Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Novel | Menyusuri Elegi Seorang Hamba

25 April 2020   14:22 Diperbarui: 25 April 2020   14:26 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagian 1
Mengawali Karier: Bekerja?

...no body said it was easy...(the scientist, coldplay)

Kita semua menyanyikan syair kehidupan. Entahkah itu ratapan dan ungkapan dukacita, tidak hanya untuk ratap tangis atau kesedihan karena kematian, tapi juga untuk menggambarkan rasa kehilangan atau penyesalan atas suatu pengalaman pahit dari peristiwa masa lampau.

Elegi kita nyanyikan sebagai empati atas kemalangan yang dialami oleh orang lain. Namun, kita juga menyanyikan elegi untuk cinta, yang terkadang pupus oleh perang, pergumulan dan ratapan atas matinya semangat berpengharapan.

Sore itu para Calon Pegawai Negeri Sipil yang kebanyakan adalah ibu-ibu dan bapak-bapak yang sudah berumah tangga sedang duduk-duduk bergerombol di susunan kursi-kursi dengan meja-meja yang disusun sedemikian rupa seperti sehabis dipakai untuk berdiskusi. Mereka ini adalah para Calon Pegawai Negeri Sipil yang mengikuti pendidikan dan pelatihan pra jabatan, suatu kegiatan yang wajib diikuti oleh para Calon Pegawai Negeri Sipil yang baru lulus seleksi penerimaan sebelum diangkat penuh sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Usia rata-rata para peserta sekitar 30 tahun, sebagian besarnya adalah guru SD yang diterima sebagai calon PNS untuk ditempatkan di daerah yang terjauh dan terpencil di sebuah kabupaten.

Sedang asyik mereka bercerita, datanglah Tegar, seorang PNS muda lulusan sekolah kedinasan pemerintahan, yang baru ditempatkan sebagai pegawai magang di unit kerja yang melaksanakan kegiatan ini. "Sedang ngobrolin soal apa ini Bapak, Ibu?" tanya Tegar.

"Bukan apa-apa Pak, hanya bertukar sedikit cerita dan pengalaman masing-masing sebelum diterima menjadi calon pegawai pak" kata pak Saragih.

Ia adalah seorang calon PNS golongan II, calon guru SD yang akan ditempatkan untuk mengajar murid-murid SD di sebuah desa yang terpencil di sebuah kecamatan yang juga agak jauh dari ibukota kabupaten.

Tegar adalah seorang anak dari keluarga menengah bawah. Ayahnya bekerja sebagai guru SMP swasta di ibukota kecamatan, dan ibunya yang adalah guru SD negeri di sebuah desa terpencil. Tegar memiliki dua orang saudara, satu laki-laki dan satu perempuan. Tegar yang paling tua, baru saja menyelesaikan pendidikan tinggi kedinasan pamong praja di Pulau Jawa dan akan segera ditempatkan sebagai PNS di ibukota kampung kelahirannya sendiri.

Jetro adiknya, masih duduk di bangku kuliah jurusan arsitektur di sebuah universitas negeri di ibukota provinsi, dan Janet sibungsu masih duduk di bangku SMA negeri kampung yang sama. Pengalaman hidup serba cukup di keluarga yang sederhana ini, walaupun tidak memprihatinkan, dengan gaji yang pas-pasan dari kedua orang tuanya dengan tingkat penghasilan dari gaji pada masa tahun 80-an membuat Tegar sangat akrab dengan kisah perjuangan hidup pak Saragih yang sedang dibahas bersama teman-teman diklatnya di jam istirahat sore hari itu.

"Saya sangat bersyukur bisa diterima menjadi calon PNS, walaupun hanya PNS rendahan di sekolah kecil di desa terpencil Pak" kata pak Saragih.

Sebelum lulus diterima dalam seleksi penerimaan calon PNS tahun ini, pak Saragih adalah seorang buruh kasar di perusahaan pengolahan kayu di kampung tetangga. Sehari-harinya pak Saragih bertugas menebang kayu-kayu besar di sebuah kawasan hutan produksi. Mengenakan sepatu bot, menenteng gergaji mesin, keluar masuk hutan dengan bertelanjang dada, adalah rutinitas yang dijalananinya, hampir setiap hari selama 15 tahun terakhir.

