"Burrrrrr...."
Demi mendengar pak Kurak menyebut kata gigolo, di saat pak Gulbak, sang juragan, melintas dengan senyum ramahnya, dikawal para pengawal pribadinya, pak Anceng sontak menyemburkan kopi hitam yang sedang diteguknya. Semburannya memadamkan api rokoknya, juga meninggalkan sisa-sisa bubuk hitam kopi tubruk di sela-sela giginya yang menguning.
Sementara itu, pak Kurak yang baru saja "menggosipkan" juragan Gulbak yang kebetulan melintas, geragapan membalas senyum ramah pak Gulbak di tengah semburan air kopi pak Anceng yang kini sudah kemana-mana. Pak Kurak tidak tahu apa yang terjadi.
Pada meja lain di dalam kedai, tiga orang laki-laki yang sedari tadi sibuk bermain kartu, dan tampak seperti tidak terlalu peduli dengan percakapan Kurak dan Anceng, juga ikut terpingkal-pingkal sambil meremas perutnya, bahkan ada yang sampai keluar air matanya.
"Oh, Kurak", kata seorang paling tua yang duduk di dalam itu.
"Makanya, hati-hati dan jangan sok moderen kalau bicara".
"Maksudmu bodyguard-nya Gulbak yang seperti algojo itu ya?", lanjutnya lagi.
"Sudah, kau bilang saja pengawal atau tukang pukul, bukan gigolo, kan gampang?"
Celotehan para lelaki ditingkahi derai tawa di kedai kopi pada sore itu, menyisakan wajah bersemu merah dan raut kebingungan di muka pak Kurak. Mungkin belum sadar, kalau dia yang sedang ditertawakan, karena kata gigolo.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H