Sambil menjaga apotek, saya berswafoto, "Bukan Clark Kent, yang sedang menjaga warung di hari Minggu yang cerah, di Apotek Bersama". Begitu caption-nya.
Peribahasa sejak zaman purba itu masih saja menghantui. Bahkan hingga kini, anak saya sudah tiga.
Pada suatu ketika di 2012, saat hendak menyusun rencana induk tentang pengelolaan persampahan, seorang konsultan lingkungan mengatakan bahwa bangsa Jepang membutuhkan waktu 30 tahun untuk bisa membangun mental warganya, agar tidak membuang sampah sembarangan, alias membuang sampah ke tempatnya.
Kalau orang Jepang, dengan disiplinnya yang tinggi itu butuh waktu 30 tahun, maka berapa lama lagi waktu yang kita punyai, bila harus menunggu 30 tahun lagi (itupun kalau kampanye 'tidak membuang sampah sembarangan" dimulai hari ini), baru kita sanggup untuk sekadar membuang sampah pada tempatanya?, pikirku.
Sore itu, sebelum pulang dari taman, saya mengajak anak-anak untuk memungut sampah-sampah yang ditinggal pergi para pemiliknya tanpa rasa tanggung jawab. Beruntung, anak-anak tampak antusias.
14 April 2018, Waktu akhir pekan untuk keluarga
Saya tidak terbiasa di epistem persepakbolaan, maka di sela-sela pertandingan Barcelona FC melawan Valencia malam itu, saya melawan anak yang paling tua di atas papan catur. Anak saya terbiasa bermain catur melawan kakek-kakek di kedai kopi milik kakeknya.
Seperti kata Rob Fisher, bahwa secara alamiah semua orang adalah filsuf. Bagi istri saya, filsafatnya mungkin untuk memberikan konsultasi farmasi sebaik mungkin, agar obatnya terjual dan dikonsumsi tepat sasaran dan tepat penggunaan.
Sementara itu di atas papan catur, bagi anak saya mungkin filsafatnya adalah melakukan langkah bukaan sebaik mungkin, dan membangun strategi untuk sedapat-dapatnya menyerang sekaligus membangun pertahanan. Niatnya, untuk dapat membuka peluang langkah jebakan bagi saya sebagai lawan.