Sepenggal kisah pak Saragih ini, terus terngiang di benak Tegar di kamar asrama tempat berlangsungnya diklat itu. Di kamar seorang diri, Tegar merenungkan kembali ucapan pak Saragih yang sangat mensyukuri nasibnya sebagai calon PNS, guru SD di sekolah kecil di sebuah desa terpencil.

Tegar membayangkan apakah ia juga akan mensyukuri pekerjaannya begitu ia ditempatkan, dimanapun itu segera setelah masa magangnya selesai di lembaga penyelenggara pendidikan dan pelatihan PNS ini. Bukan saja karena ia belum bisa membayangkan apa yang akan dikerjakannya nanti di tempat tugasnya, tetapi jalan hidup yang membuatnya akhirnya memilih sekolah pamong pemerintahan di Pulau Jawa itupun tidak terlepas dari rasa prihatinnya kepada keadaan ekonomi kedua orang tuanya yang pas-pasan.

Dengan ganjaran sekolah dibiayai negara di akademi yang dia masuki, waktu itu ia hanya berharap orang tuanya akan terbantu karena tidak perlu memikirkan biaya sekolahnya, dan setamatnya dari sana bisa langsung bekerja sebagai PNS. Apakah hidup akan berjalan sesederhana itu? Adakah alasan lain baginya seperti pak Saragih untuk bersyukur seandainya kenyataannya nanti tidak sebaik harapannya? Oh, kehidupan masih terlalu singkat untuk aku menemukan jawabannya, batin Tegar.

Tugas-tugas Tegar setiap harinya sebagai pegawai magang dalam pelaksanaan pendidikan dan pelatihan bagi calon-calon PNS itu adalah memastikan semua peserta bangun sesuai jadwal yang sudah ditetapkan, memimpin senam pagi, menyiapkan apel pagi dan apel sore, serta memfasilitasi kebutuhan-kebutuhan peserta, kebutuhan di kelas maupun kalau-kalau ada peserta yang sakit sehingga membutuhkan pengobatan atau yang ibu-ibu muda yang sesekali meminta permisi menemui suami atau anggota keluarga di jam-jam istirahat untuk menyusui. Sebagian peserta diklat adalah ibu-ibu menyusui yang baru melahirkan sesaat sebelum pelaksanaan diklat.

Berbeda dengan Tegar, yang baru berumur dua puluh dua tahun, lulusan sekolah pamong pemerintahan di Pulau Jawa, yang langsung diangkat menjadi PNS saat masih menjalani pendidikan, sehingga begitu menamatkan pendidikannya langsung ditempatkan dan tidak perlu lagi menjalani proses pendidikan dan pelatihan pra jabatan di daerah penempatan sebagaimana hari ini dia saksikan.

Seluruh peserta, yang adalah calon-calon PNS golongan dua itu, bersemangat mengikuti kegiatan. Walaupun kadang-kadang ada bapak-bapak yang mengeluh karena berjam-jam harus menahan diri untuk tidak merokok, ibu-ibu yang terkadang kerepotan mendiamkan anaknya yang masih ingin menyusu, semua itu terrekam dalam penglihatan Tegar. Bayangan yang merasuk ke benaknya dan menyisakan berjuta pertanyaan dalam hatinya, akan seperti apa kehidupan sebagai seorang PNS yang nanti akan dilajaninya.

Selang waktu berganti, setalah dua minggu kegiatan itu segera akan berakhir. Tampak raut keceriaan di wajah seluruh peserta, ibu-ibu dan bapak-bapak, sebagian kecil lagi mereka anak gadis dan pemuda. Tidak saja karena telah berhasil melewati proses pendidikan dan latihan yang mengekang selama dua minggu, tetapi karena akhirnya mereka akan kembali menjalani kehidupan bebas, di kampung-kampung tempat tinggalnya.

Diadakanlah sebuah acara perpisahan antara panitia dan peserta yang digagas oleh peserta sendiri. Di antaranya ada acara penyampaian kesan dan pesan, dari yang mewakili peserta maupun yang mewakili panitia. Satu persatu peserta, mewakili yang pria dan yang wanita, menyampaikan kesan dan pesannya secara bergantian.

Mulai dari masalah tempat tidur bertingkat di asrama yang terkadang menyusahkan bagi ibu-ibu, juga bagi bapak-bapak yang agak kegemukan, masalah menu makan setiap hari, masalah jadwal kegiatan yang padat hingga malam hari, sampai hal-hal yang lucu dan konyol di antara sesama peserta, senam pagi dengan gerakan-gerakan Tegar sebagai instruktur senam aerobik dadakan yang kadang menjadi lelucon, dan keramahtamahan para panitia dalam melayani peserta. Kesan yang terakhir ini terasa agak dibuat-buat untuk menyenangkan hati panitia.

Selesai bagian para peserta, dimintalah kesediaan salah seorang mewakili panitia untuk menceritakan kesan dan pesannya. Si pembawa acara memanggil Tegar untuk tampil mewakili panitia.

Kontan saja Tegar terkejut, karena di acara itu hadir juga pejabat-pejabat lembaga yang melaksanakan kegiatan ini. Tetapi karena ini adalah kegiatan informal dan atas prakarsa para peserta, maka pimpinan lembaga itu menganggukkan kepala merestui Tegar untuk naik ke mimbar, berbicara menyampaikan kesan dan pesannya.

Tegar bukannya tidak bisa berbicara di depan umum, tetapi karena sama sekali tidak menduga akan ditugaskan menyampaikan sesuatu mewakili panitia maka ia tidak memiliki persiapan.

"Yang saya hormati, Bapak dan Ibu dari Badan Kepegawaian Daerah selaku panitia, Bapak dan Ibu para peserta pendidikan dan pelatihan pra jabatan sekalian, marilah kita memanjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat kasih karuniaNya kita masih bisa berkumpul di acara penutupan kegiatan pendidikan dan pelatihan pra jabatan tahun ini. Kalau diminta menyampaikan kesan dan pesan atas pelaksanaan kegiatan kita ini, saya merasa tidak pantas sebenarnya", katanya membuka pidatonya.

"Pernah pada suatu sore, saya mendapati beberapa peserta sedang asyik mengobrol di meja diskusi saat jam istirahat. Saya ikut nimbrung mendengarkan obrolan mereka. Rupanya yang dibahas adalah masalah pengalaman sebelum diterima menjadi calon PNS. Saya mendengar bagaimana pengalaman Pak Saragih yang sebelumnya adalah penebang kayu yang keluar masuk hutan, pengalaman Pak Ginting yang sebelumnya pernah menjadi anggota DPRD, namun banting setir mendaftar menjadi pegawai. Semuanya itu dan kesan yang lainnya adalah kesan yang terus terbawa ke benak saya sampai menjelang tidur", sambungnya lagi.

"Sebagai seorang pegawai yang baru lulus pendidikan, saya juga sedang menunggu untuk ditempatkan. Bapak dan Ibu mungkin sudah bertugas sekian lamanya sebelum mengikuti pendidikan dan pelatihan ini. Saya sangat terkesan dengan raut cerah wajah Bapak dan Ibu sekalian. Bukan mau menilai mana tugas yang lebih mulia dan mana yang lebih rendah, atau dimana penempatan yang lebih baik dari yang lainnya, tetapi saya kurang lebih pernah juga mendengar dan mengetahui tempat-tempat dimana Bapak dan Ibu akan bertugas nantinya. Itu bukan tempat bertugas yang mudah. Mungkin ada yang jalannya belum diaspal, ada yang belum dialiri listrik, ada juga yang tidak dijangkau air bersih hingga ke rumah-rumah, sehingga harus ke sungai untuk mengerjakan apa saja yang membutuhkan air".

"Saya, rasanya tidak pantas memberikan sepatah dua kata kepada Bapak dan Ibu, selain menyampaikan hormat saya kepada kalian semua, karena kalian adalah ujung tombak pembangunan sebenarnya. Tidak masalah sekalipun ada yang memandang rendah karena pangkat dan golongan, tetapi saya percaya bahwa kemuliaan kita tidak diukur dari apa yang kita punya, tetapi dari sebesar apa pelayanan kita kepada sesama", sambung Tegar.

Pak Saragih tampak mengeluarkan sapu tangannya, sekilas ia tampak menyeka pelupuk matanya yang basah, juga pak Ginting dan beberapa ibu-ibu lainnya. Ada yang menyeka mata dengan tisu kue kotak yang tersaji di depan mereka. Tegar tak jelas entah sedang menceritakan kesan dan pesan, atau lebih kepada mengisi kekosongan ruang hatinya sendiri lewat kata-kata yang meluncur bebas dari mulutnya.

Pak Budi, pimpinan lembaga pelaksana kegiatan pendidikan dan pelatihan bagi calon-calon pegawai itu hanya mengangguk-angguk menyaksikan anak buahnya itu berpidato di mimbar. Selesai pidato, Tegar turun dari mimbar dan membungkuk ke arah pak Budi sebelum duduk kembali ke kursinya.

Barangkali ia baru sadar, kalau tadi sudah memakai waktu yang cukup panjang mengucapkan pidatonya. Ia tampak gelisah, merasa tidak nyaman melihat teman-temannya panitia yang lain.

Tetapi begitulah terkadang, situasi emosional bisa mengambil alih kendali kesadaran, menghasilkan ekspresi yang tidak sepenuhnya bisa dikendalikan. Tapi biarlah, saya sudah berusaha menghormati keinginan peserta, batin Tegar. Lagipula, barangkali itu jugalah ruang hampa yang menganga dalam batinnya beberapa hari terakhir ini. Bahwa untuk memuliakan hidup sesama melalui pekerjaan adalah alasan terutama kenapa dia harus bersyukur dipanggil dan ditempatkan menjadi pegawai negeri nantinya.

Tidak berapa lama setelah usainya kegiatan pendidikan dan latihan itu, Tegar akhirnya mendapatkan sepucuk surat tentang penempatannya. Setelah membuka amplop dan mengeluarkan isinya, Tegar membaca lambat-lambat isi suratnya, disebutkan disana bahwa ia akan ditempatkan di sebuah kantor kecamatan yang hanya berjarak sekitar 20 menit dari rumah orang tuanya di ibu kota kabupaten.

Untung saja saya tidak memberikan pidato lebih panjang mengenai pengabdian sebagai pegawai ujung tombak di ujung perbatasan, pikir Tegar. Akan tidak etis, saat seorang bocah seumur jagung yang ditempatkan di tempat yang relatif sangat dekat dengan kota memberikan petuah kepada orang-orang tua yang ditempatkan pada desa-desa terpencil dan terjauh.

Sungguh terkadang hidup terasa tidak adil, sekalipun kita menikmati ketidakadilan itu karena berada di pihak yang diuntungkan. Masalah etis menjadi dilema untuk direnungkan. Kalau mau jujur, diri sendiri yang terasa dirugikan karenanya. Kalau berbohong, maka hati nurani orang-orang yang lugu menjadi korbannya.

Tidakkah pendidikan dan pelatihan itu menjadi sesuatu yang penuh dengan kepalsuan pada akhirnya? Pengajar-pengajar memberikan materi yang bukan main baiknya, sementara panitia dan petugas asramanya bersama-sama adalah orang yang mengalami dilema etis dalam dirinya. Sering mereka tidak jujur menggambarkan kenyataan dunia kerja pegawai negeri yang akan dihadapi di lapangan pengabdian nantinya.

Biarlah, mereka akan menemukan sendiri kenyataannya, dan mereka akan memutuskan sendiri mau seperti apa menghadapinya, yang penting kewajibanku kujalankan. Mungkin demikian hati mereka juga berbicara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun