Kampung halaman adalah sebuah tempat yang selamanya kepadanya kita akan terkenang.Â
Kenangan masa kecil di kampung, ketika enak tidur karena badan capai, oleh sebab ke ladang sepulang sekolah. Sore hari sepulang dari ladang, masih harus memberi makan ternak. Kemudian mengambil kayu bakar, lalu masih harus memasak, buat makan malam.
Memasak bukan di kompor, melainkan di atas tungku kayu bakar. Menanak nasi dengan periuk. Itu bukan sebuah perkara yang segampang sekarang, dimana beras tinggal ditanak dan bisa ditinggal sampai masak di dalam magic jar.
Setelah nasi ditanak, baru mandi membersihkan diri. Makan malam adalah hiburan terbesar bagi seorang anak kampung, setidaknya menurut pengalaman saya, setelah seorang anak seharian lelah belajar dan bekerja.
Setelah makan malam yang nikmat itu, kakek atau nenek akan mendongengkan sebuah cerita. Di kampung kami, disebutlah itu dengan "nuri-nuri". "Turi-turin" adalah sebutan suku Karo untuk dongeng atau cerita rakyat turun-temurun yang biasanya sangat panjang. Mungkin itu adalah cara cerdik para orang tua dulu untuk membuat anak-anak mereka cepat tertidur.
Bila kakek "nuri-nuri", maka nenek akan "ber-didong", dan sebaliknya. "Didong" adalah semacam cerita pengantar tidur dalam bentuk senandung yang dinyanyikan dengan cengkok khas, biasanya dalam pergantian antar larik dalam bait lagu.
Tidak perlu waktu lama, biasanya anak kampung, pada waktu dulu itu, akan segera berangkat tidur diantar cerita dan nyanyian dari masa yang sudah sangat tua itu. Itu adalah masa-masa di mana anak kampung menjemput mimpi-mimpinya ditemani suara jangkrik yang mengimbangi suara kakek dan neneknya.
Begitulah cerita di sebuah kampung pada suatu waktu di masa lalu, di bawah kaki gunung. Sungguh kehidupan seperti itu sama sekali bukan gambaran yang suram, sekalipun orang-orangnya seperti baru saja kesiram tinta.
Krik...krik....krikk..zzzzzzzz