Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Buruh dan Teknologi, untuk Apa dan Siapa?

1 Mei 2020   18:23 Diperbarui: 1 Mei 2020   18:29 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada 9 Januari 2020, saya mendapatkan kiriman dari seorang teman sebuah materi seminar tentang Revolusi Industri 4.0. Ini adalah sebuah materi bahasan yang sudah sangat umum setidaknya selama hampir dua tahun terakhir sejak 2018.

Itu adalah sebuah materi tentang Transformasi Sistem Revolusi Industri 4.0 yang disampaikan oleh Dadan Nugraha pada Workshop Technopreneurship "Road to TBIC", pada 30 September 2018. Itu berarti setahun lebih sebelum isu Novel Corona, atau yang kemudian diberina nama Corona Virus Disease-19 (Covid-19), mengubah berbagai kebiasaan yang disebut normal dalam pandangan manusia yang hidup pada saat ini.

Selama masa pandemi Corona, hal-hal yang diprediksi sebagai arah kecendrungan menuju kenyataan akibat dari revolusi industri generasi ke-4 ini tampaknya mungkin akan terjadi lebih cepat. Hal ini bukan saja karena pertumbuhan eksponensial teknologi computing power yang ada di belakangnya.

Namun, dampak buruk sangat luas yang ditimbulkan oleh Covid-19 di 200 lebih negara di dunia, memberikan wawasan yang lebih tegas kepada manusia, bahwa kesiapan sistem kesehatan kita yang ada saat ini masih sangat rapuh dan rentan. Sangat mungkin bahwa masalah seperti ini masih akan muncul dan menjadi ancaman serius di masa depan.

Kecuali kita mampu melakukan penyesuaian dan hidup berdampingan dengan virus mematikan seperti ini. Sebagaimana halnya kita mampu hidup biasa berdampingan dengan virus influenza, yang dulu juga sangat menakutkan pada masa Cleopatra.

Bekerja dari rumah, belajar dari rumah dan beribadah di rumah, yang sudah berlangsung dalam skala cakupan wilayah yang meluas, serta dalam intensitas dan kualitas yang meningkat, dalam jangka waktu yang semakin panjang, setidaknya di Indonesia sejak dua bulan yang lalu, menyadarkan kita bahwa banyak hal yang akan sama sekali berbeda sejak saat itu dan bahkan setelah nanti pandemi ini berakhir pun, itu akan menjadi penyesuaian yang tampaknya akan terus berkembang dalam keseharian kita.

Menurut Klaus Schwab, seorang founder dan executive chairman dari World Economic Forum pada tahun 2017 yang lalu, bahwa saat tercapainya massa kritis/ ambang batas/ titik pergolakan, atau tipping point dari revolusi industri 4.0 diperkirakan terjadi pada tahun 2025. Itu hanya kurang dari 5 tahun dari sekarang.

Argumentasinya atas perkiraan ini adalah megatrend secara fisik yang tampak dalam kecepatan, keluasan dan kedalaman, serta dampak sistemik perkembangan berbagai hal di bidang teknologi yang berpotensi menciptakan ketimpangan sebagai tantangan terbesar dari apa yang kita kenal selama ini dalam konsep negara, masyarakat, industri, pekerjaan dan perusahaan. Megatrend itu, misalnya tampak dalam kemajuan pengembangan kendaraan tanpa pengemudi, mesin cetak 3 dimensi, advanced robotic, dan material baru yang merupakan hasil rekombinasi aspek digital dan bilogis.

Perkembangan teknologi sebagaimana dimaksud, ditambah dengan perubahan konsep identitas, moralitas dan etika koneksi antar manusia yang tampak dalam penerapan social and physical distancing sebagai upaya pembatasan dan pemutusan mata rantai penularan Covid-19 yang paling efektif menurut para ahli, seakan menempatkan teknologi memang tidak terbantahkan sebagai panglima peradaban manusia masa depan.

Lalu, apa artinya hal ini bagi kita dan bagi dunia?

Mengikuti arah perkembangan dampak perubahan ini, setidaknya dalam hal produksi, kebutuhan akan energi, makanan, keamanan, pendidikan, perubahan lingkungan dan sumber daya alam, mobilitas manusia, sistem keuangan dan moneter, informasi dan hiburan, layanan kesehatan, perdagangan dan investasi, serta pola konsumsi manusia, maka semakin diperlukan pengembangan industri dengan sistem pendidikan dengan pengambangan bakat yang lebih tepat.

Tampaknya manusia akan dituntut semakin berkolaborasi dengan robot dengan kecerdasan buatan, Artificial Inteligent (AI). Hal ini tentu saja akan mengakibatkan berbagai pekerjaan yang selama ini dikerjakan oleh manusia akan menghilang.

Konsekwensi atas pekerjaan yang hilang ini adalah, dibutuhkan daya inovasi yang semakin meningkat untuk tidak mengatakan akan nyaris tanpa batas. Sebab, untuk mengganti pekerjaan yang hilang, demi eksistensinya sendiri, maka manusia perlu menciptakan pekerjaan-pekerjaan dan membuka peluang tumbuhnya pasar kerja yang baru.

Hal ini tentu saja tidak sama maksudnya dengan mencari-cari kerjaan bagi yang tampak kurang kerjaan. Sebab, tanpa hal yang tidak produktif dan tidak efisien dengan menjadi kurang kerjaan pun, pelebaran kesenjangan ekonomi dan pembagian pendapatan sudah akan menjadi suatu tantangan nyata di depan mata dalam bayangan dunia dystopia bila revolusi ini gagal diantisipasi.

Sebagaimana dilansir dari CNN Indonesia, Kamis, 09/04/2020, sebuah penilitian dari Oxfam, lembaga nirlaba asal Inggris yang memberi perhatian besar pada masalah kemiskinan, memperkirakan setengah miliar orang atau 8 persen populasi dunia terancam jatuh kembali ke jurang kemiskinan akibat pandemi virus Corona. Kita bisa membayangkan, bagaimana manusia dengan sumber daya yang terbatas dan akses yang nyaris tertutup terhadap penyusunan regulasi, sistem investasi, dan konektivitas global akan memungkinkannya untuk naik kelas menjadi manusia super yang mampu hidup berdampingan dengan virus dan teknologi yang juga semakin berkembang di masa depan?

Atau jangan-jangan, golongan yang tidak mampu naik kelas tanpa intervensi eksternal hanya akan dibuang ke koloni dunia bawah dalam kemiskinan yang terpisah jurang yang jauh dengan golongan dunia atas yang dipandang sebagai paling dibutuhkan demi keberlangsungan peradaban, sebagaimana gambaran dalam film-film fiksi, yang setengah utopia sekaligus setengah dystopia?

Sebagai bagian dari perenungan di hari buruh, yang bila pada masa-masa sebelum pandemi Corona akan selalu diselingi dengan berita-berita mengenai demonstrasi dengan tuntutan seputar tingkat upah, sistem perlindungan kesehatan dan jaminan kecelakaan kerja, serta hal-hal lainnya yang berhubungan dengan kesejahteraan kaum buruh, mari kita lihat kenyataan tentang bagaimana pada masa depan yang waktunya diperkirakan akan segera tiba, berbagai pekerjaan yang mengurangi jumlah pekerja dan buruh manusia secara signifikan atau bahkan nyaris tidak lagi dibutuhkan.

  1. Mobil tanpa pengemudi dan akhir kisah asuransi mobil
    Pasar asuransi mobil mungkin akan berkurang hingga 75% atau lebih, karena kematin dan cedera yang disebabkan oleh kecelakaan diperkirakan hampir hilang. Ini adalah dampak dari pemakaian rem darurat otonom yang mampu mengurangi kecelakaan sebesar 25% - 45%.
  2. Taksi tanpa pengemudi
    Uber memulai tes operasi taksi tanpa pengemudi pada 16 Desember 2016. Saat ini ada 1,5 juta pengemudi Uber yang mungkin akan kehilangan pekerjaan mereka.
  3. Truk dan Bus tanpa pengemudi
    Daimler mendapat persetujuan untuk menjalankan truk tanpa pengemudi di jalan umum pada tahun 2015. Volvo akan dapat mengomersialkan truk tanpa pengemudi sebentar lagi. Saat ini mobil tanpa pengemudi tahun 2020 akan berada dalam komersialisasi penuh. Akibatnya, di AS saja sekitar 1,6 juta pengemudi truk mungkin akan kehilangan pekerjaan mereka. Navya dari Prancis mulai mengoperasikan bus tanpa pengemudi pada September 2016 di 5 stasiun Lyon.
  4. Toko ritel tidak lagi membutuhkan manusia
    Meningkatnya perkembangan e-commerce pada industri ritel, sementara di lain sisi semakin banyak juga toko fisik konvensional yang ditutup. Ini juga pasti akan berakibat pada banyaknya pekerja sektor ritel yang akan terancam kehilangan pekerjaannya.
    Wallmart berencana mengganti total 1,4 juta staf di Amerika Serikat (AS), dan 2,1 juta staf di seluruh dunia. Supermarket "Amazon Go" tidak memerlukan dukungan pekerja dari manusia lagi. Begitu kita membuka aplikasi, masukkan produk ke dalam keranjang, kemudian sensor menghitung total tagihan.
    Aplikasi melakukan penyelesaian pembayaran otomatis melalui kartu kredit yang terdaftr di aplikasi. Akibatnya, 3,4 juta kasir sekarang di bawah ancaman kehilangan pekerjaan mereka.
    Robot yang dapat berbicara milik Softank Jepang "Pepper" dapat disewa hanya seharga 55.000 Yen Jepang, atau sekitar US 55 Dollar per bulan, yang lebih murah dari gaji manusia. Mizuho Bank telah menyewa robot ini untuk 100 cabang pada akhir tahun 2016, untuk memandu pelanggan dan menjelaskan produk keuangan.
    Sementara itu, Pizza Hut telah berencana mempergunakan robot-robot Pepper untuk mengambil pesanan pizza dan kalkulasi tagihan di seluruh kawasan Asia dari akhir 2016. Di perusahaan Nestle, Peppers memperkenalkan dan menjual kopi di 1.000 toko di Jepang.
  5. Drone akan mengubah banyak aspek kehidupan kita
    Melihat berbagai langkah penanganan dan upaya pencegahan penyebaran Covid-19 di berbagai daerah dan negara di dunia, kita melihat penggunaaan drone tampaknya cukup efektif dalam melakukan penyemprotan cairan disinfektan. Baik dalam cakupan luas wilayah maupun efisiensi waktu, dibandingkan bila hal itu dilakukan dengan tenaga manusia. Selain itu, ke depannya sangat memungkinkan bahwa Drone akan menggantikan petugas pengiriman. Drone milik Amazon mampu terbang sejauh 5 mil (sekitar 8 km) untuk mengantarkan TV dan popcorn pada 7 Desember 2016. Itu hanya membutuhkan waktu 13 menit dari pesanan hingga pengiriman.
  6. Pekerja manufaktur akan digantikan
    Adidas membangun pabrik "Speed Factory" yang sepenuhnya otomatis di Jerman. Bandingkan dengan pabrik tradisional yang  membutuhkan lebih dari 600 pekerja, di mana 10 pekerja menghasilkan 500.000 pasang sepatu per tahun.
    Pada tahun 2017, Adidas membangun pabrik yang menghasilkan 18 juta pasang sepatu per tahun di Atlanta, AS. Itu menghasilkan sepatu 36 kali lebih banyak dari pabrik di Jerman, tetapi hanya membutuhkan 16 kali jumlah pekerja lebih banyak.
    Menurut data Market Watch, pada 5 Desember 2016, Foxconn memperkenalkan 40.000 robot sejak Mei 2016. Ini telah mengurangi 110.000 pekerja menjadi 50.000. Robot seharga US 35.000 Dollar lebih baik dari para pekerja yang dibayar US 15 Dollar per jam. Robot-robot itu tidak pernah terluka, tidak lelah, serta cepat dan akurat.
  7. Asisten dan wartawan akan digantikan oleh robot AI
    Perusahaan IT memperkenalkan asisten pengenalan suara AI, yakni Apple Siri, Amazon Alexa, Microsof Cortana, Asisten Google, dan Facebook. Selama 2001 hingga 2013, 163.000 pekerjaan asisten hilang di Inggris. Perusahaan surat kabar AS menggunakan perangkat lunak AI untuk memproduksi berita olahraga dan pelaporan keuangan perusahaan seperti Associated Press, Forbes, dan LA Times.
  8. Dokter dan Pengacara akan digantikan oleh AI
    Firma hukum AS, BakerHostetler menyewa AI yang disebut "Ross" untuk menangani kasus-kasus kepailitan. MD Anderson Cancer Centre mempekerjakan IBM AI Watson, yang akurasinya sekitar 96%.
  9. Telemarketer akan menjadi sejarah
    "Chatbot" adalah perangkat lunak percakapan berbasis AI. Perangkat ini dapat mengambil pesanan belanja dan konseling seolah-olah pelanggan sedang berdiskusi dengan seorang teman melalui obrolan. Hal ini sejalan dengan publikasi penelitian dari Oxford University pada 2014, bahwa salah satu pekerjaan yang akan digantikan dalam 20 tahun adalah telemarketer.
  10. Kemungkinan besar, call center akan menjadi sejarah
    Coca Cola menggunakan CHIP, agen virtual pemrosesan bahasa alami, untuk menggantian agen call center.
  11. Robot akan menggantikan penasihat keuangan
    Robot AI menyediakan nasihat keuangan dan manajemen investasi melalui analisis big data. Akibatnya tentu banyak sekali penasihat investasi dari manusia yang mungkin akan kehilangan pekerjaannya.

Lalu kita mungkin akan bertanya, Teknologi untuk Apa dan Siapa?

Teknologi 4.0 bisa dipergunakan untuk mengambil alih pekerjaan manusia atau untuk menciptakan dan memfasilitasi pekerjaan-pekerjaan baru. Teknologi bisa dioptimalkan untuk kepentigan pemiliknya, atau untuk kepentingan semua orang. Singkatnya, kita semakin perlu menyadari bahwa ini adalah era perubahan dari "kepemilikan" menjadi "sharing economy".

Ini bukan berarti bahwa teknologi adalah tuan dari segalanya. Refleksi dari sejarah perkembangan peradaban umat manusia menunjukkan bahwa dalam perjalanannya terbukti bahwa pertumbuhan dan perkembangan pasti ada batasnya.

Walaupun bukan kiamat dalam makna sebenarnya, bukankah manusia juga sudah mengenal 5 kali kepunahan massal? Dan konon katanya, kepunahan massal ke-6, dalam kaitannya dengan kemungkinan kepunahan berbagai spesies dalam keanekaragaman hayati, justru diakibatkan oleh ulah manusia.

Namun, manusia dalam perjalanannya dengan pengetahuannya memang menempatkan teknologi pada posisi yang semakin menentukan bahkan semakin memegang peran dalam kehidupan. Kembali seperti mencermati ungkapan dari Nietzsche, bahwa pengetahuan adalah suatu bentuk kehendak untuk berkuasa.

Ide tentang pengetahuan murni tidak dapat diterima karena nalar dan kebenaran tidak lebih dari sekedar sarana yang digunakan oleh ras dan spesies tertentu. Kebenaran bukan sekumpulan fakta, karena hanya mungkin ada interpretasi dan tidak ada batas bagaimana dunia diinterpretasikan.

Jika kebenaran memiliki sandaran historis, maka ia merupakan konsekuensi dari kekuasaan. Dan di manapun, afirmasi kekuasaan selalu diiringi resistensi dalam bentuk dan gradasi yang berbeda-beda.

Kita boleh tidak setuju dan berbeda pandangan. Satu yang jelas, bahwa masa depan terbentang di depan, dan dibutuhkan keterampilan yang sesuai untuk mengantisipasinya.

Tidak ada yang bisa memastikan, apakah untuk itu dibutuhkan keterampilan yang sesuai dengan teknologi yang canggih, atau malah keterampilan untuk survival di alam liar sebagaimana nenek moyang homo sapiens pada zaman memburu dan mengumpul.

Bagaimana pun, saat ini kita hidup pada masa di mana semua pandangan ada pengikutnya, dan mereka hidup dengan apa yang mereka percayai. Bila kebenaran memang hanya sekumpulan interpretasi, maka tidak ada batasan untuk "Apa" dan "Siapa" Teknologi ada.

Dalam berbagai ukuran untuk sebuah definisi, barangkali perubahan teknologi ini sudah tepat disebut revolusi, karena ia adalah sebuah perubahan spontan yang terjadi mendadak dan segera. Bahkan dalam kadar tertentu, perubahan-perubahan itu mungkin akan melahirkan ketegangan.

Itu pun wajar, sebab hidup mengajarkan bahwa belajar diperlukan sepanjang hayat, dan untuk belajar  diperlukan dialektika, maka ketegangan dan perbedaan juga adalah hal yang biasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun