Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Warisan "Mi Gomak" dan Bakwan Legendaris dari "Pajak Telkom" Kabanjahe

23 Agustus 2020   13:58 Diperbarui: 23 Agustus 2020   14:06 478
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warung Mi dan Gorengan Kak Indah (Dokpri)

Ketika kakek dan nenek masih hidup, sewaktu kami menjual sayur-mayur hasil kebun ke pasar adalah waktu-waktu yang sangat menyenangkan. 

Bukan karena keseruan menjual sayur-mayur itu, melainkan kesempatan untuk membeli jajanan pasar setelah sayur-mayur kami terjual ke pengepul atau agen sayur yang menawar. Itu adalah masa antara tahun 1986 hingga 1990.

Beberapa jajanan pasar yang saya senangi sejak masa itu hingga saat ini adalah "mi gomak" dan bakwan. Sementara itu, nenek saya paling menyukai gemblong. Saya menyukai jajanan ini, tentu saja karena nenek yang mengajak saya ikut serta ke pasar juga menyenanginya.

"Mi gomak" dibuat dari bahan mihun yang direndam dengan air hingga lunak dan kenyal, kemudian digoreng sedemikian rupa dengan campuran sayur manis, kecap manis dan asin. Yang membuatnya menjadi khas adalah cita rasa dari penyajiannya dengan campuran sambal kacang atau sambal tomat sebagai saus.

Mi Gomak (Dokpri)
Mi Gomak (Dokpri)
Selanjutnya, bakwan merupakan makanan gorengan yang terbuat dari sayuran dan tepung terigu. Jajanan pasar ini lazim ditemukan di Indonesia. Bahannya terdiri dari taoge, irisan kubis atau kol, atau irisan wortel, dicampur dalam adonan tepung terigu dan digoreng dalam minyak goreng yang cukup banyak.

Di Jawa Barat bakwan disebut bala-bala, di Jawa Tengah disebut pia-pia, di Kota dan Kabupaten Malang disebut weci, di Sidoarjo dan Surabaya disebut ote-ote. 

Bakwan sebenarnya berasal dari Tiongkok, terlihat jelas pada kata "bak" yang berarti daging. Namun, penggunaan kata bak sendiri sampai sekarang masih digunakan meskipun bakwan tidak lagi berisi daging atau udang.

Bakwan dan aneka gorengan Kak Indah (Dokpri)
Bakwan dan aneka gorengan Kak Indah (Dokpri)
Sementara itu, gemblong adalah salah satu jenis makanan tradisional Indonesia yang terbuat dari adonan tepung beras ketan putih yang diuleni hingga kalis dan dibentuk bulat seperti bola. Kemudian adonan dibentuk bulat dan digoreng, setelah dingin dilapisi dengan larutan gula aren.

Di daerah Jawa Timur gemblong dikenal dengan nama getas, dan terbuat dari ketan hitam, tidak sama dengan gemblong pada umumnya yang terbuat dari ketan putih. 

Gemblong adalah jajanan pasar yang digemari oleh masyarakat Sunda, Jawa, dan Betawi sejak lama. Namun tidak diketahui secara jelas dari daerah mana kue gemblong ini berasal.

Saya masih berusia 3 tahun pada masa itu, sehingga tidak pernah ambil pusing siapa nama ibu yang menjualnya, dan bagaimana cara membuatnya. Kios penjual jajanan pasar itu berada di salah satu sudut pasar sayur-mayur "Pajak Telkom" Kabanjahe, yang sudah direlokasi sejak belasan tahun lalu.

Disebut "Pajak Telkom", karena lokasi pasar itu berada di dekat kantor cabang PT. Telkom Kabanjahe, Kabupaten Karo. Di lokasi itu juga berdiri sebuah menara transmisi yang ikonik dan mungkin merupakan menara telekomunikasi terbesar di Kabanjahe hingga saat ini. "Pajak" merupakan kata yang secara umum dipakai di berbagai daerah di Sumatera Utara untuk menyebut pasar.

Adalah kak Indah, anak dari ibu penjual mi gomak dan bakwan Pajak Telkom yang legendaris itu. Dia meneruskan usaha ini di sebuah kios yang berada di salah satu sudut pusat pasar Kabanjahe.

Ibu dari Kak Indah itu meninggal pada lima tahun yang lalu. Kini Kak Indah meneruskan usaha jualan jajanan pasar ini bersama suami dan anaknya. Namun, kini dia tidak lagi membuat gemblong.

Setiap melihat kios jajanan pasar yang satu ini, saya juga mengingat kakek dan nenek. Bagaimanapun, nenek sangat menyukai gemblong. Kak Indah tidak membuat gemblong lagi karena katanya prosesnya yang sangat ribet.

Mungkin ribet yang dimaksudkan kak Indah, karena adonan tepung beras ketan putih untuk membuat gemblong harus diuleni hingga kalis. Kalis bisa berarti suci, bersih, dan murni, yang memang tidak mudah untuk dicapai.

Apakah ini juga bisa dipandang sebagai gambaran potensi ancaman punahnya jajanan tradisional kita nanti, karena kita semakin menjauhi hal-hal yang "ribet" sekalipun itu kalis, demi mendapatkan sesuatu yang banyak dengan cara cepat tepat padahal tidak kalis? Nyatanya, hari ini saya ke warung ini gemblong sudah tidak ada.

Barangkali tidak terlalu berlebihan menyebut mi gomak dan bakwan dari warung Kak Indah ini sebagai legendaris. Bukankah sesuatu yang sudah lama, berumur panjang, atau datang dari waktu yang lampau, adalah beberapa hal yang berpotensi menjadi legenda?

Ya, usaha jajanan pasar keluarga ini sudah ada sejak tahun 1983, atau sudah berumur 37 tahun. Tentu tidak mudah bagi sebuah usaha mikro, kecil dan menengah untuk bisa bertahan selama itu, kalau bukan karena sesuatu yang khas sebagai nilai lebihnya.

Setidaknya, selama kurun waktu itu, di negeri ini sudah terjadi dua gelombang kelesuan ekonomi, yakni pada 1998 dan 2008, dan mungkin sedang dan akan terjadi lagi akibat pandemi covid-19 tahun ini. 

Membeli mi gomak dan bakwan legendaris, warisan dari "Pajak Telkom" Kabanjahe ini, dan juga jajanan pasar dari warung-warung  lainnya, bukan saja agar mereka tetap mampu bertahan dalam krisis, tapi juga demi melestarikan jajanan-jajanan legendaris itu agar tidak punah.

Referensi: wiki/Bakwan | wiki/Gemblong

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun