Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

"Ndurung" dalam Reportase, Gambaran Wisata Aman dan Nyaman dalam Liputan

21 Agustus 2020   13:41 Diperbarui: 21 Agustus 2020   13:38 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kolam ikan Desa Semangat, Karo, 20/01/2019 (Dokpri)

Masyarakat Tanah Karo, yang sebagian besar tinggal di Kabupaten Karo, Sumatera Utara, sangat biasa melakukan kegiatan "Ndurung", terutama bagi kaum ibu. Itu adalah aktivitas menjaring ikan, baik yang dilakukan di kolam ikan, sawah, maupun di sungai, menggunakan jaring yang dinamakan durung.

Namun, biasanya kebanyakan ikan yang ditangkap dengan cara ndurung ini adalah ikan-ikan kecil. Ikan-ikan ini bahkan dapat hidup dengan baik berdampingan dengan padi, karena keduanya dipelihara dengan cara alami. Oleh sebab itu, ndurung di sawah biasa dilakukan pada masa-masa awal musim tanam, dimana padi belum tumbuh terlalu besar.

Ikan hasil tangkapan dengan
Ikan hasil tangkapan dengan
Ikan hasil tangkapan dengan
Ikan hasil tangkapan dengan
Dengan penataan yang baik, "Ndurung" sebenarnya berpotensi menjadi atraksi wisata pada daerah-daerah objek wisata dengan alam pedesaan. Sebagaimana banyak ditemukan pada berbagai daerah wisata di Jawa dan Bali, banyak objek wisata kuliner dengan aneka olahan ikan, yang disajikan pada saung-saung yang langsung berada di lokasi budidaya.

Kolam ikan desa Talimbaru, Karo, 30/05/2019 (Dokpri)
Kolam ikan desa Talimbaru, Karo, 30/05/2019 (Dokpri)
Kolam ikan Desa Semangat, Karo, 20/01/2019 (Dokpri)
Kolam ikan Desa Semangat, Karo, 20/01/2019 (Dokpri)
Lebih kurang sebulan terakhir ini, kegiatan pariwisata tampaknya mulai beroperasi kembali sebagaimana biasanya, tapi tetap dengan menerapkan protokol kesehatan. Berbagai destinasi dan objek wisata yang sebelumnya ditutup pun kembali dibuka.

Melalui tayangan di berbagai media, tampak bahwa pada saat akhir pekan dan libur panjang, sebagaimana pada libur panjang HUT Kemerdekaan RI yang lalu, maupun libur panjang tahun baru Hijriyah tahun ini, jalanan menuju ke daerah-daerah wisata mulai macet.

Namun, bagi sebagian orang lainnya, tidak sedikit juga yang merasa kurang nyaman, baik karena kerumunan orang-orang bepergian yang kurang memperhatikan penerapan protokol kesehatan, seperti menjaga jarak dan memakai masker, maupun karena kemacetan lalu lintas yang melelahkan dan bisa berlangsung berjam-jam.

Bagi orang-orang yang terakhir ini, termasuk saya pribadi, ada cara lain untuk bisa tetap berwisata secara aman dan nyaman tanpa harus mengambil risiko berdesak-desakan dan bermacet-macetan. Wisata yang saya maksud adalah berwisata dalam narasi reportase objek-objek wisata atau pemandangan alam.

Meskipun bukan jalan-jalan langsung ke lokasinya, berwisata dengan cara ini ternyata membuat kita terdorong untuk menggali substansi lebih dalam atas sebuah tempat atau suatu objek wisata. Hal itu terkadang bahkan bisa luput dari pandangan kita, ketika kita sedang berada di sana.

Pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung secara global sekitar lima bulan terakhir adalah sebuah peristiwa yang fenomenal. Disebut demikian karena pandemi ini telah mengubah berbagai hal dan berbagai nilai yang sebelumnya kita sebut sebagai normal dalam keseharian kita selama ini. Perubahan kenormalan ini, baik dalam bersekolah, beribadah, bekerja dan berbagai aspek dalam sosial budaya kita, termasuk juga dalam pariwisata.

Untuk mencermati fenomena dari sudut pandang studi fenomenologi, maka perlu diperhatikan dua hal, yakni apa yang disebut sebagai visi eidetik dan epoche. Pemahaman atas fenomena dalam tingkat visi eidetik, maksudnya adalah mampu menangkap esensi atau makna hakiki dari suatu fenomena. Sementara itu epoche berarti terbangunnya pengekangan atau penundaan terhadap sebuah penilaian subjektif untuk menangkap esensi dari sebuah hal atau peristiwa.

Kenapa sebuah penilaian subjektif perlu dikekang atau ditunda? Karena penilaian yang subjektif dan terlalu cepat tanpa usaha untuk mendalami esensi atau hakikat, akan menyebabkan timbulnya penilaian yang salah atas sebuah hal atau peristiwa.

Meskipun dalam bentuk reportase, berwisata sambil menangkap ikan dengan aman dan nyaman dalam liputan "Ndurung" ini, tidaklah sepenuhnya kalah menarik, dibandingkan dengan saat itu dilakukan langsung ke alam. Membaca sebuah narasi reportase wisata sambil melihat-lihat foto-foto pemandangan alam atau objek wisata yang indah dan unik, bisa menjadi sebuah proses penciptaan pengalaman reproduktif atas hal yang ingin didekati dan dipahami.

Hal itu mencakup empati terhadap pengalaman, pemikiran, emosi dan ide-ide yang tampak atau terasa dari narasi dan gambar-gambar yang kita lihat. Memandang hamparan sawah dan kolam ikan yang terpampang di sekitarnya, membuat kita bisa berempati terhadap pengalaman petani dan orang desa atas kesunyian sekaligus kedamaiannya yang jauh dari berbagai keterbatasan dan permasalahan yang rumit di perkotaan, baik lapangan kerja, ketimpangan sosial, pemukiman kumuh, tingkat kriminalitas, atau bahkan isu pandemi sekalipun.

Kolam ikan dan alam sekitar yang tenang, Desa Semangat, Karo-20/01/2019 (Dokpri)
Kolam ikan dan alam sekitar yang tenang, Desa Semangat, Karo-20/01/2019 (Dokpri)
Berwisata dalam narasi reportase dan foto-foto, tentu selalu tidak terlepas dari perjalanan langsung ke daerah atau objek wisata, baik oleh kita sendiri maupun oleh orang lain, yang memungkinkannya untuk didokumentasikan, baik dalam bentuk narasi, gambar atau video. Melihat kembali dokumentasi pariwisata memungkinkan terjadinya suatu pengekangan atau penundaan terhadap penilaian fenomenologis yang berdimensi tunggal dan memaksakan kehendak.

Berwisata lewat dokumentasi reportase juga membuat kita bisa mengalami devosi atau penyangkalan diri yang hangat secara spontan, baik melalui pengalaman orang lain, maupun pengalaman kita sendiri. Terkadang kita bisa menemukan nilai yang lebih substantif dan esensial dari sebuah objek wisata justru saat meniliknya melalui sebuah ulasan yang dituliskan, ketimbang saat langsung datang dan menatap apa yang tampak sendiri, sambil berjuang dalam desak-desakan antrian ketika berada di sana. Entah untuk memesan makanan, antri membayar, atau bahkan untuk sekadar membuang hajat.

Sebab itu, tidak jarang ketika membaca rubrik travelling di sebuah majalah, kita juga bisa merasakan ketenangan saat memandang hijau dan segarnya pemandangan alam. Atau ketika sambil santai di rumah kita menonton reportase objek wisata dan kuliner di televisi, kita bisa merasakan atmosfer santai bahkan sebelum kita sampai ke tempat itu.

Belajar berwisata sambil beradaptasi dengan kebiasaan baru, akan memberi kita kapasitas untuk melihat secara objektif esensi dari sebuah fenomena, bahkan mengupas subjektifitas suatu persepsi dan membawa kita berrefleksi menembus jauh akan apa yang tampak. Mari berwisata dan di rumah saja dengan porsi yang seimbang, sekaligus aman dan nyaman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun