Memandang aliran sungai yang asri, tapi di beberapa bagian ada sampah-sampah plastik yang tersangkut di antara bebatuan dan dahan-dahan kayu yang tumbang dan tergeletak berserakan di badan sungai.Â
Mungkin kayu-kayu itu berasal dari hasil erosi dinding-dinding tebing di sepanjang aliran sungai di atasnya, lalu terbawa arus dan tersangkut di sana, mungkin sudah sekian tahun lamanya.
Tersirat dalam pikiran, jika saja orang-orang yang suka dengan kerajinan tangan dari kayu, atau orang-orang yang memang pekerjaannya adalah membuat berbagai perabotan dari kayu, atau bahkan penjual kayu, mendapatkan bahan dari kayu-kayu mati yang telah teronggok sekian lamanya di sungai-sungai, di mana saja ini, mungkin dia bisa menyalurkan hobi, mendapatkan rezeki, sekaligus membersihan aliran sungai. Mungkinkah untuk tidak harus mengorbankan kelestarian lingkungan, dengan penebangan hutan secara liar atau ilegal logging, misalnya?
Seringkali, godaan untuk menghantarkan gambaran keindahan alam lingkungan ke permukaan, diganjar dengan perasaan cemas, manakala manusia berduyun-duyun datang ke sana oleh karenanya.
Akankah suasana alam yang asri dan ketenangan dalam kebisuan semesta masih bisa bertahan lama dengan campur tangan lebih dalam dari manusia? Ironi itu sudah jelas tampak dalam tantangan keanekaragaman hayati dan evolusinya dalam enigma di Madagaskar.
Tercatat bahwa setelah kedatangan manusia ke Madagaskar sebagai predator super, 90% habitat hutan yang asli hilang pada beberapa abad terkahir ini. Dan diperkirakan dalam beberapa dekade ke depan, 90% populasi Lemur mungkin akan hilang, bila kerusakan akibat ulah manusia tidak bisa dihentikan.
Lingkungan yang semakin sempit berhubungan dengan sumber makanan yang semakin terbatas. Dengan prinsip yang sama, barangkali hal-hal seperti inilah yang membuat para peneliti mengklaim bahwa bumi, dan kita yang masih hidup saat ini, sedang menghadapi ancaman kepunahan massal keenam.
Sebagai contoh hewan Lemur, yang datang ke Madagaskar pada 30 juta tahun lebih dahulu dibandingkan Fossa. Populasinya tinggal sekitar 600 ekor. Hewan ini ditemukan kembali di bagian utara Madagaskar setelah sempat dikira punah pada seabad sebelumnya.
Sementara itu Fossa, yang diperkirakan datang ke Madagaskar lebih belakangan dari Lemur, juga menyesuaikan diri dengan lingkungannya secara drastis, hingga bisa berayun dari dahan ke dahan pada pohon-pohon yang menjulang tinggi, bahkan tampak bisa terbang tanpa sayap, demi mampu bertahan hidup.Â
Fossa generasi pertama yang tiba di Madagaskar ukurannya 3 kali lebih besar dari Fossa yang hidup dan menjelajah Madagaskar saat ini. Semakin sulit mendapatkan makanan di hutan.
Begitu juga Lemur Araku, nenek moyang Lemur Indri, yang bergelantungan di dahan pepohonan dulunya seukuran dengan gorilla. Kuda nil yang terakhir kali terlihat ada di Madagaskar lebih dari seabad lalu bahkan jauh lebih besar dari kuda nil yang masih hidup di belahan bumi lain saat ini, dan ada burung yang setinggi 3 meter.