Menyusuri jalanan menanjak dan berliku menuju Kota Berastagi, khas jalanan menuju daerah pegunungan, yang meliuk sejauh jarak sekitar 66 kilometer dari Kota Medan, mata kita akan dimanjakan hijaunya dedaunan dari pohon-pohon yang tumbuh di jejeran perbukitan Taman Nasional Bukit Barisan, Sumatera Utara.
Berastagi merupakan kota terbesar kedua di Dataran Tinggi Karo setelah Kota Kabanjahe, ibukota Kabupaten Karo. Sebagai salah satu kota wisata yang populer di Sumatera Utara, Berastagi diapit oleh 2 gunung berapi aktif, yakni Gunung Sibayak dan Gunung Sinabung.
Dekat dari kaki Gunung Sibayak, terdapat pemandian mata air panas, di desa Raja Berneh atau sekarang disebut dengan Desa Semangat Gunung. Kota Berastagi sendiri berada di ketinggian lebih dari 1300 mdpl, menjadikan kota ini sebagai salah satu kota terdingin yang ada di Indonesia.
Aktivitas ekonomi di Berastagi memang terpusat pada produksi sayur, bunga-bunga, buah-buahan dan pariwisata. Berastagi merupakan salah satu penghasil sayur, dan buah-buahan terbesar di Sumatera Utara. Bahkan sudah di ekspor ke Singapura dan Malaysia.
Kecamatan Berastagi mempunyai luas wilayah paling kecil yaitu 30,50km2 atau 1,43% dari luas wilayah Kabupaten Karo, dengan jumlah penduduk sebanyak 50.635 jiwa, dengan kepadatan penduduk 1.660,16 jiwa/km2.Â
Ini membuat Berastagi merupakan kecamatan dengan kepadatan penduduk tertinggi kedua setelah Kecamatan Kabanjahe, yang merupakan ibu kota Kabupaten Karo (Menurut data Kabupaten Karo Dalam Angka 2018, publikasi BPS Kab. Karo Tahun 2018).
Kepadatan penduduk Kota Berastagi berhubungan erat dengan potensinya sebagai salah satu daerah tujuan wisata di Provinsi Sumatera Utara, di mana banyak kegiatan jasa dan perhotelan, sehingga banyak masyarakat berdomisili di sini untuk melakukan aktivitas di bidang pariwisata.
Baca juga : Selamat Hari Kasih Sayang, Berastagi "I Love You"
Namun, di balik potensi keindahan alamnya, sebenarnya ada serpihan jejak sejarah yang bisa ditemukenali lewat bangungan-bangunan bersejarah yang sudah ada sejak dari zaman kolonial. Mungkinkah bangunan-bangunan ini lebih tepat bila dilindungi sebagai cagar budaya?
Meskipun demikian pemanfaatannya tentu tetap harus sesuai dengan konteks aktual peruntukannya dan sesuai dasar legalitas kepemilikannya. Sebab bangunan-bangunan ini berguna tidak saja bagi penggalian dan penanaman rasa memiliki warga masyarakat, terutama para generasi muda, atas sejarah kotanya ini, tapi juga jelas sekali bermanfaat bagi peningkatan potensi pariwisata yang bernilai ekonomi, sekaligus juga mengandung pelestarian nilai ideologis, ekologis dan sosial budaya.
Dalam konsideran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, disebutkan bahwa cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa sebagai wujud pemikiran dan perilaku kehidupan manusia yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga perlu dilestarikan dan dikelola secara tepat melalui upaya pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan dalam rangka memajukan kebudayaan nasional untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.