Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Keliru Menyalahkan Gigolo

1 Oktober 2020   23:00 Diperbarui: 2 Oktober 2020   01:49 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: istockphoto.com

Dilansir dari wikipedia, gigolo yang berasal dari kata "gigolette", berarti bayaran yang dipelihara atau disewa oleh seorang wanita sebagai kekasih, atau bisa juga laki-laki sewaan yang pekerjaannya menjadi pasangan berdansa. Kata gigolo berasal dari bahasa Prancis yang maknanya adalah seorang wanita yang dipekerjakan sebagai teman menari.

Alkisah, pada sebuah kampung, di mana masyarakatnya hidup bersahaja nan tenteram damai, hiduplah seorang juragan yang memiliki banyak harta, pak Gulbak namanya. Sawahnya luas, berpetak-petak, terhampar di berbagai belahan sudut kampungnya.

Demikian juga ladangnya, dengan berbagai tanaman yang tumbuh subur dan hasil panen yang melimpah. Belum lagi ternaknya, ribuan ekor ayam, ratusan ekor kambing, serta puluhan sapi, kerbau dan kuda.

Satu hal paling kontras yang membedakannya dengan warga kampung yang sangat bersahaja pada umumnya, adalah dia dan keluarganya selalu naik mobil mewah kemana-mana. Pak Gulbak juga memiliki tiga orang pengawal pribadi.

Istri pak Gulbak, Rudang, adalah seorang wanita yang elok parasnya, dan tampak lemah lembut dalam laku dan tutur katanya. Mereka dikaruniai dua orang anak, laki-laki dan perempuan.

Tongat, anak laki-laki sulungnya, dan Beru, anak perempuannya, umurnya hanya berjarak dua tahun. Hidup keluarga ini sungguh sangat bahagia, tak kurang suatu apapun.

Namun, begitulah kenyataan hidup. Tampaknya dalam suasana sedamai apapun, ada saja jenis orang yang lebih suka melihat sisi keburukan orang lain, daripada kebaikannya. Ada juga yang lebih senang melihat orang lain susah, dan susah melihat orang lain senang.

Melihat orang yang tidak disukai, maka kelemahan yang hanya sebesar biji sesawi akan tetap tampak, meskipun berada di seberang lautan. Sebaliknya, kebaikan di pelupuk mata bisa tidak tampak, meskipun sebesar gajah.

Duduk santai di atas balai-balai sebuah kedai, pak Kurak yang menekuk sebelah kakinya mulai angkat bicara, sambil mengaduk sesendok gula di segelas teh yang dia pesan.

"Begitulah, susah kalau hidup miskin, tapi jadi orang kaya juga susah", katanya.
"Apa maksudmu, Kurak?" kata pak Anceng, yang duduk paling dekat dengannya.
"Itu, Pak Gulbak, lihat saja dia", imbuh pak Kurak.
"Memangnya, ada apa dengan dia?", sambung pak Anceng, mulai menyulut sebatang rokok kreteknya.
"Kita, meskipun hidup pas-pasan, tapi sedikitpun tidak merasa khawatir, kalau mau pergi ke mana saja".
"Lha, dia?! Meskipun hidupnya bergelimang harta, tapi pasti hidupnya tidak tenang", lanjut pak Kurak bersemangat.
"Mengapa pula kau rasa demikian?", tanya pak Anceng, heran.
"Kau lihat tidak? Dengan hartanya yang banyak itu, kemana-mana dia tidak berani pergi sendiri seperti kita".
"Meskipun dia naik mobil mewahnya, ku tengok kemanapun dia pergi, tak pernah dia tidak ditemani tiga orang gigolonya", kata pak Kurak makin bersemangat, tapi semakin merendahkan suaranya.

(Saat itu, mobil pak Gulbak memang melintas di depan kedai. Kaca tengahnya terbuka, pak Gulbak mengangguk sambil melempar senyum ramah kepada mereka. Di kursi depan, samping pak supir, dan di kursi paling belakang, duduk para pengawalnya dengan wajah kaku berhias kumis bapangnya).

"Burrrrrr...."

Demi mendengar pak Kurak menyebut kata gigolo, di saat pak Gulbak, sang juragan, melintas dengan senyum ramahnya, dikawal para pengawal pribadinya, pak Anceng sontak menyemburkan kopi hitam yang sedang diteguknya. Semburannya memadamkan api rokoknya, juga meninggalkan sisa-sisa bubuk hitam kopi tubruk di sela-sela giginya yang menguning.

Sementara itu, pak Kurak yang baru saja "menggosipkan" juragan Gulbak yang kebetulan melintas, geragapan membalas senyum ramah pak Gulbak di tengah semburan air kopi pak Anceng yang kini sudah kemana-mana. Pak Kurak tidak tahu apa yang terjadi.

Pada meja lain di dalam kedai, tiga orang laki-laki yang sedari tadi sibuk bermain kartu, dan tampak seperti tidak terlalu peduli dengan percakapan Kurak dan Anceng, juga ikut terpingkal-pingkal sambil meremas perutnya, bahkan ada yang sampai keluar air matanya.

"Oh, Kurak", kata seorang paling tua yang duduk di dalam itu.
"Makanya, hati-hati dan jangan sok moderen kalau bicara".
"Maksudmu bodyguard-nya Gulbak yang seperti algojo itu ya?", lanjutnya lagi.
"Sudah, kau bilang saja pengawal atau tukang pukul, bukan gigolo, kan gampang?"

Celotehan para lelaki ditingkahi derai tawa di kedai kopi pada sore itu, menyisakan wajah bersemu merah dan raut kebingungan di muka pak Kurak. Mungkin belum sadar, kalau dia yang sedang ditertawakan, karena kata gigolo.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun