Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Cerita tentang Plastik yang Lestari, Bentuk Kemajuan yang Menipu Kehidupan?

6 Juni 2020   14:58 Diperbarui: 7 Juni 2020   07:18 513
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sementara di komunitas yang sejenis di Mojokerto dan Kali Brantas, Indonesia, pampers anak-anak bermerek Mommy Poko adalah salah satu merek penyumbang sampah plastik terbesar di sana.

Dalam praktik ekonomi yang sungguh sangat menindas dari sudut pandang pelestarian lingkungan ini, pertumbuhan sampah plastik di negara-negara yang memang lemah dalam hal teknologi daur ulang padahal dijadikan lahan pemasaran, tampaknya perusahaan-perusahaan penghasil sampah berbagai merek itu harus ikut bertanggung jawab, terutama atas sampah-sampah plastik mereka yang tidak bisa diolah dan didaur ulang. Itu adalah bagian tanggung jawab mereka.

Masyarakat sendiri sebenarnya sudah semakin paham tentang perlunya perubahan pola perilaku dan pembatasan penggunaan plastik berdasarkan tayangan-tayangan, kampanye cinta lingkungan dan kegiatan dalam komunitas-komunitas pecinta lingkungan. 

Di sebuah tempat bernama San Fernando City di Manila, Filipina, misalnya. Mereka berhasil menekan jumlah sampah yang dibuang ke pembuangan akhir, dengan mengolah atau mendaur ulang sebanyak 78%. Hanya 22% sisanya yang tidak bisa mereka olah dan menjadi residu yang dibuang ke pembuangan akhir, landfill.

Namun, ini pasti tidak akan cukup. Sebuah ilustrasi cukup cocok menggambarkan hal ini.

Memerangi sampah plastik dengan hanya mengharapkan gerakan komunitas kecil, sama halnya dengan menguras bak mandi dengan sendok kecil, sementara pada saat yang sama kran airnya dibiarkan terbuka dan mengucurkan air dengan sangat deras.

Ilustrasi sampah di selokan (Dokumentasi Pribadi)
Ilustrasi sampah di selokan (Dokumentasi Pribadi)
Data para pemerhati lingkungan menunjukkan bahwa, dari sejumlah sampah plastik yang dihasilkan, hanya 14% sampah yang bisa didaur ulang. Dari jumlah itupun, hanya 2% yang benar-benar didaur ulang. Bahkan, 91% sampah sama sekali tidak pernah didaur ulang, melainkan dibuang begitu saja, ditimbun dengan tanah atau dibakar.

Perusahaan-perusahaan besar harus didorong dengan regulasi untuk menghentikan produksi plastik mereka. Sampah-sampah plastik yang sudah ada ini perlu mereka beli kembali dari masyarakat karena mereka sudah sekian lama menangguk keuntungan ekonomi tanpa tanggung jawab apapun bagi masyarakat yang terdampak langsung oleh sampah plastik mereka.

Sampah-sampah plastik yang mereka (perusahaan-perusahaan itu) beli, kembali dijadikan produk yang lebih ramah lingkungan, alih-alih menggunakan bijih plastik baru dari hasil pengolahan minyak bumi dan gas.

Dikutip dari wikipedia, sejarah plastik di muka bumi ini diawali oleh Alexander Parkes yang pertama kali memperkenalkan plastik pada sebuah eksibisi internasional di London, Inggris pada tahun 1862.

Plastik temuan Parkes disebut Parkesine ini dibuat dari bahan organik dari selulosa. Temuannya ini tidak bisa dimasyarakatkan karena mahalnya bahan baku yang digunakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun