Sederhana memang, tapi bahkan pada masa lalu dalam keterbatasannya pun, nenek moyang suku Karo sudah beradaptasi dengan baik menyiasati keadaan. Pengawet pabrikan belumlah ada seperti sekarang, bahkan garampun susah didapatkan.
Di samping itu terbukti sekarang bahwa pengawet, setidaknya dalam contoh monosodium glutamat, justru berisiko merusak kesehatan manusia. Namun, dalam Cimpa Matah, ada kandungan filosofi bahwa "Sesuatu yang tidak pernah dimasak tidak akan pernah basi".
Walaupun dengan maksud sedikit bercanda, ternyata menumbuk beras bisa juga membuat tangan gemetar dan jari-jari, terutama jempol, serasa melebar 2 kali lipat dari ukuran normal. Susah mengetik di keyboard ini adalah buktinya.
Masih dalam maksud bercanda, barangkali karena itu jugalah wanita-wanita pada suku Karo lebih mirip Hercules dalam hal tenaga, meskipun tidak kalah juga dengan Dewi Aprodhite dalam hal kecantikannya. Penganan ini memang biasanya dibuat oleh wanita.
Saya yang membuatnya pada malam ini, hanya mau mencoba meresapi bagaimana hebatnya perjuangan yang harus dilakoni oleh seorang ibu untuk keluarganya. Jangan kira walaupun untuk sekadar memasak dan memberi makan anggota keluarga adalah perkara mudah dan tidak butuh energi yang memadai.
Isu gender dan pelajaran filosofi dari perkara membuat Cimpa Matah ini, memberiku pelajaran terakhir, bahwa untuk membuat cimpa matah turut menghasilkan sekurangnya 1 seloki keringat dan rasa lapar yang cukup menggelora.Â
Maka, bila hari ini di rumahmu ada makanan tersaji entah dalam bentuk apa saja, ingatlah bahwa ada seorang ibu yang tidak saja mencurahkan tenaga, tapi juga pikiran dan perasaannya saat membuatnya. Mungkin dengan itu, kita tidak akan terlalu mudah lagi menuntut ini dan itu. Udah itu saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H