Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Maaf Diary, Catatan Kita Berakhir Sampai di Sini

7 Oktober 2020   02:22 Diperbarui: 7 Oktober 2020   02:45 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

P r o l o g

30 April 2020, saya memulainya dengan sebuah puisi, "Tanya Jelaga kepada Laba-laba".

Rumah sepi, jalananpun sunyi
Kemana gerangan orang-orang?
Apakah semua bersamadi?
Bukan, tak ada uang maka sepi 

Benarkah? Selalukah tentang uang?
Makan harus ada uang, samadipun mungkin harus ada uang
Lalu dimana gerangan uang?
Itulah, mencarinya keburu membuat orang mati 

Itu, di sana ada orang lalu lalang
Di sanakah gerangan uang?
Bukan, orang-orang itu memburu kehidupan
Takada uang, mati

Bukan, itu bukan sepi, bukan pula terlantar
Di rumah ada jelaga, dan laba-laba yang bersarang
Bersama menertawakan kehidupan
Lain hari meratapi kematian

***

2015, lima tahun lebih awal...

Kami membuka sebuah apotek di sebuah ruas jalan yang ramai di kota. Namun, pemain baru pasti membutuhkan upaya ekstra. Sebagai pesaing amatir, pemain lama menang nama dan segalanya. Begitulah hidup, dimana-mana, ya begitu.

Dua tahun kemudian...

10 Juni 2017, Celengan

Meski hidup sendiri masih terasa berat, seorang kawan datang dari jauh, urang Bandung. Si aa terampil membuat celengan. Uniknya, celengannya dari bahan bekas gulungan tekstil yang dipoles menjadi cantik.

Celengan dari Bandung di Apotek Bersama (Dokpri)
Celengan dari Bandung di Apotek Bersama (Dokpri)
"Bang, aku numpang majangin ini di steling ya?" katanya.
"Cantiknya, berapaan ini, Ak?" balasku.
"Cuma 10 ribu Rupiah kok, Bang" jawabnya.

Celengan cantik dari bahan daur ulang ramah lingkungan, kreasi si aa dari Bandung, ada juga di Apotek Bersama. Tidak salah si aa datang, ngapain bikin merek "Bersama" kalau hanya mau main sendiri.

"Oke Ak, mainkan", kami salaman.

18 Juni 2017, Apotek Van den Berg

Saya menemani bapak, yang bertugas memimpin ibadah kebaktian Minggu di sebuah gereja tua, di Desa Lau Simomo. Pertama kalinya saya mengikuti kebaktian di gereja itu. Saat masuk ke dalamnya serasa sedang beribadah di sebuah gereja di Eropa, dari gambar-gambar yang saya lihat di teve atau buku.

Saya sendiri belum pernah ke perbatasan Amerika. Namun, suasanya ibadah seperti berada di tengah padang rumput, seperti di film Little House on the Prairie, tetapi bahasa pengantar ibadahnya bahasa Karo.

Gereja GBKP Lau Simomo (Dokpri)
Gereja GBKP Lau Simomo (Dokpri)
Pengkhotbah, bapak, menceritakan sekilas sejarah pemukiman Lau Simomo, seolah khotbah itu buat saya sendiri. Dia tahu, bagaimanapun saya pertama kali ke desa ini.

Dulu, di desa berdiri permukiman penderita kusta, diprakarsai oleh Pendeta E.J. Van den Berg, seorang misionaris Belanda yang tergabung dalam NZG (Nederlandsche Zendeling Genootschap). Itu adalah lembaga pekabaran Injil Belanda, dengan tugas utama memberikan pelayanan kerohanian.

Semula para penderita kusta dirawat dan menginap di rumah Pendeta Van den Berg di Kabanjahe, menggunakan sebagian kamarnya untuk penampungan sementara para penderita. Selain itu, rumah tersebut juga dilengkapi dengan apotek.

Akibat banyaknya pasien yang datang, maka kamar yang tersedia tidak dapat lagi menampung. Pendeta Van den Berg mengusulkan pendirian permukiman baru di suatu desa, tidak jauh dari Kabanjahe, itulah Desa Lau Simomo.

Wah, kebetulan khotbah tentang apoteknya Van den Berg. Pada masa itu, tantangannya mungkin tidak bisa dibandingkan dengan Apotek Bersama, yang dikelola istri saya. Terima kasih, Romo Pendeta. Khotbah ini menguatkan saya.

8 Juli 2017, Selamat pagi, Salam

Hari ini, datang lagi seorang mbak-mbak muda. Sepertinya dia adalah anak muda yang kreatif.

Turut serta menggairahkan tumbuhnya industri kreatif, dia menawarkan bantal cantik hasil buatan tangannya sendiri. Hasil kerajinan rumahan ini, bisa dipesan dengan gambar dan tulisan sesuai keinginan.

Bantal cantik di Apotek Bersama (Dokpri)
Bantal cantik di Apotek Bersama (Dokpri)
"Bangsa yang besar lahir dari keluarga-keluarga kecil yang kuat. Mari dukung ekonomi kecil untuk kepentingan nasional", begitu sepotong mantra yang terngiang di telinga. Nangkringlah bantal-bantal cantik si mbak di atas steling, di samping celengannya si aa.

"Bisa didapatkan di Apotek Bersama, kapan saja. God bless", begitu saya memajang iklannya di media sosial, biar bisa dilihat siapa saja. Saya pikir, apa salahnya saya berjuang menjaja obat sakit kepala, sakit perut dan sakit gigi, sambil bergandengan tangan bersama celengan si aa dan bantal si mbak. Lagipula mereknya, "Apotek Bersama".

30 Juli 2017, Happy Sunday

"Atas masukan dari teman-teman pada pesanan terdahulu, sekarang si aa udah bikin celengan dengan motif karakter kartun untuk anak-anak. Berikut contoh gambarnya. Monggo bagi yang masih mau memesan, bisa melalui Apotek Bersama". Demikian saya pasang iklan di akun medsos saya.

Celengan motif kartun (Dokpri)
Celengan motif kartun (Dokpri)
Lagipula, hari Minggu adalah hari yang mulia. Mungkin akan banyak orang melihat-lihat media sosial sambil bersantai di hari Minggu ini, kupikir.

"Mohon maaf atas beberapa pesanan yang sempat tertunda, karena si aa pulang lebaran dan sampai sekarang nggak pulang-pulang (ke kos), jadi barangnya langsung dikirim dari Bandung. Terima kasih, God bless", saya tambahkan sedikit sambungan di media sosial yang sudah seperti diary ini.

27 Jan 2018, Bukan Clark Kent

Sambil menjaga apotek, saya berswafoto, "Bukan Clark Kent, yang sedang menjaga warung di hari Minggu yang cerah, di Apotek Bersama". Begitu caption-nya.

Dokpri
Dokpri
16 Feb 2018, Buanglah sampah pada tempatnya

Peribahasa sejak zaman purba itu masih saja menghantui. Bahkan hingga kini, anak saya sudah tiga.

Pada suatu ketika di 2012, saat hendak menyusun rencana induk tentang pengelolaan persampahan, seorang konsultan lingkungan mengatakan bahwa bangsa Jepang membutuhkan waktu 30 tahun untuk bisa membangun mental warganya, agar tidak membuang sampah sembarangan, alias membuang sampah ke tempatnya.

Kalau orang Jepang, dengan disiplinnya yang tinggi itu butuh waktu 30 tahun, maka berapa lama lagi waktu yang kita punyai, bila harus menunggu 30 tahun lagi (itupun kalau kampanye 'tidak membuang sampah sembarangan" dimulai hari ini), baru kita sanggup untuk sekadar membuang sampah pada tempatanya?, pikirku.

Sore itu, sebelum pulang dari taman, saya mengajak anak-anak untuk memungut sampah-sampah yang ditinggal pergi para pemiliknya tanpa rasa tanggung jawab. Beruntung, anak-anak tampak antusias.

Memungut sampah (Dokpri)
Memungut sampah (Dokpri)
"Tidak apa-apa tangan dan kaki kalian jorok karena memungut sampah sore ini. Nanti kita minta sabun antiseptik sama mamak di Apotek", kataku. Aku hanya ingin supaya mereka tahu, keadaan seperti apa yang dihadapi para petugas kebersihan setiap hari, yang harus memunguti sampah yang dibuang sembarangan.

14 April 2018, Waktu akhir pekan untuk keluarga

Saya tidak terbiasa di epistem persepakbolaan, maka di sela-sela pertandingan Barcelona FC melawan Valencia malam itu, saya melawan anak yang paling tua di atas papan catur. Anak saya terbiasa bermain catur melawan kakek-kakek di kedai kopi milik kakeknya.

Seperti kata Rob Fisher, bahwa secara alamiah semua orang adalah filsuf. Bagi istri saya, filsafatnya mungkin untuk memberikan konsultasi farmasi sebaik mungkin, agar obatnya terjual dan dikonsumsi tepat sasaran dan tepat penggunaan.

Sementara itu di atas papan catur, bagi anak saya mungkin filsafatnya adalah melakukan langkah bukaan sebaik mungkin, dan membangun strategi untuk sedapat-dapatnya menyerang sekaligus membangun pertahanan. Niatnya, untuk dapat membuka peluang langkah jebakan bagi saya sebagai lawan.

Bersama keluarga (Dokpri)
Bersama keluarga (Dokpri)
Tampaknya, semua orang seperti sibuk mengarang filsafatnya sendiri. Mereka mengambil pendekatan-pendekatan filosofis.

Itulah sebabnya mengapa dalam filsafat, kesimpulan yang kita raih hanya dapat sekadar bersifat tentatif dan provision, karena kesimpulan itu hanya akan membuka timbulnya pertanyaan selanjutnya.

Saya hanya mencoba ikut bermain, dan mencobanya dengan tidak takut-takut. Sebab, yang terpenting dari segalanya, kami menikmatinya. Uniknya, cafe ini memiliki merek yang sama dengan apotek keroyokan itu, Cafe Bersama.

5 Mei 2018, Berjualan rotan di pinggir jalan

Ini pencitraan, saya hanya membantu menjaga. Penjualnya orang lain, saya hanya menumpang membaca.

Dimana lagi bisa menemukan hiburan? Salah satunya, pada kesendirian di hari Sabtu, duduk pada sebuah kursi malas masa kini, atau ini lebih tepat disebut ayunan.

Di kursi rotan (Dokpri)
Di kursi rotan (Dokpri)
Mari pesan sekarang
Aneka kerajinan rotan
Di pojokan pinggir jalan

Sebelah Apotek Bersama
Jalan Veteran No. 75
Kabanjahe, Karo Highland
North Sumatera, Indonesia

Begitu saya memasang iklan di media sosial, dengan bahasa centang perenang, mencoba menyerupai wujud puisi setengah jadi.

27 Juni 2018, Stay calm, deutschland uber alles

Itu adalah musim pertandingan piala dunia sepak bola. Saya menontonnya di teve, bersama istri dan anak-anak di apotek.

Kalau di tangsi, mereka mungkin sudah menjadi anak kolong. Kalau di apotek ini, mereka seperti menjadi anak farmakope, farmakologi dan farmakognosis, entahlah apakah ada farmacommerce.

Menonton bola di Apotek (Dokpri)
Menonton bola di Apotek (Dokpri)
Dingin- dingin malam itu, apotek masih tetap buka. Bukan apa-apa, kami membela Jerman di pertandingan.

"Menonton berlima, tapi tipinya kecil kali, Pak", demikian kata anak saya yang nomor dua. Dia satu-satunya fans tim nasional Korea Selatan di bilik ini.

Saya menimpali, "Jerman lawan Korsel, ayo taruhan, siapa menginjak punggung siapa dinihari nanti".

10 September 2018, Apotek dan Gadis Tangsi

Kalau di "Gadis Tangsi", berjualan berarti sebagaimana Teyi menjajakan goreng pisang di atas nyiru, berkeliling di komplek rumah-rumah loji. Pada apotek ini, farmakope, farmakologi, farmakognosis, dan segala hal tentang farmasi sedang berlatih dan belajar bertransformasi menuju farmacommerce,

Belanja online untuk urusan farmasi, di kampung, mengapa tidak? Saya menggumamkan sesuatu. Istri saya mengira saya bermimpi.

Sebetulnya, dari awal Apotek Bersama beroperasi, kami meniatkan untuk melayani kebutuhan obat-obatan dengan keramahtamahan, dan segala penjelasan yang dibutuhkan oleh pembeli atas obat yang dibeli. Tidak saja terkait manfaat, tapi juga efek samping dari obat yang dibeli.

"Healthy means beyond pharmaceutical, it's connected to humanity. We greet you with smile and hospitality, as warm as morning sunshine", saya bersusah payah menuliskan dengan bahasa asing sekalipun belepotan. Maksud saya supaya orang asing juga datang karena ia mengerti. Logis atau ngawur, beda tipis bagi masing-masing pemeluknya.

3 November 2018, Apotek Bersama di Kompasiana

Saya mendaftar untuk menulis di Kompasiana pada 28 Oktober 2018. Hari itu (3 November 2018), saya sudah 6 hari di K.

Pada suatu hari, seorang bapak menyambangi apotek pada jam makan siang. Penampilannya nyentrik, dengan gelang besi bertuliskan "Tarigan".

Ia mengenakan baju kemeja dan celana jeans, serta sepatu sneakers warna merah. Wajahnya dihiasi kumis tebal serta cambang yang lebat, tapi rapi. Dia memesan obat bermerek Allopurinol dan Divoltar.

