Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kampung berarti kelompok rumah yang merupakan bagian kota, biasanya dihuni orang berpenghasilan rendah; desa; dusun; kesatuan administrasi terkecil yang menempati wilayah tertentu, terletak di bawah kecamatan; terkebelakang, belum modern; berkaitan dengan kebiasaan di kampung; kolot, Namun, makna kampung yang lebih positif ada pada frasa kampung halaman yang berarti daerah atau desa tempat kelahiran.
Namun, makna kampung sebagaimana dijelaskan di awal itu tidaklah salah, dan bukan bermaksud merendahkan, karena memang begitulah faktanya. Sebagaimana gambaran kampung di kampung halamanku dalam sebuah artikel dari lebih 80 tahun yang lalu ini.
Dilansir dari karosiadi.com, pada tahun 1938 Koran Sin Po memuat artikel berjudul "Dari Sumatra Barat ka Sumatra Timoer" (Sumatera Utara saat ini). Koran Sin Po adalah koran Tionghoa-Melayu yang berbahasa Melayu dan terbit di Hindia Belanda sejak tahun 1 Oktober 1910.
Kesan penulis yang dibumbui gaya tulisan jenaka tentang salah satu kampung Karo yang mereka datangi pada waktu itu adalah sebagai berikut:
"Ini boeat pertama kali kita lontjat dalem kampong Karo aseli, sebab kampong Karo semoea dikeroeng rapet oleh sematjem pager kajoe pendek boeat djaga babi, soepaja djangan lari! Sebab orang Karo dojan betoel babi dan soeka piara babi jang mengglandangan di bawah roemah dan di djalanan dengen merdika.
Dengen teroes terang moesti dibilang pemandangan kampong Karo tak tida menarik; roemah-roemahnja item, orangnja item, babinja item, pakeannja poen gelap, hingga seperti djoega antero kampoeng baroe abis kasirem tinta!"
Penulis secara jenaka namun jujur mengemukakan deskripsi kampung Karo yang mereka saksikan pada masa itu. Namun, bukan tanpa alasan mengapa warna hitam tampaknya menjadi salah satu warna yang dominan bagi masyarakat suku Karo.
Dalam tradisi suku Karo, dikenal istilah "Benang Sitelu Rupa", yang bila diterjemahkan langsung berarti benang tiga warna. Ketiga warna ini, yakni merah, putih dan hitam adalah sebagai warna dasar sebagai simbol dalam tatanan kehidupan sosial suku Karo.
Warna-warna ini digunakan sesuai dengan karakter upacara adat pada Suku Karo. Warna merah (megara, Bahasa Karo) adalah simbol matahari, yang menandakan panas, hangat, gairah, darah, tenaga, atau kekuatan. Sementara itu, warna putih (mbentar, Bahasa Karo) adalah simbol cahaya, yang berarti suci, bersih, atau bersifat ketuhanan. Sedangkan, warna hitam (mbiring, Bahasa Karo) adalah simbol tanah, atau duka.
Secara universal, duka cita atau kematian memang cenderung disimbolkan dengan warna hitam. Bagi suku Karo, warna hitam ini dimaknai juga sebagai warna tanah karena orang yang mati akan kembali menjadi debu tanah. Kematian membuat manusia kehilangan teman berbagi, oleh sebab itu kematian, duka cita, yang disimbolkan dengan warna hitam berarti kesedihan.
Barangkali oleh sebab itu, penulis pada Koran Sin Po merasakan aura suram dan kesedihan pada pemandangan kampung yang didatanginya. Namun, sebagaimana kata pepatah, meskipun hujan emas di negeri orang, selalu lebih baik di kampung sendiri.
Selalu ada kerinduan dalam kenangan akan kampung halaman, seberat apa pun masa lalu di sana. Oleh sebab itu, orang Karo juga menyebut kampung halaman sebagai "Ingan Pusung Ndabuh", atau tempat tali pusat ditanam.
Kampung halaman adalah sebuah tempat yang selamanya kepadanya kita akan terkenang.Â
Kenangan masa kecil di kampung, ketika enak tidur karena badan capai, oleh sebab ke ladang sepulang sekolah. Sore hari sepulang dari ladang, masih harus memberi makan ternak. Kemudian mengambil kayu bakar, lalu masih harus memasak, buat makan malam.
Memasak bukan di kompor, melainkan di atas tungku kayu bakar. Menanak nasi dengan periuk. Itu bukan sebuah perkara yang segampang sekarang, dimana beras tinggal ditanak dan bisa ditinggal sampai masak di dalam magic jar.
Setelah nasi ditanak, baru mandi membersihkan diri. Makan malam adalah hiburan terbesar bagi seorang anak kampung, setidaknya menurut pengalaman saya, setelah seorang anak seharian lelah belajar dan bekerja.
Setelah makan malam yang nikmat itu, kakek atau nenek akan mendongengkan sebuah cerita. Di kampung kami, disebutlah itu dengan "nuri-nuri". "Turi-turin" adalah sebutan suku Karo untuk dongeng atau cerita rakyat turun-temurun yang biasanya sangat panjang. Mungkin itu adalah cara cerdik para orang tua dulu untuk membuat anak-anak mereka cepat tertidur.
Bila kakek "nuri-nuri", maka nenek akan "ber-didong", dan sebaliknya. "Didong" adalah semacam cerita pengantar tidur dalam bentuk senandung yang dinyanyikan dengan cengkok khas, biasanya dalam pergantian antar larik dalam bait lagu.
Tidak perlu waktu lama, biasanya anak kampung, pada waktu dulu itu, akan segera berangkat tidur diantar cerita dan nyanyian dari masa yang sudah sangat tua itu. Itu adalah masa-masa di mana anak kampung menjemput mimpi-mimpinya ditemani suara jangkrik yang mengimbangi suara kakek dan neneknya.
Begitulah cerita di sebuah kampung pada suatu waktu di masa lalu, di bawah kaki gunung. Sungguh kehidupan seperti itu sama sekali bukan gambaran yang suram, sekalipun orang-orangnya seperti baru saja kesiram tinta.
Krik...krik....krikk..zzzzzzzz
Referensi:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H