Alangkah senangnya bila kita bisa mengerjakan sesuatu yang kita sukai. Apalagi bila hobi itu bisa pula menghasilkan rupiah.
Kali ini kita akan melihat sebuah bakat, bukan sembarang hobi. Bersama seorang pria yang ramah, dengan bakat seni yang dia miliki, sepah bisa diolah hingga memberi nilai tambah, sekaligus mendatangkan rupiah.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sepah bisa berarti terserak-serak tidak keruan, berantakan. Bisa juga berarti ampas sesuatu yang sudah dikunyah dan diisap air atau sarinya. Namun, dalam bakat yang digeluti oleh Mama Bapak Kibod, pengertian sepah yang paling mendekati adalah yang terkait dengan kayu.
Sepah bisa juga berarti pohon yang kayunya sangat keras, getahnya dapat dibuat lilin, dalam bahasa Latin Irvingia malayana. Sepah juga bisa berarti nama batu permata yang di dalamnya terdapat gambar akar kayu.
Namun, yang dikerjakan oleh Mama Bapak Kibod, lebih tepatnya lagi adalah mengolah sepah sebagaimana pengertian dalam peribahasa "habis manis sepah dibuang". Kayu-kayu yang dia olah dalam hobi dengan bakat seni itu sebagian besar adalah bahan-bahan yang telah diabaikan, disia-siakan oleh seseorang dan yang sudah tidak diharapkan apa-apa lagi dari padanya.
Pekerjaan utamanya adalah bertani, mengerjakan kerajinan kayu-kayu ini adalah pekerjaan sampingannya. Kiosnya sendiri berada di pinggir jalan nasional Kabanjahe-Telagah, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.
Tidak kurang dari potongan batang kelapa, potongan-potongan kayu, besar dan kecil, juga ranting-ranting dan akar-akar kayu, baik yang masih mentah maupun setengah jadi, ada di belakang kiosnya, yang berfungsi menjadi semacam bengkel seni. Di bagian depan, dia memajang berbagai kerajinan kayu hasil olahan tangannya sendiri.
Ada peralatan dapur, seperti talenan kayu bermacam ukuran, kecil, sedang dan besar. Ada juga lesung dan ulekan dari kayu dengan berbagai bentuk dan ukuran.
Bukan saja nilai seni dalam kayu hasil olahannya, tapi bahan-bahan yang dia gunakan seperti akar-akar kayu dan dahan-dahan serta ranting yang telah diabaikan dan disia-siakan itu, merupakan sebuah peran ekologis yang patut diperhitungkan.
Dari bakat Mama Bapak Kibod, kembali kita dapat memetik hikmah, bahwa tidak semua hal yang dipandang sebagai sampah dan nyaris terserak-serak tidak keruan, berantakan, tidak bernilai sama sekali. Berada di tangan dan dengan bakat yang tepat, sepah pun bisa menjadi permata.
Pada suatu hari ketika saya membeli satu dua akar kayu setengah jadi yang dia olah di bengkel seni sekaligus kiosnya itu, saya mendapat penjelasan dari beliau bahwa sebagian besar akar-akar itu memang ada yang diantar sendiri oleh teman-teman maupun kenalannya. Sebagian lagi berasal dari ladang-ladang yang baru dibersihkan dan oleh pemilik ladang memintanya untuk mengambil akar-akar kayu sisa-sisa bongkaran itu.
Akar kayu yang telah selesai dibentuk dan dipelitur, ada yang merupakan pesanan dari cafe-cafe, yang tampak cukup berkembang saat ini di kampung kami. Sebagian lagi dia pajang dan dijual bebas di kios seni pinggir jalan miliknya.
Sementara itu, untuk talenan kayu dia jual mulai dari harga Rp. 20.000 hingga Rp. 50.000, tergantung ukuran. Sedangkan, untuk ulekan dan lesung kayu dia jual mulai dari harga Rp. 80.000 hingga Rp. 120.000. Talenan ini adalah hasil kerajinan tangannya yang paling banyak dijual.
Hal ini cukup bisa dipahami karena benda ini cukup penting dan dibutuhkan sebagai peralatan dapur. Apalagi kegiatan masak-memasak selain di dapur rumah tangga, juga dibutuhkan di balai-balai pertemuan adat untuk acara pesta, baik suka maupun duka. Hanya saja saat ini, pesta-pesta itu ditunda pelaksanaannya karena pandemi Covid-19.
Sementara itu, akar kayu yang saya minta tidak dapat saya sebutkan harganya. Sebab benda ini masih setengah jadi, dan beliau, Mama Bapak Kibod ini, memang orang yang sangat baik dan ramah serta memegang teguh hubungan kekerabatan dalam tutur adat Karo.
Susah mem-Bahasa-Indonesia-kannya, hehe. Sama susahnya dengan rasa sungkan yang timbul ketika saya dengan istri menerima keramahtamahan dan pelayanannya sebagai seorang seniman, pengrajin sekaligus pedagang kayu. Bukan bermaksud dengan sengaja untuk meliput kisahnya. Namun, kehangatan di bengkel seni sekaligus kios kerajinan kayu milik Mama Bapak Kibod membuat saya tidak tahan untuk tidak menuliskannya di Kompasiana.
Saya juga diberitahu bahwa beberapa bulan yang lalu, ada juga kru dari sebuah stasiun TV lokal, Efarina TV, dan dari RCTI, yang datang melakukan liputan ke tempat ini. Mama Bapak Kibod juga sudah beberapa kali mengikuti pameran hasil kerajinan produk UMKM dan mengisi stand pameran Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Kabupaten Karo.
Semoga semangatnya dalam mengolah sepah dengan bakat seni yang dia miliki, hingga memberi nilai tambah, sekaligus mendatangkan rupiah, tetap melimpah ruah. Keseniannya adalah hobi dalam keramahtamahan yang ramah lingkungan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H