Itu adalah obat yang biasa dipesan oleh pembeli dengan keluhan penyakit asam urat. Maka paradoks pun dimulai. Saya menulisnya di Kompasiana dalam sebuah artikel berjudul "Allopurinol dan Divoltar Vs Senduduk".

Baca :Allopurinol dan Divoltar Vs Senduduk

28 Mei 2019, Cerita tentang Apotek di Blog Competition Kompasiana

Kata seorang penjaga apotek, "Aduh, sepi sekali pembeli belakangan ini."

Lalu sesaat kemudian, datanglah seorang wanita yang bekerja sebagai perawat pada salah satu klinik praktik pribadi seorang dokter spesialis saraf.

"Wah, lagi santai ya?" katanya.

"Apanya yang santai, ini sepi sekali tahu! Sudah beberapa bulan ini, sedikit sekali orang yang datang beli obat", kata si penjaga apotek.

"Wah, bukan hanya di sini. Di tempat kami, sudah sebulan ini, hanya satu orang yang datang berobat. Jangan-jangan semua orang memang sudah semakin sehat?" balas si perawat.

Demi mendengar percakapan dua orang di sebuah apotek ini, maka terbersit niat. Bila sudah ikut di K, mengapa tidak mengikuti blogcomp? Topiknya tentang cerita di Apotek Bersama ini, batinku.

Aku menulis artikel yang dikirim ke blogcomp di K, judulnya "Tantangan Stabilitas Sistem Keuangan, Globalisasi Masuk Desa".

Baca :Tantangan Stabilitas Sistem Keuangan, Globalisasi Masuk Desa

21 Oktober 2019, Dijual, Bunga dan Bonsai Cantik

Berbeda dengan sampah plastik kemasan yang tercabik-cabik, hingga menjadi mikroplastik yang termakan oleh makhluk-makhluk penghuni laut. Tidak kurang membuat Menteri Susi dulu begitu geram dengan penggunaan tak terkendali kemasan plastik .

Atau seperti sedotan plastik yang terpakai hingga 9 juta batang setiap harinya di berbagai belahan dunia. Bila dirangkai lurus, akan sama panjangnya dengan jarak dari Jakarta ke Mexico.

Ini adalah bunga, dan bonsai plastik yang cocok mengalihkan penatnya mata di antara sumpeknya ruangan. Sesuatu yang mendatangkan nuansa hijau di bilik, di ruangan kerja atau rumah anda. Berminat? Dapatkan di Apotek Bersama Kabanjahe.

Bunga Plastik di Apotek Bersama (Dokpri)
Bunga Plastik di Apotek Bersama (Dokpri)
Hari ini, bertambah seorang teman. Selain obat sakit kepala, sakit perut, sakit gigi, celengan dan bantal, bunga dan bonsai plastik cantik ikut nangkring di atas steling.

Singkat cerita...

6 Oktober 2020, Penutup

Masih banyak, tapi maaf diary, catatan kita berakhir sampai di sini. Apotek Bersama mengakhiri operasi.

Dalam keseharianmu yang tidak mudah, semua kita lalui bersama. Tangal, bulan dan tahun, aku catatkan, karena cerita tentangmu adalah kenangan dari beragam kejadian dan peristiwa yang kita alami bersama. Tidak salah, "Bersama", tersemat di papan merekmu.

Bersamamu menjalani keseharian, aku menyadari bahwa setiap orang bisa membuat buku hariannya sendiri. Cerita tentangmu berisi curahan perasaan dan pengalaman. Tidak sedikit yang menyenangkan, tapi banyak juga yang tidak.

Kami akan selalu mengenangmu. Kalau ini bukan poto riwayat hidup dalam diary, barangkali tidak salah menjadi obituari. Lima tahun yang lalu kami mulai, hari ini lima tahun kemudian, bersama kita akhiri.

Namun, tunggu! Mungkin ini belum apa-apa. Masih banyak di sana, mereka yang merana tanpa mampu bersuara.

Serombongan anak yang harusnya bercengkrama dalam hangatnya keluarga, mencari makan dari memelas barang-barang bekas.

Oh diary, aku tidak tahan lagi. Maafkan aku, catatan akhirku kutuangkan dalam cerpen omnibus, karena rinduku mungkin tak akan hilang padamu. 

Anak-anak pemungut barang bekas (Dokpri)
Anak-anak pemungut barang bekas (Dokpri)
Puisi utuh pada prolog dapat dibaca di sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun