Pada suatu hari saat akan beranjak makan siang, saya terlibat percakapan dengan seorang teman. Dia adalah seorang teman dari masa ketika saya masih bekerja di sektor persampahan, pada tahun 2013.
Saya bertanya tentang temannya teman saya itu, yang sama-sama berprofesi sebagai seorang kernet truk pengangkut sampah. Hari itu suasana cukup sendu, sekitar pukul 15:30 WIB dengan cuaca yang dingin diiringi sedikit gerimis hujan, seperti hari ini.
Saat itu, temannya teman saya ini sedang meringkuk di sudut bak truk. Saya menghampiri untuk memanggilnya berteduh. Ia kaget, sambil geragapan mencoba menyembunyikan sesuatu.
Rupanya ia hendak menyantap makan siang yang ada di rantang yang dibawanya. Mungkin bekal makan siang itu disiapkan oleh kekasihnya, atau oleh ibunya, atau oleh istrinya, atau mungkin bukan oleh siapa-siapa, tapi dia sendiri. Di kampung ini, dia adalah sebatang kara yang bekerja tidak tetap sebagai pengangkut sampah.
Ia berkeras menolak ajakan saya. Ia bahkan hampir tampak merasa kesal, hingga akhirnya sayapun menyingkir ke semak-semak di dekat truk kami terparkir.Â
Dari temannya yang adalah teman saya, saya diberi tahu bahwa ia kerap memungut sisa-sisa nasi bungkus yang masih hangat dari tong-tong sampah di tempat-tempat yang kami layani.
Barangkali, pada sore hari yang dingin dan sendu itu, itu jugalah kiranya yang akan disantapnya. Ia mungkin merasa "risih" bila harus meringkuk di bawah payung dedaunan memperlihatkan isi rantangnya bersama orang-orang yang mungkin tidak akan mampu memahami apa saja yang harus dia jalani untuk bisa bangun pagi setiap hari dan kembali lagi ke lantai tempat tidurnya pada malam harinya.
Saya sama sekali tidak bermaksud merendahkannya untuk kisah ini. Namun, hari ini pada tujuh tahun yang lalu itu, saya hanya bisa tertegun tanpa kata mendengar kisah temannya teman saya itu. Itu adalah hari di mana saya merindukan dangau, rindu kepada sawah.
Itu adalah saat ketika saya ingin sekali mengulang masa kecil. Saat berteduh di dangau ketika hari hujan, saat membajak sawah atau ladang, bersama nenek dan kakek yang kini sudah tiada. Di saat itu saya hanya tahu makan, tanpa pernah pusing dari mana datangnya nasi yang saya makan.
Terutama, saat itu saya belum begitu banyak melihat kenyataan dan berbagai hal yang terasa tidak masuk akal. Atau mungkin hanya karena saya masih kecil, hingga saya tidak menyadari apa-apa.
Bila hari ini kita masih bisa makan, kurindukan dangau dan sebelum makan akan kuucapkan sepenggal doa yang dulu tidak pernah aku peduli kepada siapa itu tertuju, "Terimakasih Tuhan, berkatilah makanan ini, berikan kami kesehatan, ampuni dosa kami. Berkatilah juga teman saya itu, yang entah dimana ia sekarang"
Saya kembali mengingat kisah ini, karena diingatkan oleh Facebook, tentang sebuah kenangan yang terjadi pada hari ini dari tahun-tahun yang lalu. Juga terasa lebih membekas, karena kenangan itu justru hadir di saat akhir-akhir ini saya sangat getol membuat tulisan tentang alam, lingkungan, tumbuhan, makanan, air, hutan, sungai dan ikan.
Apakah kemungkinan buruk ini berhubungan juga dengan semakin banyaknya orang-orang, termasuk orang-orang muda, baik sendiri atau berpasangan yang kembali memilih jalan hidup menghindari kebisingan kota dan hidup nomaden di gunung-gunung, gua-gua dan hutan, sebagaimana tayangan rutin National Geographic dan Discovery Chanel? Itu saya tidak tahu.
Sebuah tantangan hari-hari kita kini, sebagaimana dilansir dari nypost.com pada Sabtu (16/5/2020), matahari kita, yang merupakan pusat tata surya, saat ini telah berada dalam periode "solar minimum" atau "minimum matahari".
Tidak hanya kita manusia yang tinggal di lebih dari 200 negara yang telah terkonfirmasi memiliki kasus positif Covid-19 yang melakukan lockdown.Â
Menurut ilmuwan NASA sebagaimana dilansir dari nypost.com itu, matahari pun diperkirakan akan memasuki periode lockdown. Bahkan lockdown terdalam sepanjang abad ini, yang hampir menyerupai kondisi seperti pada era tahun 1790 hingga 1830, yang disebut sebagai Dalton Minimum.
Artinya aktivitas di permukaan matahari telah turun secara drastis. Dengan kondisi ini, maka para ahli percaya bahwa kita akan memasuki periode terdalam dari "resesi" sinar matahari. "Solar Minimum sedang berlangsung dan ini sangat dalam," kata astronom Dr. Tony Phillips.
Apa yang mengkhawatirkan akibat fenomena alam ini adalah, bahwa selain ditandai berbagai peristiwa cuaca yang mengarah ke anomali, seperti misalnya musim hujan yang harusnya terjadi pada bulan Oktober hingga Maret, namun kini pun sedang terjadi musim hujan yang cukup lebat di berbagai negara dengan dua musim, seperti di kampung ini.
Seharusnya, dalam kondisi normal, saat ini sudah memasuki musim kemarau. Pergantian musim yang tidak normal ini, tentu sangat berpengaruh kepada kehidupan masyarakat agrikultur, yang sangat mengandalkan hasil tanaman dan panennya kepada cuaca dan iklim.
Kembali ke kondisi Solar Minimum, menurut para ahli, kondisi ini bisa mengarah kepada periode musim dingin yang brutal, yang bisa mengakibatkan gagal panen bahkan memicu bencana kelaparan. Selain itu juga diperkirakan dapat memicu letusan gunung berapi yang kuat, karena pada periode itu medan magnet matahari menjadi lemah, yang memungkinkan sinar kosmik ekstra ke tata surya.
Sementara itu, di lain sisi, menurut juru bicara pemerintah, data per hari ini, di Indonesia terjadi lonjakan pasien positif covid-19 sebanyak 496 orang. Tentu ini adalah tantangan tambahan, dimana kita berjalan beriringan bersama wabah penyakit yang belum diketahui kapan akan berakhir dan apa obatnya, di saat yang sama alam pun menyajikan kehidupan dengan tantangan yang mungkin akan semakin sulit.
Bila benar, rencana pemerintah melalui kajian Kemenko Perekonomian sebagaimana dilansir dari cnbcindonesia.com (18/05/2020), bahwa fase normal di Indonesia akan mulai dijalankan pada 1 Juni 2020 yang akan datang ini, maka bukan hanya dengan Covid-19, tapi kita pun tidak bisa tidak harus berdamai dengan alam.Â
Pertimbangan rencana memulai fase normal dalam sudut pandang ekonomi ini, karena belum ada kepastian kapan vaksinnya bisa ditemukan, sama tidak pastinya dengan fenomena alam dengan berbagai kemungkinan buruk yang dapat menyertainya.
Berdamai dengan kemungkinan cuaca dingin yang buruk, dengan kemungkinan letusan gunung berapi, dengan banjir atau kemarau berkepanjangan, yang mampu mengancam kelangsungan kehidupan kita, bahkan dalam skala yang tidak lebih kecil dari pandemi ini, barangkali adalah juga langkah-langkah yang patut dipersiapkan selain berbagai langkah antisipasi kemungkinan krisis ekonomi kalau situasi seperti sekarang berkepanjangan.Â
Dan seperti apa yang disampaikan oleh juru bicara pemerintah dan para ahli itu, semua ini pun mungkin dijalankan tapi tetap dengan catatan apabila kita mampu menyesuaikan diri dengan gaya hidup kenormalan yang baru yang mungkin akan menjadi budaya tetap masyarakat kita pada umumnya hingga hari-hari ke depan ini.
Perjalanan dinas terutama ke luar daerah mungkin masih akan tetap dibatasi, rapat-rapat dalam jaringan (online meeting) mungkin akan lebih sering dilakukan ketimbang berkumpul langsung membahas sesuatu dalam diskusi, memakai masker menjadi kebiasaan setiap kali ke luar ruangan, dan dunia kerja manajemen sebagaimana arahan dan inisiatif menteri keuangan dalam apa yang disebut sebagai flexible working space (fws) mungkin akan makin meluas diterapkan. Sebagaimana orang-orang telah berbulan-bulan bekerja dari rumah, belajar dari rumah dan beribadah di rumah.
Tantangannya tentu saja kesiapan kita mengadopsi hal itu semua. Karena tidak ada yang bisa memastikan apakah semua hal itu benar-benar dikerjakan, selain kemandirian dan inisiatif kita masing-masing yang menyadari bahawa kita benar-benar tinggal di bumi yang rapuh dan bisa sakit.Â
Setidaknya, pertanian kita yang memungkinkan makanan tersaji di meja makan kita, hingga kini masih menuntut tanah dan air untuk bisa tumbuh optimal.
Untuk bisa tidak terjatuh ke dalam bencana kelaparan, tanpa harus membajak sawah atau ladang, dan apa selanjutnya yang bisa dilakukan petani tanpa memerlukan tanah dan air, hal-hal itu tentu adalah kerja besar bila manusia memang ingin membuktikan bahwa tanpa itu pun kita masih bisa makan. Siapkah kita?
Referensi:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H