Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Cerita tentang Plastik yang Lestari, Bentuk Kemajuan yang Menipu Kehidupan?

6 Juni 2020   14:58 Diperbarui: 7 Juni 2020   07:18 513
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sampah di selokan (Dokumentasi Pribadi)

Kita bisa menyaksikan berbagai hal yang telah berubah dalam tahun-tahun terakhir kehidupan kita, sehubungan dengan kehadiran plastik dalam berbagai sektor kehidupan manusia. Sekarang, bisakah membayangkan seperti apa hidup kita tanpa plastik?

Begitu seorang bayi dilahirkan dari sebuah operasi cesar, dia akan segera ditempatkan di kotak inkubator yang terbuat dari plastik, ibu bayi itu pun berbaring di sebuah tempat tidur yang materialnya sebagian besar adalah plastik, sementara itu ayahnya adalah seorang pedagang bunga.

Hari ini dia menjual seperangkat kembang plastik yang dipesan oleh seorang pembeli yang akan digunakan untuk menghias makam keluarganya.

Begitulah plastik telah mendominasi berbagai kebutuhan manusia, mulai sejak lahir sampai dengan mati. Sadar atau tanpa disadarinya, kebutuhan manusia yang semakin meningkat akan penggunaan plastik, pada saat yang sama sebenarnya melahirkan semakin banyak tekanan bagi hidupnya sendiri melalui lingkungan hidup yang semakin menurun kualitasnya.

Dalam rangka hari lingkungan hidup sedunia pada 5 Juni yang lalu, berbagai kampanye tentang pelestarian lingkungan banyak ditayangkan di televisi. Salah satunya adalah yang ditayangkan pada saluran Discovery Channel dalam sebuah program bertajuk "The Story of Plastic".

Dalam tayangan tersebut dijelaskan bahwa masalah plastik ini tidak dimulai saat ia digunakan, melainkan dimulai saat minyak dan gas bumi dipompa meninggalkan tempatnya.

Berbicara tentang plastik tidak bisa terlepas dari aktivitas dan kebutuhan manusia akan bahan bakar fosil ini.

Exxon Mobil, sebuah perusahaan minyak dunia dan petrokimia yang berpusat di Amerika Serikat, memperkirakan bahwa dalam beberapa waktu ke depan, permintaan akan plastik mungkin akan meningkat sekitar 20 kali lipat karena kebutuhan yang meningkat. Exxon Mobil telah bergabung dengan Sabic Arab, sebuah perusahaan petrokimia di Arab Saudi, untuk sebuah kerjasama membangun pabrik plastik terbesar di jenisnya.

Jika setidaknya setiap menit sebanyak 1 truk sampah berkapasitas 2 ton yang sebagian besar merupakan sampah plastik dibuang ke laut setiap hari, maka akan ada sekitar 3 ribu ton sampah plastik yang mencemari laut setiap hari. Jumlah itu bila berlangsung konstan berarti sama dengan 1 juta ton sampah plastik per tahun yang dibuang ke laut.

Ternyata, faktanya lebih dari itu. Menurut data tayangan ini, setidaknya 8 juta ton per tahun sampah plastik dibuang ke laut.

Dengan kata lain, laut di berbagai tempat di dunia menerima setidaknya sebanyak delapan truk sampah plastik, yang masing-masing berkapasitas 2 ton setiap menitnya, sepanjang hari sepanjang tahun.

Melihat masifnya dampak buruk sampah plastik bagi lingkungan hidup, terutama pada negara-negara dengan fasilitas daur ulang sampah yang masih sangat tertinggal seperti di negara kita, yang justru adalah pangsa pasar yang sangat besar bagi berbagai produk asing yang menggunakan kemasan plastik.

Maka tidak salah bila kemajuan ekonomi yang dibangun atas dasar plastik ini dikatakan sebagai kemajuan yang menipu kehidupan.

Plastik yang dalam percakapan sehari-hari di kalangan masyarakat awam adalah istilah lain yang sering dipakai untuk mengatakan suatu benda yang sifatnya imitatif. 

Bunga plastik, perhiasan plastik, bahkan wajah-wajah yang menipu yang dihasilkan dari suatu operasi plastik, adalah beberapa trik plastik yang bisa disebutkan mewakili kehidupan imitatif itu, disamping hal-hal lainnya.

Manusia mungkin mendapatkan manfaat yang besar di bidang ekonomi dari perdagangan plastik ini, namun pada saat yang sama manusia semakin kehilangan aspek daya dukung lingkungan bahkan kerugian di bidang kesehatan.

Dengan plastik, kita merusak planet yang memberi kita kehidupan, merusak laut yang memberi kita ikan, dan merusak sungai yang memberi kita air bersih.

Dalam sebuah penelitian di sekitar fasilitas pengolahan plastik di Houston, Texas, disebutkan bahwa telah terjadi laporan yang manipulatif tentang kondisi kesehatan udara. 

Akibat yang tampak dari fakta yang dipalsukan itu, tampak dalam tingkat kemandulan yang semakin tinggi masyarakatnya, meningkatnya angka penyusutan tinggi tubuh, dan 56% risiko leukimia yang mengancam anak-anak yang tinggal dalam radius 200 mil dari fasilitas tersebut.

Fakta lainnya adalah bahwa dari 86.000 bahan kimia yang ada di Amerika, baru 187 yang diatur penggunaannya oleh Environmental Protection Agency (EPA).

Sebuah lembaga pemerintah federal atau badan perlindungan lingkungan di Amerika Serikat yang bertugas melindungi kesehatan manusia dan lingkungan dengan merumuskan dan menerapkan peraturan berdasarkan undang-undang yang disahkan oleh kongres.

Tanpa langkah yang konkret untuk mengubah perilaku dan menghentikan laju pemakaian plastik ini, rasanya mustahil berpikir untuk kita bisa bertahan.

Data lain hasil penelitian menunjukkan bahwa 83% yang dikatakan air bersih secara global telah tercemar kandungan partikel atau fragmen-fragmen plastik, dan 93% dari jumlah itu merupakan air botolan.

Ada hal lain yang juga terkesan menipu dalam hal plastik ini. Para eksekutif dan orang-orang pintar dari perusahaan-perusahaan besar penghasil plastik ini, baik yang bergerak di petrokimia maupun produsen makanan yang menggunakan kemasan plastik, tidak merasa bahwa ada yang salah dengan plastik-plastik hasil produksi mereka. 

Mereka merasa bahwa yang salah adalah para konsumen sendiri yang tidak bisa mengendalikan sampah plastik mereka, dan pemerintah negaranya yang tidak bisa menyediakan fasilitas daur ulang sampah plastik yang memadai.

Sungguh sangat menindas kemajuan ekonomi dalam sudut pandang pertumbuhan sampah plastik ini. Kita di negara-negara yang memang lemah dalam hal teknologi daur ulang sampah, dijadikan lahan pemasaran berbagai produk dengan kemasan plastik, dan sekali lagi diharuskan membereskan sendiri sampah-sampah plastik yang mereka ekspor ke kita tanpa ada tanggung jawab apa pun dari mereka.

Bila kita bisa menyisihkan waktu untuk berjalan-jalan ke tempat-tempat penampungan sampah, kita bisa memperhatikan produk apa saja dan dengan merek apa saja yang paling mendominasi sampah-sampah plastik kita. 

Kesadaran kita mungkin akan sedikit terguncang, mana kala kita mendapatkan merek-merek besar dari berbagai produk, entah itu makanan, minuman, produk kecantikan. Bahkan produk-produk kesehatan sekalipun, yang tampil memukau di televisi menjelaskan keramahan produknya bagi lingkungan dan kehidupan yang berkelanjutan melalui iklan-iklan.

Padahal di luar sana mereka adalah penghasil sampah terbesar dan berkontribusi paling besar untuk merusak lingkungan dan kehidupan.

Bahkan beberapa perusahaan yang telah berkomitmen untuk membuat program pemulihan bagi lingkungan dan tampil dalam kampanye produk kemasan yang ramah lingkungan, ini adalah sebagai kompensasi atas keuntungan yang telah lebih dahulu mereka ambil dari kerusakan lingkungan yang mereka sebabkan. Itu juga adalah salah satu taktik dagang yang membuat kita tetap terjebak dalam rantai pasokan yang mereka ciptakan.

Dengan kata lain, menurut kaca mata ekonomi perusahaan-perusahaan itu, dalam sudut pandang paling positif mereka terkait aspek pelestarian lingkungan sekalipun, bahwa itu hanya bisa terjadi bila kita mampu tetap membeli produk mereka saja. Produk mereka yang diklaim ramah lingkungan, biodegradeable.

Namun, tidakkah penumpukan keuntungan dalam konsep pertumbuhan yang nyaris tanpa batas ini justru akan mempercepat kita terjatuh kedalam jurang kehancuran?

Di Kerala India, dalam sebuah aktivitas komunitas lingkungan percontohan "Nol Sampah" yang diliput untuk tayangan ini, kelihatan merek-merek terbesar penyumbang sampah-sampah plastik di fasilitas pemilahan mereka, ada Coca-cola, Danone, Unilever, Pepsi, Mondelez, Nestle, Milma, dan lain-lain. 

Sementara di komunitas yang sejenis di Mojokerto dan Kali Brantas, Indonesia, pampers anak-anak bermerek Mommy Poko adalah salah satu merek penyumbang sampah plastik terbesar di sana.

Dalam praktik ekonomi yang sungguh sangat menindas dari sudut pandang pelestarian lingkungan ini, pertumbuhan sampah plastik di negara-negara yang memang lemah dalam hal teknologi daur ulang padahal dijadikan lahan pemasaran, tampaknya perusahaan-perusahaan penghasil sampah berbagai merek itu harus ikut bertanggung jawab, terutama atas sampah-sampah plastik mereka yang tidak bisa diolah dan didaur ulang. Itu adalah bagian tanggung jawab mereka.

Masyarakat sendiri sebenarnya sudah semakin paham tentang perlunya perubahan pola perilaku dan pembatasan penggunaan plastik berdasarkan tayangan-tayangan, kampanye cinta lingkungan dan kegiatan dalam komunitas-komunitas pecinta lingkungan. 

Di sebuah tempat bernama San Fernando City di Manila, Filipina, misalnya. Mereka berhasil menekan jumlah sampah yang dibuang ke pembuangan akhir, dengan mengolah atau mendaur ulang sebanyak 78%. Hanya 22% sisanya yang tidak bisa mereka olah dan menjadi residu yang dibuang ke pembuangan akhir, landfill.

Namun, ini pasti tidak akan cukup. Sebuah ilustrasi cukup cocok menggambarkan hal ini.

Memerangi sampah plastik dengan hanya mengharapkan gerakan komunitas kecil, sama halnya dengan menguras bak mandi dengan sendok kecil, sementara pada saat yang sama kran airnya dibiarkan terbuka dan mengucurkan air dengan sangat deras.

Ilustrasi sampah di selokan (Dokumentasi Pribadi)
Ilustrasi sampah di selokan (Dokumentasi Pribadi)
Data para pemerhati lingkungan menunjukkan bahwa, dari sejumlah sampah plastik yang dihasilkan, hanya 14% sampah yang bisa didaur ulang. Dari jumlah itupun, hanya 2% yang benar-benar didaur ulang. Bahkan, 91% sampah sama sekali tidak pernah didaur ulang, melainkan dibuang begitu saja, ditimbun dengan tanah atau dibakar.

Perusahaan-perusahaan besar harus didorong dengan regulasi untuk menghentikan produksi plastik mereka. Sampah-sampah plastik yang sudah ada ini perlu mereka beli kembali dari masyarakat karena mereka sudah sekian lama menangguk keuntungan ekonomi tanpa tanggung jawab apapun bagi masyarakat yang terdampak langsung oleh sampah plastik mereka.

Sampah-sampah plastik yang mereka (perusahaan-perusahaan itu) beli, kembali dijadikan produk yang lebih ramah lingkungan, alih-alih menggunakan bijih plastik baru dari hasil pengolahan minyak bumi dan gas.

Dikutip dari wikipedia, sejarah plastik di muka bumi ini diawali oleh Alexander Parkes yang pertama kali memperkenalkan plastik pada sebuah eksibisi internasional di London, Inggris pada tahun 1862.

Plastik temuan Parkes disebut Parkesine ini dibuat dari bahan organik dari selulosa. Temuannya ini tidak bisa dimasyarakatkan karena mahalnya bahan baku yang digunakan.

Pada tahun 1933, Ralph Wiley, seorang pekerja lab di perusahaan kimia Dow, secara tidak sengaja menemukan plastik jenis lain yaitu Polyvinylidene Chloride atau populer dengan sebutan Saran. 

Saran pertama kali digunakan untuk peralatan militer, namun belakangan diketahui bahwa bahan ini cocok digunakan sebagai pembungkus makanan.

Kemudian di tahun yang sama, dua orang ahli kimia organik bernama E.W. Fawcett dan R.O. Gibson yang bekerja di Imperial Chemical Industries Research Laboratory, menemukan Polyethylene. 

Temuan mereka ini mempunyai dampak yang amat besar bagi dunia. Karena ringan dan tipis, pada masa Perang Dunia II bahan ini digunakan sebagai pelapis untuk kabel bawah air dan sebagai isolasi untuk radar.

Setelah perang berakhir, plastik inilah yang menjadi semakin populer, dan saat ini digunakan untuk membuat botol minuman, jerigen, tas belanja atau tas kresek, dan kontainer untuk menyimpan makanan. 

Pada tahun 1977 kantong plastik mulai dipergunakan di toko-toko kelontong di Amerika Serikat dan Kanada.

Plastik merupakan material yang baru secara luas dikembangkan dan digunakan sejak abad ke-20 yang berkembang secara luar biasa penggunaannya dari hanya beberapa ratus ton pada tahun 1930-an, menjadi 150 juta ton/tahun pada tahun 1990-an dan 220 juta ton/tahun pada tahun 2005.

Dengan kata lain, lebih dari setengah jumlah sampah plastik yang ada sekarang merupakan hasil produksi dari 15 tahun terakhir.

Saat ini penggunaan material plastik di negara-negara Eropa Barat mencapai 60 kg/orang/tahun, di Amerika Serikat mencapai 80 kg/orang/tahun, sementara di India hanya 2 kg/orang/tahun.

Dari data ini terlihat bahwa sesuai sejarahnya dan fakta penggunaannya, bahwa plastik adalah penemuan sekaligus masalah yang berawal dari Barat, tapi tampaknya membawa masalah yang besar bagi negara-negara dengan teknologi daur ulang yang tertinggal, seperti di negara kita.

Plastik adalah bahan yang berasal dari minyak dan gas bumi yang menemukan bentuk baru dan pergi ke berbagai tempat baru di dunia.

Menurut para ahli, tanpa ada langkah penanganan yang tepat, maka pada tahun 2050 nanti diperkirakan akan lebih banyak sampah plastik daripada ikan di laut.

Referensi: Wikipedia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun