Pada suatu hari, kami menikmati roti bohong bersama keluarga. Ini bukan sebuah kebohongan, memang nama roti ini adalah roti bohong alias roti kosong.
Unik bukan? Di kampung kami ini, roti bohong atau roti kosong adalah roti yang sangat digemari dan cukup legendaris. Terutama mengisi bakul-bakul roti di kedai-kedai kopi, roti ini sering disantap bapak-bapak yang mengobrol sambil sarapan atau sekadar mengopi.
Mengapa nama roti ini roti bohong atau roti kosong? Awalnya, nama sebenarnya roti kosong. Terbuat dari adonan tepung roti, gula pasir, dan “resep rahasia” yang hanya diketahui sesame pembuat roti kosong. Adonan yang mengembang setelah dibiarkan beberapa jam itu, kemudian digoreng menjadi roti kosong.
Disebut roti kosong karena roti yang tampak lembut dan kembang menggiurkan itu memang kosong berongga-rongga di dalamnya. Tidak seperti donat yang berlobang di tengah tapi padat, roti kosong ini tidak berlobang di tengah melainkan bulat sempurna, tapi menyisakan rongga-rongga kosong di dalamnya.
Barangkali, karena bentuknya itulah maka dalam perkembangannya roti kosong ini disebut juga roti bohong. Tampilan luarnya yang tampak penuh, tapi ternyata kosong di dalam membuat siapapun yang menikmti roti ini akan merasa dibohongi, haha.
Nyaris semua kampung di sini kedai kopinya menjual roti bohong. Oleh sebab itu tidak sedikit anak-anak yang tumbuh besar bersama denan kisah roti bohong ini. Semoga saja bukan tumbuh besar bersama dengan kebohongan ya? Hehe.
Barangkali ada juga hubungannya, mengapa nikmat sekali menyantap roti bohong ini sambil mengobrol di kedai kopi. Dalam Bahasa Karo, “ngobrol” itu disebut dengan istilah ber-“bual-bual” dalam bentuk kata ulang atau “erbulai” dengan akhiran “i” yang bermakna resiprok atau perbuatan berulang-ulang, berbicara berulang-ulang.
Maka, dalam bentuk kata tunggal, “bual” dalam Bahasa Karo bermakna “bohong”. Maka mengkaitkan hubungan antara aktivitas “erbual” (=berbohong dalam Bahasa Indonesia), sambil menikmati roti bohong, jelas merupakan sebuah hubungan yang sangat serasi dan seimbang, hehe, makanya nikmat.
Selain roti bohong, ada sebuah roti lagi yang juga menyajikan ironi ketika dinikmati, namanya roti ketawa. Disebut roti ketawa tampaknya karena adanya belahan-belahan yang mirip dengan mulut yang terbuka seperti orang sedang tertawa di permukaan rotinya.
Tapi begitulah ironi, menghadirkan hal-hal yang berkebalikan dan di luar dugaan. Meskipun membutuhkan perjuangan saat menikmatinya, tapi ada rasa nikmat setelahnya dalam roti ketawa.
Ironi memang seringkali melahirkan hal-hal yang memberikan kepada kita pengajaran. Jangan terlalu cepat menilai sesuatu hanya dari tampilan luarnya atau dari “katanya-katanya” saja, bila belum tahu fakta sebenarnya, kalau tidak mau menjadi malu akhirnya karena terlihat sok tahu padahal dangkal.
Lalu juga, saat merasa semua hal berjalan seperti yang diinginkan adanya, jangan terlalu sombong dan jumawa. Tidak semua hal seperti apa yang tampak adanya. Dalam sekejap, kebohongan-kebohongan dalam hidup dapat menghadirkan perubahan mendadak yang tidak seenak kenyataan dalam roti kosong.
Sebaliknya, sekalipun kenyataan sekeliling membuat kita tampak kalah dan seolah memaksa kita terhempas dan menyerah, jangan terlalu kecewa dan putus asa. Banyak hal yang tidak terduga ketika kita setia menempuh jalan yang keras. Seperti menanti datangnya rasa nikmat yang menanti di depan sana, setelah mengunyah kerasnya roti ketawa.
Ingat, sukses atau tidaknya kita dalam hidup bukan kita yang menilainya atas semua hal yang kita punya. Melainkan oleh orang-orang bahkan jauh setelah kita tiada, atas apa yang bisa mereka rasakan dari kita. Apakah kita telah menjalani hidup dan memberikan rasa seperti roti bohong atau roti ketawa, biarkan orang lain yang merasakan dan menilainya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI