Pada tahun 2015 yang lalu, ketika beralih tugas dari sebuah instansi tempat saya bekerja di Kabupaten Karo, saya diberikan kenang-kenangan sebuah jam tangan oleh teman-teman kantor.Â
Sebagai sesama rekan kerja, saya memandang kenang-kenangan ini sebagai wujud doa harapan dari teman-teman akan hari depan yang selalu penuh keberkahan. Oleh sebab itu, saya selalu memakainya dan menganggap arloji itu sebagai sebuah hal yang berharga, terlepas dari berapa harganya secara material.
![Dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/08/15/whatsapp-image-2020-08-15-at-20-33-46-5f37e8cd097f3652a35e0592.jpeg?t=o&v=770)
Sore tadi, saya membawanya ke sebuah toko penjual jam yang juga menyediakan jasa reparasi jam yang rusak. Adalah pak Riadi, seorang yang sudah berusia 62 tahun, yang memperbaiki arloji saya.
Sesaat memandang arloji itu, pak Riadi mengatakan bahwa mesin arlojinya rusak dan harus diganti. Biayanya 90.000 rupiah. Saya pun mengiyakan biaya untuk reparasi jam itu.
![Pak Riadi dan bengkel jamnya (Dokpri)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/08/15/whatsapp-image-2020-08-15-at-18-27-16-1-5f37e861d541df1f43669be2.jpeg?t=o&v=770)
Bagi saya yang suka menulis tentang apa saja dalam kehidupan sehari-hari, apalagi saat bertemu dengan sesuatu yang unik seperti yang ditekuni oleh pak Riadi, maka waktu 30 menit itu mengalir seperti sesi wawancara dengan pak Riadi.
Pekerjaan memperbaiki jam ini, baik arloji maupun jam dinding dari berbagai jenis, sudah ditekuni pak Riadi selama 40 tahun sejak tahun 1980. Bahkan dalam bidang pekerjaan formal seperti Pegawai Negeri Sipil, masa kerja seperti yang dijalani oleh Pak Riadi sudah layak diganjar dengan penghargaan Lencana Karya Satya Pengabdian.Â
Di bidang pekerjaan Pegawai Negeri Sipil, penghargaan untuk masa pengabdian tertinggi bahkan hanya sampai masa kerja 30 tahun saja. Selain memperbaiki jam, pak Riadi juga menjual berbagai jenis jam tangan, jam dinding, jam hias, jam weker dan jam untuk meja belajar. Pak Riadi mewarisi keahlian memperbaiki jam ini secara turun-temurun dari orang tuanya.
Mereka ada lima bersaudara, tapi hanya dia sendiri yang mewarisi bakat di bidang perbaikan jam ini dari orang tuanya. Fisik pak Riadi masih tampak sehat dan segar meski sudah berusia lanjut. Bahkan untuk ukuran pekerjaan yang membutuhkan fokus penglihatan yang tajam, Pak Riadi tampak masih sangat cekatan.
![Dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/08/15/whatsapp-image-2020-08-15-at-18-27-16-5f37e7cc4a846658d165dee2.jpeg?t=o&v=770)
Pak Riadi lahir di Padang, Sumatera Barat. Dia dibawa oleh orang tuanya merantau ke kota Kabanjahe saat dia di masa lajang. Namun, dia bertemu dengan pasangan hidupnya juga di kota Padang. Pak Riadi memiliki lima orang anak, yang semuanya sudah berumah tangga. Semua anak-anaknya tinggal di kota Kabanjahe.
Pak Riadi berkisah bahwa awalnya, pada tahun 1980, ada 15 orang tukang jam di kota Kabanjahe ini. Namun, sekarang mungkin tinggal dia sendiri satu-satunya yang masih melanjutkan keahlian ini di kota ini. Empat belas orang teman-teman sejawatnya, kebanyakan diantaranya sudah meninggal dunia.
Awalnya, dia membuka praktik klinik perbaikan jam nya pada kios yang berlokasi pada bagian depan pusat pasar Kabanjahe. Kini pak Riadi menempati sebuah ruko yang cukup besar. Sambil menjual jam berbagai jenis, ia juga masih tetap melanjutkan usaha jasa perbaikan jam, yang sudah 40 tahun ditekuninya itu.
![Toko jam milik pak Riadi (Dokpri)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/08/15/whatsapp-image-2020-08-15-at-18-27-18-5f37e7fd4a8466640b6b7a13.jpeg?t=o&v=770)
Kata Pak Riadi, bahwa pekerjaan mereparasi jam seperti yang dilakukannya adalah sebuah jenis pekerjaan halus. Mungkin maksudnya karena dia memperbaiki benda-benda yang berhubungan dengan prinsip kerja mekanis dengan melibatkan mesin yang mungil, sebagaimana adanya dalam sebuah jam tangan.
Namun, hal yang menjadi prinsip dalam bidang pekerjaan seperti yang dia katakan adalah prinsip yang juga bermanfaat bagi bidang pekerjaan apa saja. Kata pak Riadi, "Biar bisa sehat dan senang dalam bekerja, syaratnya kita harus tenang, berjiwa halus, dan tidak berdarah tinggi."
Lagi lanjutnya, "Tidak usah grasak-grusuk, sibuk membandingkan diri dan rezeki kita dengan orang di kiri dan di kanan. Apa yang ada pada kita, itulah yang terbaik. Syukuri itu, karena bersyukur adalah kunci supaya kita tidak stress. Rezeki tidak akan kemana dan tidak perlu dikerjar. Kalau memang sudah rezeki, itu akan mendatangi kita."
Seperti umurnya yang sudah sepuh, kebanyakan alat-alat yang dia gunakan juga sudah berusia di atas 35 tahun. Begitulah, zaman berubah sadar atau tanpa disadari. Dalam usianya yang sudah lanjut, dia tidak gegabah memasang kaca arloji saya yang terlepas walaupun mesinnya sudah selesai dia ganti. Katanya, "Ini ada ring yang harusnya dipasang di bawah kaca. Ada kamu bawa?"
Saya pun kembali ke rumah mengambil ring kaca jam tangan itu ke rumah. Di perjalanan, terngiang pesan Pak Riadi, bahwa hal lain yang menjadi sumber sukacitanya adalah apabila orang yang menerima jasanya merasa senang dengan hasil kerjanya. Benar, bisa saja sebenarnya dia memasang kaca jam tangan yang terlepas itu tanpa ring, tokh saya tidak menyadari itu harusnya ada.
Tapi tidak begitu kejadiannya. Saya pun bergegas mengambilnya, agar tokonya tidak keburu tutup. Singkat cerita, ketika arloji saya selesai diperbaiki, saya menyerahkan biaya pengganti jasanya. Katanya, "Coba kamu pakai dulu, nanti lihat bagaimana hasilnya", sambil dia menyerahkan uang kembaliannya.
Begitulah pelajaran tentang hati yang bersyukur, mengantarkan hobi dan bakat Pak Riadi tetap menjaga nyala sumbu asa bagi pekerjaannya yang mungkin sudah tergolong langka. Sehat-sehat selalu dan panjang umur Pak.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI