Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Novel | Menyusuri Elegi Seorang Hamba

25 April 2020   14:22 Diperbarui: 25 April 2020   14:26 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kontan saja Tegar terkejut, karena di acara itu hadir juga pejabat-pejabat lembaga yang melaksanakan kegiatan ini. Tetapi karena ini adalah kegiatan informal dan atas prakarsa para peserta, maka pimpinan lembaga itu menganggukkan kepala merestui Tegar untuk naik ke mimbar, berbicara menyampaikan kesan dan pesannya.

Tegar bukannya tidak bisa berbicara di depan umum, tetapi karena sama sekali tidak menduga akan ditugaskan menyampaikan sesuatu mewakili panitia maka ia tidak memiliki persiapan.

"Yang saya hormati, Bapak dan Ibu dari Badan Kepegawaian Daerah selaku panitia, Bapak dan Ibu para peserta pendidikan dan pelatihan pra jabatan sekalian, marilah kita memanjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat kasih karuniaNya kita masih bisa berkumpul di acara penutupan kegiatan pendidikan dan pelatihan pra jabatan tahun ini. Kalau diminta menyampaikan kesan dan pesan atas pelaksanaan kegiatan kita ini, saya merasa tidak pantas sebenarnya", katanya membuka pidatonya.

"Pernah pada suatu sore, saya mendapati beberapa peserta sedang asyik mengobrol di meja diskusi saat jam istirahat. Saya ikut nimbrung mendengarkan obrolan mereka. Rupanya yang dibahas adalah masalah pengalaman sebelum diterima menjadi calon PNS. Saya mendengar bagaimana pengalaman Pak Saragih yang sebelumnya adalah penebang kayu yang keluar masuk hutan, pengalaman Pak Ginting yang sebelumnya pernah menjadi anggota DPRD, namun banting setir mendaftar menjadi pegawai. Semuanya itu dan kesan yang lainnya adalah kesan yang terus terbawa ke benak saya sampai menjelang tidur", sambungnya lagi.

"Sebagai seorang pegawai yang baru lulus pendidikan, saya juga sedang menunggu untuk ditempatkan. Bapak dan Ibu mungkin sudah bertugas sekian lamanya sebelum mengikuti pendidikan dan pelatihan ini. Saya sangat terkesan dengan raut cerah wajah Bapak dan Ibu sekalian. Bukan mau menilai mana tugas yang lebih mulia dan mana yang lebih rendah, atau dimana penempatan yang lebih baik dari yang lainnya, tetapi saya kurang lebih pernah juga mendengar dan mengetahui tempat-tempat dimana Bapak dan Ibu akan bertugas nantinya. Itu bukan tempat bertugas yang mudah. Mungkin ada yang jalannya belum diaspal, ada yang belum dialiri listrik, ada juga yang tidak dijangkau air bersih hingga ke rumah-rumah, sehingga harus ke sungai untuk mengerjakan apa saja yang membutuhkan air".

"Saya, rasanya tidak pantas memberikan sepatah dua kata kepada Bapak dan Ibu, selain menyampaikan hormat saya kepada kalian semua, karena kalian adalah ujung tombak pembangunan sebenarnya. Tidak masalah sekalipun ada yang memandang rendah karena pangkat dan golongan, tetapi saya percaya bahwa kemuliaan kita tidak diukur dari apa yang kita punya, tetapi dari sebesar apa pelayanan kita kepada sesama", sambung Tegar.

Pak Saragih tampak mengeluarkan sapu tangannya, sekilas ia tampak menyeka pelupuk matanya yang basah, juga pak Ginting dan beberapa ibu-ibu lainnya. Ada yang menyeka mata dengan tisu kue kotak yang tersaji di depan mereka. Tegar tak jelas entah sedang menceritakan kesan dan pesan, atau lebih kepada mengisi kekosongan ruang hatinya sendiri lewat kata-kata yang meluncur bebas dari mulutnya.

Pak Budi, pimpinan lembaga pelaksana kegiatan pendidikan dan pelatihan bagi calon-calon pegawai itu hanya mengangguk-angguk menyaksikan anak buahnya itu berpidato di mimbar. Selesai pidato, Tegar turun dari mimbar dan membungkuk ke arah pak Budi sebelum duduk kembali ke kursinya.

Barangkali ia baru sadar, kalau tadi sudah memakai waktu yang cukup panjang mengucapkan pidatonya. Ia tampak gelisah, merasa tidak nyaman melihat teman-temannya panitia yang lain.

Tetapi begitulah terkadang, situasi emosional bisa mengambil alih kendali kesadaran, menghasilkan ekspresi yang tidak sepenuhnya bisa dikendalikan. Tapi biarlah, saya sudah berusaha menghormati keinginan peserta, batin Tegar. Lagipula, barangkali itu jugalah ruang hampa yang menganga dalam batinnya beberapa hari terakhir ini. Bahwa untuk memuliakan hidup sesama melalui pekerjaan adalah alasan terutama kenapa dia harus bersyukur dipanggil dan ditempatkan menjadi pegawai negeri nantinya.

Tidak berapa lama setelah usainya kegiatan pendidikan dan latihan itu, Tegar akhirnya mendapatkan sepucuk surat tentang penempatannya. Setelah membuka amplop dan mengeluarkan isinya, Tegar membaca lambat-lambat isi suratnya, disebutkan disana bahwa ia akan ditempatkan di sebuah kantor kecamatan yang hanya berjarak sekitar 20 menit dari rumah orang tuanya di ibu kota kabupaten.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun