Ada lagi, angkutan umum yang menurunkan atau menaikkan penumpang dengan berhenti seenaknya, hingga memakan lebih dari setengah badan jalan. Tampaknya, baginya seolah seluruh alam semesta hanya perlu memahami tentang masalah setorannya sendiri.
Masih ada, kita mungkin pernah menemukan mobil yang melaju meliuk-liuk, menyalib kendaraan dari kiri dan kanan pada sebuah ruas jalan yang sedang macet. Apakah dia merasa seolah khusus kendaraannya sendiri, muat untuk bisa melaju di sela-sela kendaraan yang macet?
Ada juga kenyataan, ketika seorang pengendara motor melotot saat dirinya hampir keserempet. Ia menyalib kendaraan dan berlagak bak pembalap MotoGP, padahal dia berkendara pada ruas jalan kota dengan rambu penanda kecepatan maksimal  40 km/jam.
Namun, ada yang paling gila. Seorang ibu yang melaju dengan tenang di atas sepeda motor, dengan lampu sein sebelah kiri yang menyala, lalu mendadak berbelok ke kanan.
Beruntungnya, kegilaan ini terjadi secara massal, bahkan bisa jadi populasinya juga meningkat. Akibatnya, dalam komunitas (masyarakat) yang sakit, maka yang waras mungkin akan terlihat sebagai sedikit dari yang gila.
Denmark adalah negara yang sudah tujuh tahun berturut-turut menjadi negara dengan penduduk yang paling bahagia di dunia hingga tahun 2018. Pada tahun 2018 itu, mereka berada pada peringkat ke-3.
Menurut warganya, bekerja di atas pukul 17:30, apalagi bekerja di akhir pekan, adalah hal yang gila. Idenya, setiap keluarga harus menikmati waktu bersama setiap hari, minimal di penghujung hari.
Mereka semakin berbahagia pada saat mereka memiliki semakin banyak waktu bersama keluarga.
Setiap orang mungkin punya ukuran kewarasan dan kegilaan sendiri. Apa yang mungkin bersifat umum dalam hal ini adalah, bahwa "rasa tidak selalu ditentukan oleh kemasan".Â
Kegilaan bukan hanya sesuatu yang tampak dalam tampilan manusia-manusia lusuh, dengan tubuh tak terurus, dan berjalan tak tentu arah di jalanan. Waras atau gila, bisa terasa sebagai dampak dari suatu pilihan tindakan.
Sebagai orang yang bukan ahli kejiwaan, kita bisa mencoba realistis dalam memahami aspek etis tanpa berusaha memaksakan diri untuk terlihat intelektual. Michel Foucault menjelaskan bahwa pengetahuan (episteme) sebagai sebuah totalitas yang menyatukan, mengendalikan cara kita memandang dan memahami realitas tanpa kita sadari.