Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Music Pilihan

Belajar dari Green Day, Wake Me Up When September Ends

22 September 2020   01:06 Diperbarui: 1 September 2021   22:29 445
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu ketika pada 2007, Billy Joe Armstrong mengatakan kepada The New York Times, bahwa storytelling selalu menjadi inti perasaan dalam setiap musiknya.

Armstrong adalah vokalis dari sebuah band rock dari Amerika, bernama Green Day. Ia membentuk band ini pada tahun 1987 bersama dengan Mike Dirnt, yang merupakan pemain gitar bass dan backing vokal band tersebut.

Salah satu bukti dari perkataan Armstrong, tampak dalam sebuah lagunya yang berjudul "Wake Me Up When September Ends". Ia menulis lagu ini pada tahun 2002.

Dalam alunan melodi lagu yang terasa sendu dan lirik kesedihan yang memendam dari lagu itu, terasa agak bertolak belakang dengan tampilan punk para personel band itu. Sebenarnya, hal itu kembali menegaskan bahwa bagaimanapun terasa keras dan kasarnya suatu aliran seni, apa yang disebut seni tetaplah seni, termasuk musik.

Perpaduan seni dengan kemampuan menceritakan sebuah kisah atau peristiwa di bulan September dalam lirik lagu ini, ternyata memang menyajikan sebuah lagu yang bercerita dengan cara, gaya, dan intonasi yang dapat menarik hati dan menghanyutkan perasaan pendengarnya. Tidak bisa tidak, lagu ini berhubungan dengan sisi halus perasaan Armstrong yang menciptakannya.

Sebagaimana dilansir dari wikipedia, bahwa asal mula kata seni dalam bahasa Indonesia memiliki banyak teori, di antaranya bahwa kata seni berasal dari bahasa Melayu Riau, "sonik", dari asal kata "so" atau "se", yang berarti "satu". Atau juga berasal dari bahasa Sanskerta, "swa", yang berarti "satu", digabung dengan kata "nik", yang berarti sesuatu yang sangat kecil atau halus.

Dalam pemaknaan ini, dapat diandaikan bahwa seni menghasilkan suatu kesatuan perasaan yang tidak terbagi, karena ia merupakan sesuatu yang sangat halus, baik dalam bentuk, rupa, maupun sifatnya.

Maka tidak heran, bila seorang fans atau penggemar sebuah grup band, bisa merasa begitu menyatu dengan lirik dari sebuah lagu kesayangan yang dinyanyikan oleh penyanyi idolanya, sekalipun yang tidak suka akan merasakan perasaan yang sebaliknya.

Kita bisa meresapi lirik dari sebuah lagu, seolah itu adalah pengalaman dari kehidupan kita sendiri. Bahkan lebih jauh lagi, sebuah syair yang berasal dari pengalaman nyata dalam perjalanan hidup yang dinyanyikan dengan sepenuh hati, akan berhubungan dengan asal kata seni dari bahasa Sansekerta, "sani", yang berarti persembahan, pelayanan dan pemberian yang tulus.

Demikian halnya dengan lagu Wake Me Up When September Ends yang diciptakan oleh Billy Joe Armstrong ini. Lagu ini menceritakan tentang rasa kehilangannya yang mendalam atas sosok ayahnya sendiri.

Lagu ini diciptakan 20 tahun kemudian, setelah kematian ayahnya akibat penyakit kanker pada 1 September 1982, saat Armstrong masih berumur 10 tahun. Perasaan itu tergambar dalam lirik "Like my father's come to pass, twenty years has gone so fast".

Bagi kita yang merasakan kesedihan yang mendalam, karena kehilangan orang-orang yang kita sayangi, barangkali sesuai dengan gambaran kesedihan Armstrong, bahwa itu sama dengan cucuran air mata, bagaikan hujan dari bintang-bintang. Kata Armstrong, "Here comes the rain again falling from the stars, drenched in my pain again..."

Dari sanalah asal judul lagu ini, ketika ibunya mengetuk pintu kamar Armstrong yang mengurung diri sejak kematian ayahnya. Armstrong berkata, "Bangunkan aku ketika September berakhir (Wake Me Up When September Ends)"

Kita bisa merasakan kesedihan yang sangat mendalam atas berbagai hal. Tidak saja karena kematian, tapi bisa saja karena masalah sakit penyakit, pergumulan dalam rumah tangga, himpitan ekonomi yang morat-marit, atau berbagai hal menyedihkan lainnya.

Namun, sama seperti Armstrong, setidaknya dalam hari yang berganti, bagaimanapun bulan akan berakhir, dan kita harus bangun, setidaknya di akhir bulan.

Menerima kenyataan dan bangun menghadapinya, bagaimanapun pada akhirnya akan memberikan perasaan yang lebih baik. Bahkan Armstrong yang punk, merasakan sesuatu yang positif dalam kerapuhan perasaannya yang halus. Sebagaimana perasaannya dalam lirik lagu yang dipersembahkannya untuk menghormati kenangannya akan sang ayah.

Deraan dari berbagai kesedihan yang mencucurkan air mata, sekalipun bagaikan hujan dari bintang-bintang, tidak akan menghalangi kita untuk bangun di akhir bulan. Seperti sebuah sabda bahagia, yang diucapkan di sebuah bukit, "Diberkatilah mereka yang berdukacita sebab mereka akan dihibur".


Referensi:

https://id.wikipedia.org/wiki/Seni

https://www.grunge.com/183290/the-untold-truth-of-green-day/?utm_campaign=clip

https://www.azlyrics.com/lyrics/surie/wakemeupwhenseptemberends.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun