Saya membayangkan diri saya sendiri yang senang bila mendapatkan teman yang hangat. Itu adalah jenis teman yang senang beramah tamah, berpikiran terbuka, namun tetap bersikap sewajarnya.Â
Karena ramah tamah tidak harus berarti suka bicara, berpikiran terbuka tidak harus berarti suka mengumbar masalah pribadi, maka sewajarnya bisa berarti wajar menurut ukuran umum.
Saya sedikit merenung, barangkali karena itu orang-orang yang merasa terhubung entah karena apa saja, termasuk para para penulis di Kompasiana yang disebut Kompasianer saling menyapa dengan mengucapkan "salam hangat".Â
Umumnya manusia merasa senang bila ia merasa diterima dengan hangat. Lalu apakah ukuran umum sebagai standar acuan untuk menentukan kehangatan?
Sudah umum diketahui bahwa manusia adalah makhluk sosial, yakni makhluk yang membutuhkan kehadiran manusia lainnya dalam hidupnya.Â
Lalu bagaimanakah menyatakan kehangatan sebagai sesama manusia dalam hubungannya dengan cara bersalaman yang memerlukan penyesuaian sehubungan dengan perlunya menjaga jarak sosial (social distancing) pada masa pandemi Corona ini?
Sebelumnya, kita perlu terlebih dahulu membahas beberapa perkara terkait kata "salam" dan mencari tahu asal kata "hangat", sebagai pembentuk frasa "salam hangat" yang sering kita pergunakan dalam hubungan sosial kita sehari-hari.Â
Salam hangat, nyata-nyata dituntut mengalami penyesuaian, kini dan juga mungkin berlangsung terus hingga nanti, bukan saja karena wabah penyakit, tapi mungkin saja karena pengaruh budaya dan situasi lainnya yang berubah dalam hubungan sosial manusia.
Salam dan Bersalaman
Salam adalah cara bagi seseorang untuk secara sengaja mengkomunikasikan kesadaran akan kehadiran orang atau pihak lain, untuk menunjukkan perhatian, dan/atau untuk menegaskan atau menyarankan jenis hubungan atau status sosial antar individu atau kelompok orang yang berhubungan satu sama lain.Â
Salam dapat diekspresikan melalui ucapan dan gerakan, atau gabungan dari keduanya. Salam sering, tetapi tidak selalu, diikuti oleh percakapan.
Bersalaman atau berjabat tangan adalah tradisi penyambutan singkat yang menyebar di seluruh dunia, di mana dua orang memegang tangan satu sama lain.Â
![ilustrasi: picsart.com](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/04/02/salam-hangat-5e860b8a097f363d2261eae2.jpg?t=o&v=770)
Menjadi menarik, merenungkan tentang masalah perubahan cara bersalaman orang-orang, selama masalah pandemi global wabah Corona, yang setidaknya telah menjangkit di lebih kurang 200 negara di dunia. Itu adalah masalah bagi milyaran manusia yang masih hidup saat ini di berbagai negara di atas muka bumi.
Bila memakai tangan kanan saat bersalaman umumnya dianggap sebagai etiket sopan santun yang sebenarnya, dan bagi kaum manusia yang masih suka makan dengan suapan telapak tangan yang juga umumnya dianggap sopannya dengan memakai tangan kanan.
Bukankah saat ini etiket terkait penggunaan tangan kanan kita itu justru adalah sesuatu yang sangat dihindarkan? Bahkan dianggap paling berisiko karena penggunaan tangan yang dipandang paling sopan untuk jabat tangan dengan berbagai orang itu justru adalah pemberi kemungkinan paling besar untuk memasukkan virus melalui mulut kita saat makan.
Bahkan, berjabat tangan dan bersalaman sendiri saat ini dipandang sebagai sebuah perilaku yang paling penting untuk dihindari, karena dianggap paling efektif untuk memutus mata rantai penyebaran virus.Â
Sistem sosial kita sendiri disarankan untuk lebih mengambil jarak antar orang melalui apa yang disebut sebagai social distancing and physical distancing.
Setelah membahas secara singkat beberapa perkara terkait salam dan bersalaman, kini kita mencari tahu beberapa hal terkait asal kata "hangat" dalam ragam bahasa.
Perkembangan asal kata hangat dalam ragam bahasa ini dimaksudkan sekali lagi untuk menunjukkan bahwa umumnya manusia merasa senang bila ia merasa diterima dengan hangat.
Kita akan melihat pengertiannya dari aspek Bahasa Sanskerta terlebih dahulu, karena menurut hasil penelitian oleh beberapa peneliti bahasa dari Eropa, bahwa Bahasa Sanskerta (ejaan tidak baku: Sansekerta, Sangsekerta, Sanskrit) adalah salah satu bahasa Indo-Eropa paling tua yang masih dikenal dan sejarahnya termasuk yang terpanjang.
Bahasa Sanskerta merupakan sebuah bahasa klasik India, sebuah bahasa liturgis dalam agama Hindu, Buddhisme, dan Jainisme dan salah satu dari 23 bahasa resmi India.
Maka tidak mengherankan juga, mengapa sejak pertama kali penganugerahan Penghargaan Nobel dalam bidang sastra digelar pada tahun 1901, pada pelaksanaannya yang ketigabelas pada tahun 1913.
Penerima Nobel dalam bidang sastra berasal dari India, bernama Rabindranath Tagore. Ia juga tercatat sebagai orang pertama dari Asia yang menerima penghargaan ini, dan masih satu-satunya dari India hingga saat ini.
Penelitian bahasa Sanskerta oleh bangsa Eropa dimulai oleh Heinrich Roth (1620--1668) dan Johann Ernst Hanxleden (1681--1731), dan dilanjutkan dengan proposal rumpun bahasa Indo-Eropa oleh Sir William Jones. Hal ini memainkan peranan penting pada perkembangan ilmu perbandingan bahasa di Dunia Barat.
Sir William Jones, pada kesempatan berceramah kepada Asiatick Society of Bengal di Calcutta, pada 2 Februari 1786, bahkan berkata: "Bahasa Sanskerta, bagaimanapun kekunoannya, memiliki struktur yang menakjubkan; lebih sempurna daripada bahasa Yunani, lebih luas daripada bahasa Latin dan lebih halus dan berbudaya daripada keduanya, namun memiliki keterkaitan yang lebih erat pada keduanya, baik dalam bentuk akar kata-kata kerja maupun bentuk tata bahasa, yang tak mungkin terjadi hanya secara kebetulan; sangat eratlah keterkaitan ini, sehingga tak ada seorang ahli bahasa yang bisa meneliti ketiganya, tanpa percaya bahwa mereka muncul dari sumber yang sama, yang kemungkinan sudah tidak ada."
Bahasa Sanskerta juga dituturkan di Wilayah Asia lainnya. Sebagaimana di India, bahasa ini juga memiliki status sebagai salah satu bahasa resmi di Nepal. Selain itu, penutur bahasa ini juga tercatat ada di Indonesia serta beberapa wilayah lainnya di Asia Selatan dan Tenggara.
Di Indonesia, Bahasa Sanskerta sangat berpengaruh penting dan sangat memiliki peran tinggi di dalam perbahasaan di Indonesia. Bahasa Sanskerta telah lama hadir di Nusantara sejak ribuan tahun lalu, bahkan banyak nama orang Indonesia yang menggunakan nama-nama India atau Sanskerta, meskipun mereka bukan beragama Hindu.
Sejak itu, budaya India terlihat juga sebagai bagian dari budaya Indonesia, terutama dalam budaya Jawa, Bali, dan beberapa bagian dari Nusantara lainya.
Dalam bahasa Sanskerta kata hangat berasal dari kata "gharm", sementara itu dalam rumpun bahasa non-Jermanik lainnya, seperti dalam bahasa Prusia Kuno, kata hangat berasal dari kata "gorme". Sedangkan dalam rumpun bahasa Proto-Indo-Eropa, kata "hangat" berasal dari kata "gwherms".
Selanjutnya, dalam bahasa Sanskerta dikenal adanya Hukum Sandhi. Itu adalah hukum yang menjelaskan sebuah fenomena fonetik, di mana dua bunyi berbeda yang berdekatan bisa berasimilasi.
Maka dalam kata "gwherms" terjadi perubahan fonetik "gwh" menjadi "gw" dan bergabung menjadi "w" yang sudah ada dalam asal kata sebelumnya, menjadi apa yang dikenal dalam kata "warmaz" pada bahasa Proto-Jermanik.
Dari asal kata itulah dikenal kata "hangat" dalam kata-kata rumpun Bahasa Jermanik, sebagaimana kata "warm" pada Bahasa Inggris, Belanda dan Jerman, atau "waarm" pada Bahasa Frisia Barat, atau kata "varmur" dalam Bahasa Islandia dan kata "varm" pada Bahasa Swedia. Semua itu adalah kata-kata yang berarti "hangat".
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sebagaimana dilansir dari laman lektur.id, dijelaskan bahwa kata "hangat" memiliki berbagai arti. Hal ini karena kata hangat merupakan sebuah homonim, yakni sebuah kata yang dengan ejaan dan pelafalan yang sama, tapi memiliki arti yang berbeda-beda.
Hangat memiliki arti dalam kelas kata sifat, sehingga kata hangat dapat mengubah kata benda atau kata ganti, biasanya dengan menjelaskannya atau membuatnya menjadi lebih spesifik.
Berikut ini adalah beberapa arti kata hangat:
- Hangat berarti agak panas, misalnya pada klausa "Masakan itu masih hangat".
- Hangat berarti sedikit lebih daripada timbangan (bobot) yang sebenarnya, misalnya pada kalimat "Gula itu hangat timbangannya".
- Hangat berarti gembira, misalnya pada kalimat "Kedatangan menteri pendidikan disambut hangat oleh masyarakat setempat".
- Hangat berarti genting atau tegang, misalnya pada klausa "Suasana politik hangat kembali".
- Hangat berarti baru saja terjadi, atau masih baru (tentang peristiwa, kabar), misalnya pada kalimat "Surat kabar itu selalu memuat berita-berita yang hangat".
Selanjutnya, dijelaskan lebih jauh bahwa kata hangat memiliki 268 sinonim atau persamaan kata, dan 19 antonim atau lawan kata. Baik dari sinonim maupun antonim kata hangat, keduanya berguna untuk menambah kosakata yang kita tahu dan memudahkan kita dalam memahami arti kata "hangat", baik melalui persamaan maupun melalui lawan katanya.
Setidaknya, patut dicermati, apakah persamaan yang lebih banyak dari pada lawan kata hangat sekali lagi menunjukkan bahwa umumnya manusia merasa senang bila ia merasa diterima dengan hangat? Siapa tahu memang seperti itu adanya.
Jauh setelah masa kejayaan kerajaan Hindu dan Buddha di Nusantara yang menggunakan Bahasa Sanskerta, ternyata kini kita menemukan ironi yang bahkan bisa membawa celaka, hanya melalui sebuah hal sederhana, mengucapkan "Salam Hangat" dalam sebuah jabat tangan erat.
Maka, tidakkah menarik untuk memahami makna sebuah pertistiwa teraktual sekalipun dan dampak yang diakibatkannya dengan menggali akar kata yang menjadi ungkapan ekspresi atau respons manusia atas peristiwa itu?
Sebagaimana halnya perubahan "salam hangat" yang kini selain diucapkan juga cukup ditunjukkan melalui gerakan takjim seperti emoji "person with folded hands" dengan menangkupkan kedua telapak tangan seperti berdoa, dan bukannya dengan saling berjabat tangan (shaking hands), untuk menunjukkan salam hangat atau terima kasih.
Selain emoji "person with folded hands" ini yang disebutkan berasal dari Jepang, dimana pengaruh Buddhisme juga besar.
Satu hal lagi yang menarik adalah, fakta bahwa cara menunjukkan salam hangat dan salam hormat seperti yang kita lakukan saat ini sudah jauh lebih dahulu dilakukan oleh masyarakat Nusantara, sebagaimana ditunjukkan dalam kenyataan pada zaman raja-raja, di masa-masa ketika masih banyak penutur Sanskerta di Nusantara.
Tidak harus mengucapkan salam gharm, cukup salam hangat saja, meskipun harus menyesuaikan dengan situasinya. Salam hangat.
Referensi:
(Sumber: satu)
(Sumber : dua)
(Sumber : tiga)
(Sumber : empat)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI