Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Siapa Sebenarnya yang Gila?

10 Oktober 2020   11:57 Diperbarui: 10 Oktober 2020   12:06 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Photo by Cameron Casey from Pexels)

Ceritanya bermula ketika beberapa orang gila berkumpul tadi sore sambil ngopi. Mereka, dalam kegilaannya bersepakat untuk jujur mengatakan kebenaran atas dasar fakta, bahwa mereka tidak pernah berusaha untuk menjadi tampak waras. Mereka benar-benar tidak perlu mengingat apakah mereka memang pernah berusaha menjadi waras.

Informasi di atas, bisa digunakan sebagai sebuah cara untuk menyampaikan suatu kejadian menggunakan kata gila dalam makna kiasan. Pada kenyataannya, yang berkumpul pada sore itu adalah beberapa orang eksekutif muda dari sebuah perusahaan, yang membahas ide kreatif untuk kemajuan bisnis mereka sambil ngopi.

Namun, apakah mereka memang benar gila atau waras? Itu tergantung dilihat oleh siapa dan dari sudut pandang apa?

Jauh dari zaman purba, Plato sudah menjelaskan bahwa sesuatu yang tidak dipikirkan sama sekali, sama artinya dengan tidak ada. Dalam sudut pandang ini, bukankah berarti bahwa kegilaan yang adanya di dalam pikiran, apabila tidak dipikirkan, sama artinya dengan tidak ada?

Jadi, siapakah yang sebenarnya yang gila?

Mark Zuckerberg, pernah menyampaikan pidato di depan wisudawan/ wisudawati Universitas Harvard, pada 26 Mei 2017. Katanya "Bagus untuk menjadi idealis. Tapi bersiaplah untuk disalahpamahi. Siapapun yang mengerjakan sesuatu dengan visi besar akan disebut gila, bahkan ketika anda bisa membuktikan bahwa itu benar".

Bagaimana mengartikan pendapat yang mengatakan bahwa orang dengan visi yang besar sebagai orang yang gila? Kita bisa mengujinya dari sudut pandang diri sendiri tentunya, terkait dengan hubungan sosial kita di tengah masyarakat.

Ada beberapa hal yang mungkin akan kita terima sebagai respons dari orang lain, bahkan ketika kita sudah merasa melakukan hal yang terbaik yang kita bisa, antara lain:

  • dikiritik karena dianggap bergerak terlalu cepat, pada saat kita berinisiatif;
  • dicaci karena dianggap tidak memahami tantangan, padahal kita sedang mencoba menyelesaikan masalah yang rumit;
  • disalahkan saat berbuat sesuatu, tidak berbuat apapun malah disukai.

Bila inisiatif dan keinginan untuk terlibat melakukan sesuatu yang baik mendapatkan respons yang kurang baik di suatu komunitas (masyarakat), maka jangan terlalu cemas. Bisa saja yang salah bukan kita, tapi kita tengah berada di komunitas (masyarakat) yang sakit.

Bisakah sakit pikiran (gila) terjadi secara massal? Realitas manusia saat berkendara di jalanan, berguna untuk menunjukkan faktanya kepada kita.

Sering kita jumpai di jalan-jalan raya kita, pengendara mobil yang suka sekali membunyikan klakson, padahal sudah tahu kalau di depan mobil sudah antri dalam kemacetan panjang. Gila bukan? Apakah dia tidak melihat kenyataan, sehingga yang tampak baginya hanyalah dia sendiri yang terjebak di tengah kemacetan?

Ada lagi, angkutan umum yang menurunkan atau menaikkan penumpang dengan berhenti seenaknya, hingga memakan lebih dari setengah badan jalan. Tampaknya, baginya seolah seluruh alam semesta hanya perlu memahami tentang masalah setorannya sendiri.

Masih ada, kita mungkin pernah menemukan mobil yang melaju meliuk-liuk, menyalib kendaraan dari kiri dan kanan pada sebuah ruas jalan yang sedang macet. Apakah dia merasa seolah khusus kendaraannya sendiri, muat untuk bisa melaju di sela-sela kendaraan yang macet?

Ada juga kenyataan, ketika seorang pengendara motor melotot saat dirinya hampir keserempet. Ia menyalib kendaraan dan berlagak bak pembalap MotoGP, padahal dia berkendara pada ruas jalan kota dengan rambu penanda kecepatan maksimal  40 km/jam.

Namun, ada yang paling gila. Seorang ibu yang melaju dengan tenang di atas sepeda motor, dengan lampu sein sebelah kiri yang menyala, lalu mendadak berbelok ke kanan.

Beruntungnya, kegilaan ini terjadi secara massal, bahkan bisa jadi populasinya juga meningkat. Akibatnya, dalam komunitas (masyarakat) yang sakit, maka yang waras mungkin akan terlihat sebagai sedikit dari yang gila.

Denmark adalah negara yang sudah tujuh tahun berturut-turut menjadi negara dengan penduduk yang paling bahagia di dunia hingga tahun 2018. Pada tahun 2018 itu, mereka berada pada peringkat ke-3.

Menurut warganya, bekerja di atas pukul 17:30, apalagi bekerja di akhir pekan, adalah hal yang gila. Idenya, setiap keluarga harus menikmati waktu bersama setiap hari, minimal di penghujung hari.

Mereka semakin berbahagia pada saat mereka memiliki semakin banyak waktu bersama keluarga.

Setiap orang mungkin punya ukuran kewarasan dan kegilaan sendiri. Apa yang mungkin bersifat umum dalam hal ini adalah, bahwa "rasa tidak selalu ditentukan oleh kemasan". 

Kegilaan bukan hanya sesuatu yang tampak dalam tampilan manusia-manusia lusuh, dengan tubuh tak terurus, dan berjalan tak tentu arah di jalanan. Waras atau gila, bisa terasa sebagai dampak dari suatu pilihan tindakan.

Sebagai orang yang bukan ahli kejiwaan, kita bisa mencoba realistis dalam memahami aspek etis tanpa berusaha memaksakan diri untuk terlihat intelektual. Michel Foucault menjelaskan bahwa pengetahuan (episteme) sebagai sebuah totalitas yang menyatukan, mengendalikan cara kita memandang dan memahami realitas tanpa kita sadari.

Menurutnya, episteme tidak bisa dilihat atau bahkan disadari ketika kita ada di dalamnya. Hal itu disebabkan oleh pandangan bahwa kita telah berada dalam episteme yang berbeda, ketika kita sadar akan episteme yang mempengaruhi kita.

Episteme tidak bisa dilacak, tetapi dapat ditemukan dengan cara mengungkap "yang tabu", "yang gila", dan yang "tidak benar" menurut pandangan suatu zaman. Pada saat kita menemukan "yang tabu", maka kita telah mengetahui sebelumnya "yang pantas". Saat kita tahu "yang gila", maka kita sebelumnya telah tahu mana "yang normal".

Lalu siapa sebenarnya yang gila, bila kita tidak mungkin merasakan kegilaan kita saat kita berada di dalamnya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun