Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pengalaman Masa Kecil di Kampung, Hitam Tidak Mesti Suram

26 Juni 2020   23:07 Diperbarui: 27 Juni 2020   00:45 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto ilustrasi menanak nasi di tungku kayu bakar (Dokumentasi Pribadi)

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kampung berarti kelompok rumah yang merupakan bagian kota, biasanya dihuni orang berpenghasilan rendah; desa; dusun; kesatuan administrasi terkecil yang menempati wilayah tertentu, terletak di bawah kecamatan; terkebelakang, belum modern; berkaitan dengan kebiasaan di kampung; kolot, Namun, makna kampung yang lebih positif ada pada frasa kampung halaman yang berarti daerah atau desa tempat kelahiran.

Namun, makna kampung sebagaimana dijelaskan di awal itu tidaklah salah, dan bukan bermaksud merendahkan, karena memang begitulah faktanya. Sebagaimana gambaran kampung di kampung halamanku dalam sebuah artikel dari lebih 80 tahun yang lalu ini.

Dilansir dari karosiadi.com, pada tahun 1938 Koran Sin Po memuat artikel berjudul "Dari Sumatra Barat ka Sumatra Timoer" (Sumatera Utara saat ini). Koran Sin Po adalah koran Tionghoa-Melayu yang berbahasa Melayu dan terbit di Hindia Belanda sejak tahun 1 Oktober 1910.

Kesan penulis yang dibumbui gaya tulisan jenaka tentang salah satu kampung Karo yang mereka datangi pada waktu itu adalah sebagai berikut:

"Ini boeat pertama kali kita lontjat dalem kampong Karo aseli, sebab kampong Karo semoea dikeroeng rapet oleh sematjem pager kajoe pendek boeat djaga babi, soepaja djangan lari! Sebab orang Karo dojan betoel babi dan soeka piara babi jang mengglandangan di bawah roemah dan di djalanan dengen merdika.
Dengen teroes terang moesti dibilang pemandangan kampong Karo tak tida menarik; roemah-roemahnja item, orangnja item, babinja item, pakeannja poen gelap, hingga seperti djoega antero kampoeng baroe abis kasirem tinta!"

Penulis secara jenaka namun jujur mengemukakan deskripsi kampung Karo yang mereka saksikan pada masa itu. Namun, bukan tanpa alasan mengapa warna hitam tampaknya menjadi salah satu warna yang dominan bagi masyarakat suku Karo.

Dalam tradisi suku Karo, dikenal istilah "Benang Sitelu Rupa", yang bila diterjemahkan langsung berarti benang tiga warna. Ketiga warna ini, yakni merah, putih dan hitam adalah sebagai warna dasar sebagai simbol dalam tatanan kehidupan sosial suku Karo.

Warna-warna ini digunakan sesuai dengan karakter upacara adat pada Suku Karo. Warna merah (megara, Bahasa Karo) adalah simbol matahari, yang menandakan panas, hangat, gairah, darah, tenaga, atau kekuatan. Sementara itu, warna putih (mbentar, Bahasa Karo) adalah simbol cahaya, yang berarti suci, bersih, atau bersifat ketuhanan. Sedangkan, warna hitam (mbiring, Bahasa Karo) adalah simbol tanah, atau duka.

Secara universal, duka cita atau kematian memang cenderung disimbolkan dengan warna hitam. Bagi suku Karo, warna hitam ini dimaknai juga sebagai warna tanah karena orang yang mati akan kembali menjadi debu tanah. Kematian membuat manusia kehilangan teman berbagi, oleh sebab itu kematian, duka cita, yang disimbolkan dengan warna hitam berarti kesedihan.

Barangkali oleh sebab itu, penulis pada Koran Sin Po merasakan aura suram dan kesedihan pada pemandangan kampung yang didatanginya. Namun, sebagaimana kata pepatah, meskipun hujan emas di negeri orang, selalu lebih baik di kampung sendiri.

Selalu ada kerinduan dalam kenangan akan kampung halaman, seberat apa pun masa lalu di sana. Oleh sebab itu, orang Karo juga menyebut kampung halaman sebagai "Ingan Pusung Ndabuh", atau tempat tali pusat ditanam.

Kampung halaman adalah sebuah tempat yang selamanya kepadanya kita akan terkenang. 

Kenangan masa kecil di kampung, ketika enak tidur karena badan capai, oleh sebab ke ladang sepulang sekolah. Sore hari sepulang dari ladang, masih harus memberi makan ternak. Kemudian mengambil kayu bakar, lalu masih harus memasak, buat makan malam.

Memasak bukan di kompor, melainkan di atas tungku kayu bakar. Menanak nasi dengan periuk. Itu bukan sebuah perkara yang segampang sekarang, dimana beras tinggal ditanak dan bisa ditinggal sampai masak di dalam magic jar.

Memasak di tungku kayu bakar (Dokpri)
Memasak di tungku kayu bakar (Dokpri)
Menanak nasi dengan periuk perlu keahlian lebih dalam menakar air dan keahlian menggunakan "ukat". Ukat adalah semacam centong dari bambu dengan fungsi ganda di kedua ujungnya. Ujung yang satu untuk menguras air dan menyendok nasi dari dalam periuk, ujung yang satu lagi untuk mengaduk atau meratakan beras yang ditanak.

dokpri
dokpri
Beras yang dimasak adalah beras dari hasil panen padi yang ditanam sendiri di sawah atau di ladang. Hmmm....wangi dan sangat pulen, enak untuk dimakan, bahkan tanpa lauk, apalagi pada saat masih hangat.

Setelah nasi ditanak, baru mandi membersihkan diri. Makan malam adalah hiburan terbesar bagi seorang anak kampung, setidaknya menurut pengalaman saya, setelah seorang anak seharian lelah belajar dan bekerja.

Setelah makan malam yang nikmat itu, kakek atau nenek akan mendongengkan sebuah cerita. Di kampung kami, disebutlah itu dengan "nuri-nuri". "Turi-turin" adalah sebutan suku Karo untuk dongeng atau cerita rakyat turun-temurun yang biasanya sangat panjang. Mungkin itu adalah cara cerdik para orang tua dulu untuk membuat anak-anak mereka cepat tertidur.

Bila kakek "nuri-nuri", maka nenek akan "ber-didong", dan sebaliknya. "Didong" adalah semacam cerita pengantar tidur dalam bentuk senandung yang dinyanyikan dengan cengkok khas, biasanya dalam pergantian antar larik dalam bait lagu.

Tidak perlu waktu lama, biasanya anak kampung, pada waktu dulu itu, akan segera berangkat tidur diantar cerita dan nyanyian dari masa yang sudah sangat tua itu. Itu adalah masa-masa di mana anak kampung menjemput mimpi-mimpinya ditemani suara jangkrik yang mengimbangi suara kakek dan neneknya.

Begitulah cerita di sebuah kampung pada suatu waktu di masa lalu, di bawah kaki gunung. Sungguh kehidupan seperti itu sama sekali bukan gambaran yang suram, sekalipun orang-orangnya seperti baru saja kesiram tinta.

Krik...krik....krikk..zzzzzzzz

Referensi:

http://karosiadi.com/brastagi-dan-medan-di-koran-sin-po-1938/?fbclid=IwAR1jVCQl_LcEeNpfQTn3nQVqgmAgyBm-ldG-TyhUrbvIPUjLqM00OykAXc8

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun