Sekurang-kurangnya, secara umum anak-anak sekolah di sebagian besar wilayah Indonesia, terutama pada daerah-daerah yang terdampak penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), telah ditetapkan untuk belajar di rumah lebih kurang selama sepekan terakhir.Â
Hal ini sebagai salah satu upaya untuk mencegah penyebaran Covid-19.
Belajar di rumah, adalah sebuah ungkapan yang seolah terdengar sebagai sebuah proses belajar dengan kualitas yang agak lebih rendah ketimbang proses belajar formal di sekolah.Â
Maklumlah, pada zaman sekarang ijazah dari sekolah formal menjadi sesuatu yang menentukan untuk anak dapat melanjut sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, bahkan untuk bekerja nanti.
Bila demikian halnya, bukankah itu sama saja kesannya dengan menyerahkan pendidikan anak-anak hampir dalam segala aspeknya kepada sekolah semata?Â
Baca juga : Kesulitan Guru dalam Melaksanakan Proses Belajar Mengajar di Masa Pandemi
Maka apa yang menarik dari timbulnya kebijakan agresif di bidang pendidikan ini sebagai upaya pencegahan atas pandemi Covid-19 untuk menjadi sebuah perenungan kembali?Â
Mengingat kita belum bisa mengetahui dengan pasti sampai kapan anak-anak ini perlu belajar di rumah, menunggu situasi kembali benar-benar aman untuk mereka kembali belajar di sekolah.
Menarik untuk direnungkan, mengapa sejak dulu di sekolah-sekolah dasar misalnya, kita diajarkan sebuah ungkapan yang mengatakan "Kejarlah ilmu sampai negeri China".Â
Bukan hanya untuk sekadar menghubungkan kebijakan belajar di rumah ini sebagai akibat pandemi virus Corona yang berawal dari sebuah pasar hewan-hewan liar di Wuhan-China, pada tahun 2019 yang lalu.
Belajar dari buku "Pembahasan Budi Pekerti Di Zi Gui, Menuju Kehidupan Bahagia", yang ditulis oleh penuturnya, Guru Cai Li Xu, bahwa pada zaman dahulu, orang tua di China berpendapat bahwa pembentukan perilaku luhur dan etika harus diutamakan, baru kemudian mempelajari ilmu lain.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!