...
Walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna
Aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan
Dan aku terima kau dalam keberadaanmu
Seperti kau terima daku
Aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi
Sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
Hutanmu adalah misteri segala
Cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta
...
"hidup adalah soal keberanian,
Menghadapi yang tanda tanya
Tanpa kita bisa mengerti, tanpa kita bisa menawar
Terimalah, dan hadapilah"
...
Tiga bait puisi di atas adalah bagian dari delapan bait puisi Soe Hok Gie, yang berjudul "Mandalawangi-Pangrango" yang bertanggal 19 Juli 1966.Â
Seringkali bagi orang-orang yang menyukai "pelarian diri" ke alam liar, puisi-puisi Gie seakan mewakili segala rasa yang bisa terangkum dalam pandangan, pikiran dan perasaan selama menyatu dengan alam.
Pada sebuah kesempatan ketika saya bisa mengunjungi sebuah aliran sungai yang mengalir di bawah kanopi hutan, yang merupakan bagian dari Taman Nasional Bukit Barisan, ada semacam perasaan lepas sejenak dari pikiran yang sumpek.
Dari alam yang terasa menerima keberadaan kita apa adanya. Kecintaan kepada suasana alam yang asri sebagaimana disebutkan Gie, adalah ketenangan dalam kebisuan semesta.
Memandang aliran sungai yang asri, tapi di beberapa bagian ada sampah-sampah plastik yang tersangkut di antara bebatuan dan dahan-dahan kayu yang tumbang dan tergeletak berserakan di badan sungai.Â
Mungkin kayu-kayu itu berasal dari hasil erosi dinding-dinding tebing di sepanjang aliran sungai di atasnya, lalu terbawa arus dan tersangkut di sana, mungkin sudah sekian tahun lamanya.
Tersirat dalam pikiran, jika saja orang-orang yang suka dengan kerajinan tangan dari kayu, atau orang-orang yang memang pekerjaannya adalah membuat berbagai perabotan dari kayu, atau bahkan penjual kayu, mendapatkan bahan dari kayu-kayu mati yang telah teronggok sekian lamanya di sungai-sungai, di mana saja ini, mungkin dia bisa menyalurkan hobi, mendapatkan rezeki, sekaligus membersihan aliran sungai. Mungkinkah untuk tidak harus mengorbankan kelestarian lingkungan, dengan penebangan hutan secara liar atau ilegal logging, misalnya?
Seringkali, godaan untuk menghantarkan gambaran keindahan alam lingkungan ke permukaan, diganjar dengan perasaan cemas, manakala manusia berduyun-duyun datang ke sana oleh karenanya.
Akankah suasana alam yang asri dan ketenangan dalam kebisuan semesta masih bisa bertahan lama dengan campur tangan lebih dalam dari manusia? Ironi itu sudah jelas tampak dalam tantangan keanekaragaman hayati dan evolusinya dalam enigma di Madagaskar.
Tercatat bahwa setelah kedatangan manusia ke Madagaskar sebagai predator super, 90% habitat hutan yang asli hilang pada beberapa abad terkahir ini. Dan diperkirakan dalam beberapa dekade ke depan, 90% populasi Lemur mungkin akan hilang, bila kerusakan akibat ulah manusia tidak bisa dihentikan.
Lingkungan yang semakin sempit berhubungan dengan sumber makanan yang semakin terbatas. Dengan prinsip yang sama, barangkali hal-hal seperti inilah yang membuat para peneliti mengklaim bahwa bumi, dan kita yang masih hidup saat ini, sedang menghadapi ancaman kepunahan massal keenam.
Sebagai contoh hewan Lemur, yang datang ke Madagaskar pada 30 juta tahun lebih dahulu dibandingkan Fossa. Populasinya tinggal sekitar 600 ekor. Hewan ini ditemukan kembali di bagian utara Madagaskar setelah sempat dikira punah pada seabad sebelumnya.
Sementara itu Fossa, yang diperkirakan datang ke Madagaskar lebih belakangan dari Lemur, juga menyesuaikan diri dengan lingkungannya secara drastis, hingga bisa berayun dari dahan ke dahan pada pohon-pohon yang menjulang tinggi, bahkan tampak bisa terbang tanpa sayap, demi mampu bertahan hidup.Â
Fossa generasi pertama yang tiba di Madagaskar ukurannya 3 kali lebih besar dari Fossa yang hidup dan menjelajah Madagaskar saat ini. Semakin sulit mendapatkan makanan di hutan.
Begitu juga Lemur Araku, nenek moyang Lemur Indri, yang bergelantungan di dahan pepohonan dulunya seukuran dengan gorilla. Kuda nil yang terakhir kali terlihat ada di Madagaskar lebih dari seabad lalu bahkan jauh lebih besar dari kuda nil yang masih hidup di belahan bumi lain saat ini, dan ada burung yang setinggi 3 meter.
Baca juga: Enigma Evolusi di Madagaskar dan Pelajaran tentang Makanan dari Govardhan
Hari ini, di sekitar sungai ini saya bahkan tidak ada menjumpai hewan dan burung yang spesial. Apakah karena di sini memang bukan habitat mereka ataukah ini berkaitan dengan sumber-sumber makanan yang semakin terbatas, aku tidak tahu pasti.Â
Lagipula kali ini, perhatianku terpusat kepada kayu-kayu yang tergeletak sembarangan di sekitar sungai, dan beberapa tanaman sejenis pakis, jamur dan anggrek liar yang tumbuh dengan nyaman di dahan-dahan kayu dan bambu.
Gagal beradaptasi atau karena keduluan dilibas oleh "kebutuhan" manusia, beberapa bahkan mati tinggal nama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H