Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kehidupan di Sekitar Aur dan Air

12 Mei 2020   14:01 Diperbarui: 8 November 2020   22:01 805
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tanaman bambu di sekitar bendungan Badigulen, Lembah Seribu Bunga, Barusjahe, 2018 (Dokpri)

Aur atau eru atau buluh adalah nama lain untuk bambu. Semua nama itu merujuk ke tanaman jenis rumput-rumputan dengan rongga dan ruas di batangnya.

Bambu memiliki banyak tipe. Bambu juga merupakan salah satu tanaman dengan pertumbuhan paling cepat.

Dilansir dari wikipedia.org, bambu memiliki sistem rhizoma-dependen yang unik. Dalam sehari bambu dapat tumbuh sepanjang 60 cm atau 24 inchi bahkan lebih, tergantung pada kondisi tanah dan klimatologi tempat ia ditanam.

Dari saudara ipar bapak saya, yang tinggal di kampung ibu kami, saya banyak bercerita dengannya tentang soal-soal bambu ini. Percakapan kami berawal dari diskusi soal masalah air bersih.

Kampung kami adalah sebuah lembah di kaki gunung jajaran pegunungan yang termasuk Taman Nasional Bukit Barisan. Terhampar luas persawahan dengan beberapa aliran sungai yang sangat kaya dengan sumber daya air yang datang dari sumber mata air pegunungan. Badigulen adalah satu yang paling saya ingat.

Hamparan persawahan Desa Serdang dengan latar belakang Taman Nasional Bukit Barisan (Dokpri)
Hamparan persawahan Desa Serdang dengan latar belakang Taman Nasional Bukit Barisan (Dokpri)
Setelah menonton tayangan film dokumenter tentang krisis air yang terjadi di San Joaquin Valley California, Amerika Serikat, di National Geographic beberapa waktu lalu, saya menjadi teringat bagaimana kayanya sumber daya air pegubungan dan sungai-sungai di kampung kami.

Tidak dapat kubayangkan derita seperti yang dialami oleh penduduk San Joaquin Valley, seandainya mata air pegunungan kami menjadi terganggu atau mengering.

Lalu apa hubungannya dengan bambu atau buluh?
Dari saudara ipar bapak saya yang menjadi narasumber saya kali ini, saya mendapatkan kenyataan menarik tentang bambu ini. 

Sekalipun sepengetahuan saya yang masih buta sama sekali pada waktu kecil dulu, bahwa bambu adalalah tanaman liar yang ditumbuhkan oleh bumi begitu saja dari dalam tanah, ternyata bambu juga adalah tanaman yang bisa dibudidayakan oleh manusia.

Tanaman bambu di sekitar bendungan Badigulen, Lembah Seribu Bunga, Barusjahe, 2018 (Dokpri)
Tanaman bambu di sekitar bendungan Badigulen, Lembah Seribu Bunga, Barusjahe, 2018 (Dokpri)
Memang dalam pertumbuhannya yang cepat, bambu tampak seolah tidak akan pernah ada habisnya. Namun, di tangan manusia, apa yang tidak dapat binasa? Seperti ungkapan salah seorang warga San Joaquin ketika air bersih kembali mengalir ke rumahnya setelah bertahun-tahun kekeringan, bahwa air bisa saja hilang pada suatu saat.

Bukan tidak mungkin kita pun hanya akan mengenal bambu dari gambar-gambar dan video bila salah dikelola. Hari ini mungkin masih ada di kampung kita, tapi di tempat-tempat lain yang dulu juga ada bambunya, sekarang mungkin sudah langka atau hilang sama sekali.

Aur dan air hanya berbeda satu huruf di huruf vokal u dan i. Menjadi menarik bahwa ternyata, aur atau bambu yang ditanam kembali dengan sengaja, dari ruas bambu yang telah ditebang, ternyata masih bisa tumbuh lagi.

Syaratnya, bambu ditebang di bagian tengah ruasnya dan ditanam miring. Maksudnya adalah agar air hujan dapat tertampung pada sisa ruas bambu bekas tebangan, yang berfungsi sebagai material daya dukung kehidupan yang memungkinkan bambu untuk bisa tumbuh lagi.

Ternyata, dengan sedikit kepedulian, manusia yang menerima banyak manfaat dari bambu, bisa mendapatkan kehidupan yang berkelanjutan bila bertindak berdasarkan pertimbangan dan etika ekologis. Berikan kehidupan kepada alam, maka alam pun memberikan daya dukung yang memadai bagi kehidupan kita.

Sejak kecil, saya senang melihat di kampung kami ini banyak orang yang menghasilkan barang-barang dari bambu untuk dijual atau sekadar dipergunakan sendiri. Salah satu yang paling umum adalah pengrajin keranjang.

Keranjang-keranjang yang dibuat terdiri atas berbagai ukuran, tergantung untuk apa ia difungsikan. Lain ukuran keranjang untuk tomat atau jeruk.

Aktivitas membuat keranjang ini disebut dengan "nggele keranjang". Biasanya para pemuda atau bapak-bapak yang melakukannya. Namun, belakangan di beberapa tempat lain saya pernah juga melihat wanita atau kaum ibu yang me-nggele keranjang.

Seorang yang menjahit jala dengan latar belakang Keranjang bambu, Desa Selawang, Sibolangit, Sumatera Utara, 2017 (Dokpri)
Seorang yang menjahit jala dengan latar belakang Keranjang bambu, Desa Selawang, Sibolangit, Sumatera Utara, 2017 (Dokpri)
Seorang ibu dilatarbelakangi tutup keranjang bambu, Desa Selawang, Sibolangit, Sumatera Utara, 2017 (Dokpri)
Seorang ibu dilatarbelakangi tutup keranjang bambu, Desa Selawang, Sibolangit, Sumatera Utara, 2017 (Dokpri)
Selain untuk keranjang tomat atau jeruk, banyal juga di kampung kami orang yang menganyam bambu untuk dijadikan kandang ayam, disebut "Sunun". Selain Sunun ada juga "Sagak". Sunun dan sagak ini mempunyai bentuk yang sangat ikonik kalau menurut saya.

Sunun dibuat berbentuk dasar segi empat yang agak oval, dengan bagian atasnya yang berbentuk kerucut, dilengkapi dengan tali gantungan yang terbuat dari ijuk dan daun pintu dari kayu.

Sementara itu, sagak adalah wadah yang dianyam dari bambu sedemikan rupa, sehingga tampak seperti corong yang mengembang dengan sisa batang bambu utuh di bagian bawahnya dan setengah terbuka.

Bisanya sagak ditempatkan pada para-para berpenyangga di kandang ayam, atau di sekitar dinding belakang rumah, atau bahkan bisa di ranting-ranting pohon. Bentuknya memang tampak seperti sarang binatang unggas yang alami.

Sunun dan Sagak, koleksi Museum GBKP di Retreat Center Sukamakmur, Sibolangit, Sumatera Utara, 2018 (Dokpri)
Sunun dan Sagak, koleksi Museum GBKP di Retreat Center Sukamakmur, Sibolangit, Sumatera Utara, 2018 (Dokpri)
Penempatan sunun dan sagak yang sering dijumpai dekat dengan rumah, disebabkan karena ternak-ternak ayam bisa dibilang termasuk bentuk tabungan bagi masyarakat di kampung. Sewaktu-waktu bila dibutuhkan uang, sementara tanaman diladang belum waktunya untuk dipanen, maka menjual ayam-ayam atau telur-telur ayam juga cukup membantu kebutuhan yang mendesak.

Selain itu, ayam-ayam yang dipelihara juga adalah persediaan bahan makanan bila ada keluarga atau tamu yang datang berkunjung untuk berbagai keperluan. Menghidangkan olahan daging ayam kampung adalah juga salah satu bentuk penghormatan bagi keluarga atau kerabat dalam suku Karo.

Bahkan dalam acara-acara pesta adat, ayam kampung yang gemuk dan telur ayam kampung adalah beberapa dari kelengkapan persembahan atau hadiah yang menjadi simbol berkat kemakmuran dalam mata pencaharian, bentuk perhatian kasih sayang atau penghormatan antar kerabat keluarga.

Sunun dan sagak ini, saat ini yang disebut sagak sudah agak jarang diproduksi seiring berkembangnya peternakan ayam modern, dijual di pasar tradisionil Pekan Tiga Jumpa, Kecamatan Barusjahe. Ini adalah pasar rakyat yang ramai setiap hari Jumat. Berbagai keperluan dijual di pasar ini. Termasuk berbagai peralatan dari hasil kerajinan berbahan dasar bambu.

Sementara itu, keranjang bambu biasanya dijual ke pemborong yang membeli dalam partai besar dan datang langsung ke kampung. Selain itu, ada juga beberapa yang memang untuk dipakai sendiri atau dibeli oleh petani-petani setempat untuk menjualkan tomat atau jeruknya ke pasar.

Pengarajin keranjang bisa mendapatkan upah 100-150 ribu rupiah perhari, hasil dari membuat sekitar 10-15 keranjang perhari. Artinya satu keranjang dihargai 10-15 ribu rupiah, tergantung dari harga jual tanam-tanaman di pasar.

Namun, tidak mengikuti hukum pasar, saat permintaan akan keranjang banyak harga keranjang justru tidak terlalu mahal, ketimbang saat permintaan keranjang sedikit harganya justru lebih malah. Tidak terlalu jelas apakah ini semacam mekanisme penyeimbangan tingkat upah, sehingga pendapatan harian pengrajin keranjanglah yang menjadi patokan harga per-unitnya.

Namun, bila demikian adanya, rasanya kurang adil juga, karena pengrajin justru yang paling dirugikan, sementara tokeh menikmati keuntungan ganda. Dengan biaya upah pekerja yang relatif sama, para tokeh akan menjual lebih banyak keranjang pada saat permintaan tinggi, yang berarti jumlah unit terjual semakin banyak dan menghasilkan lebih banyak keuntungan.

Bambu yang menjadi bahan dasar pembuatan keranjang ini dijual dengan sistem kontrak borongan oleh pemilik lahan bambu. Para tokeh bebas memanen bambu terbaik yang mereka rasa paling baik sebagai bahan baku, dan hanya dibatasi oleh jangka waktu kontrak. Biasanya kontrak berjangka waktu selama 3 bulan.

Selama masa kontrak itu, sebenarnya ada juga etika dalam pemanfaatan bambu-bambu ini, dalam perikatan kontrak antara tokeh keranjang dan pemilik bambu. Para tukang keranjang seharusnya menebang pohon-pohon bambu siap panen sedemikian rupa, sehingga bekas tebangannya membuat bambu-bambu yang lebih muda menjadi lebih punya ruang untuk bisa tumbuh lebih baik lagi ke depannya.

Setelah selesai kontrak yang 3 bulan itu, satu lahan bambu yang baru ditebang umumnya harus ditinggalkan lebih kurang 1,5 tahun baru bisa dipanen lagi. Hal ini dimungkinkan karena rumpun bambu itu selalu mengelurkan tunas apabila ditebang dengan baik. Bambu-bambu yang ditebang selalu menyisakan tanaman bambu dari tunas lain yang juga sedang bertumbuh.

Bibit bambu yang diambil dari hutan dan ditanam dengan sengaja, membutuhkan waktu 4 tahun sejak ditanam baru bisa dipanen.

Bisa dibayangkan, dalam waktu cukup panjang yang diperlukan sejak ditanam hingga bisa dipanen, faktor yang mengimbangi sehingga bambu masih tetap ada meskipun produksi keranjang dan kerajinan berbahan bambu lainnya tetap berjalan adalah daya hidup bambu dan perkembangannya yang cukup cepat.

Bila meminjam moto salah seorang pejuang orang Karo pada masa perang kemerdekaan melawan Belanda yang juga Pahlawan Nasional, Letnan Jenderal Djamin Ginting's, yang diabadikan pada prasasti tugu di Halaman Markas Komando Daerah Militer I Bukit Barisan, Medan, dimana ia merupakan panglima pertamanya, katanya "Patah Tumbuh Hilang Berganti", demikianlah bambu yang mati ditebang selalu berganti dengan yang baru tumbuh lagi.

Namun, alangkah lebih baik, bila pemanfaatan bambu-bambu ini selalu dibarengi oleh sikap pengendalian yang jauh dari eksploitasi berlebihan, sehingga bambu dapat tetap lestari. Dalam aur, bambu, yang terpelihara dengan baik, mungkin kita masih akan tetap bisa menjumpai air, yang akan mengalir sampai jauh dan menjaga kesinambungan kehidupan.

Jejak Kebudayaan dalam Berbagai Hasil Kerajinan Bambu
Pada Minggu, 4 Februari 2018, bersama anak-anak kami mengisi libur akhir pekan sambil belajar sejarah dan budaya yang cukup mengasyikkan ke Museum GBKP di Retreat Center Sukamakmur, Sibolangit, Sumatera Utara.

Koleksinya mendokumentasikan jejak-jejak keahlian, keterampilan dan tentu saja kualitas pemikiran orang-orang Karo sejak masa lalu, dalam bentuk artefak, karya seni, alat musik, peralatan agrikultur, peralatan rumah tangga, peralatan perang, serta peralatan medis dan pengobatan.

Benda-benda di museum itu adalah bukti bahwa orang Karo pada masa lalu sudah piawai dalam bidang seni, bahasa, logika, aritmatika, geometri, astronomi. Tingkat keadaban itu mestilah didukung oleh olah pikir dan olah rasa yang tinggi.

Beberapa di antara benda seni dan budaya yang disimpan di museum itu terbuat dari bambu. Ada yang dinamakan "Gantang beru-beru", "Tumba", "Kitang", dan "Gurup". 

Gantang beru-beru, adalah semacam wadah pengobatan tradisional untuk wanita yang baru partus. Beberapa hari setelah melahirkan untuk membantu pemulihan dan mengungatkan perut sang ibu, menggunakan batu yang membara setelah dipanaskan ditempatkan ke dalam gantang beru-beru, yang sudah berisi air perasan jeruk "rimo mungkur" ras dan garam "sira lada".

Dari kiri ke kanan: Gantang beru-beru, Tumba, Kitang, dan Gurup
Dari kiri ke kanan: Gantang beru-beru, Tumba, Kitang, dan Gurup
Sementara itu, Tumba berfungsi untuk menakar beras, baik untuk ditanak atau untuk dijual. Sebab pada zaman dulu masih belum dikenal timbangan. Sedangkan Kitang adalah wadah untuk tempat minuman bagi orang-orang terhormat. Selanjutnya, Gurup adalah tempat untuk menyimpan lauk dan sebagainya.

Selain itu ada juga "Busan" untuk tempat menyimpan beras. Juga ada "Tongkap per-Pola" sebagai tempat menyimpan air nira atau air aren. "Bubu" adalah alat untuk menangkap ikan di sungai. Sementara itu ada juga "Keteng-keteng" dan "Suling" yang merupakan alat-alat musik.

dokpri
dokpri
Tongkap perpola (Dokpri)
Tongkap perpola (Dokpri)
Bubu (Dokpri)
Bubu (Dokpri)
Kulcapi dan keteng-keteng (Dokpri)
Kulcapi dan keteng-keteng (Dokpri)
Suling, alat musik tiup, koleksi Museum GBKP di Retreat Center Sukamakmur, Sibolangit, Sumatera Utara, 2018 (Dokpri)
Suling, alat musik tiup, koleksi Museum GBKP di Retreat Center Sukamakmur, Sibolangit, Sumatera Utara, 2018 (Dokpri)
Selain untuk keperluan agrikultur, kini lahan yang ditanami bambu juga sudah dilirik untuk dijadikan sebagai objek wisata. Pengelolaannya rencananya melalui Badan Usaha Milik Desa, sebagaimana yang tampak di taman bambu yang berlokasi di lereng Bukit Gundaling, Desa Gongsol, Kecamatan Merdeka Kabupaten Karo ini.

Rencana lahan objek wisata taman bambu di lereng Bukit Gundaling, Desa Gongsol, Kecamatan Merdeka, Kabupaten Karo (Dokpri)
Rencana lahan objek wisata taman bambu di lereng Bukit Gundaling, Desa Gongsol, Kecamatan Merdeka, Kabupaten Karo (Dokpri)
Rencana lahan objek wisata taman bambu di lereng Bukit Gundaling, Desa Gongsol, Kecamatan Merdeka, Kabupaten Karo (Dokpri)
Rencana lahan objek wisata taman bambu di lereng Bukit Gundaling, Desa Gongsol, Kecamatan Merdeka, Kabupaten Karo (Dokpri)
Taman ini direncanakan akan ditanami berbagai varietas tanaman bambu dari berbagai tempat yang cocok untuk ditanami di lereng bukit ini. 

Di tempat lain yang sudah melakukan penataan tanaman bambu, sebagaimana yang tampak di Hill Park Hotel & Resort, Sibolangit, Deli Serdang Sumatera Utara ini, bahkan kami sudah pernah melakukan syuting pembuatan video klip untuk lagu rohani. Tempatnya sangat asri bila dirawat dengan baik.

Lokasi syuting video klip lagu rohani di Hill Park Hotel & Resort, Sibolangit, Deli Serdang Sumatera Utara, 2014 (Dokpri)
Lokasi syuting video klip lagu rohani di Hill Park Hotel & Resort, Sibolangit, Deli Serdang Sumatera Utara, 2014 (Dokpri)
Jelas berdasarkan bukti sejarah pun, bahwa sama seperti air yang sangat berguna bagi kehidupan, bambu atau aur pun memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan manusia, terutama pada masyarakat agrikultur. 

Menjaga kelestarian bambu, sama artinya dengan menjaga kesinambungan kehidupan manusia dan berbagai kebutuhan yang dipenuhi melalui pertanian, seni dan kebudayaannya.

Referensi:
wikipedia.org

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun