanyaannya adalah, mengingat sering kali ilmu pengetahuan, termasuk sains juga, berawal dan berkembang dari keraguan (skeptisisme), maka mengapa pula mereka yang meragukan teori evolusi dianggap sebagai anti sains?

Menarik mengetahui, bahwa aktor dalam film bertahun 1968 itu adalah seorang konservatif. Ia adalah Charlton Heston, yang lahir pada 4 Oktober 1923, dan meninggal pada 5 April 2008. Selain seorang aktor, dia juga adalah aktivis politik.

Heston muncul dan membintangi hampir 100 film selama 60 tahun kiprahnya. Dia bermain sebagai Moses dalam film The Ten Commandments (1956), yang mana untuk itu dia masuk dalam nominasi Golden Globe Award sebagai aktor terbaik. Dia juga bermain di The Greatest Show on Earth (1952), Secret of the Incas (1954), Touch of Evil (1958), Orson Welles, The Big Country (1958), dan Ben-Hur (1959). Untuk Ben-Hur, Charlton Heston memenangkan piala Oscar, kategori aktor terbaik.

Walaupun bermain di film yang mengusung tema yang terkait dengan evolusi dalam bungkus sains fiksi, Heston adalah orang yang mempercayai nilai-nilai keluarga dan ketuhanan. Ia juga seorang maskulinis, pendukung konstitusi Amerika yang menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia. Bagi orang seperti Heston, totalitarianisme, apalagi yang berlaku oleh kera atas manusia bukan sesuatu yang menjadi keyakinannya.

Menonton film versi tahun 1968-nya, menjadi gambaran kebenaran kata-kata dalam kitab suci, "Apa yang terjadi kini, dulu pun sudah terjadi, dan akan terjadi lagi nanti". Atau syair dalam sebuah lagu rohani: "Hari ini akan menjadi hari esok, dan besok segera akan menjadi hari ini ".

Kehidupan bangsa-bangsa di dunia, diwarani oleh kiprah orang-orang dengan sisi gelap dan sisi baiknya masing-masing. Siapakah pemilik sejarah? Ada yang bilang, bahwa yang dikatakan sebagai sejarah adalah hasil pembingkaian cerita oleh mereka yang berkuasa.

Dalam sudut pandang demikian, maka setiap rezim berganti, maka berubah jugalah sejarah yang diyakini dan disebarluaskan sebagai kebenaran. Bahkan, kini semakin sulit mengetahui sejarah yang sesungguhnya, di tengah kemunculan para revisionis yang membuat sejarah menurut versinya sendiri dengan dukungan penyalahgunaan teknologi informasi.

Kita sebenarnya tidak perlu terjebak dalam perdebatan tanpa ujung tentang asal-usul kita, sekalipun itu penting. Oleh karena yang terutama di antara yang penting sepertinya adalah, bagaimana kita menjalani hari ini, dalam waktu yang selalu berjalan dan berganti, sambil berusaha menjalani dan mengisinya sebaik mungkin dengan hal-hal terbaik yang kita bisa.

Benar, bahwa yang menjadi ukuran dalam hal ini, bukan sebanyak apa yang kita punya, melainkan seberapa berguna kehadiran kita. Bukan sebanyak apa yang kita tahu, melainkan seberapa jauh kita peduli.

Nilai dan kualitas kemanusiaan kita tidak semata diukur dari kebenaran pendapat tentang asal-usul kita dari mana, tetapi seberapa berguna kita bagi sesama, makhluk hidup lainnya, dan alam ciptaan secara keseluruhan.

Kalau terjadi kesalahan dalam pendapat ini, jangan-jangan memang tidak sedikit kita menemukan kenyataan dimana mereka yang berasal dari kerajaan animalia, dalam sebagian hal tampaknya lebih manusiawi dari kita. Atau sebaliknya, manusia yang tampak bisa lebih buas dari hewan terbuas sekalipun?

Jangan salah menyimpulkan pandangan mereka yang berkata dalam kiasan, bahwa manusia adalah makhluk yang kecerdasannya sangat berhubungan dengan kekejamannya. Sebab, kecerdasan sejatinya memang digunakan untuk memuliakan kehidupan sesama, mencegah ancaman terhadap kehidupan makhluk hidup lainnya, dan melestarikan alam ciptaan secara keseluruhan sebagai tempat hidupnya.

Referensi: 1, 2, dan 3

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun