Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Estomihi: Jadilah Bagiku Gunung Batu Tempat Perlindungan

24 Februari 2020   11:55 Diperbarui: 24 Februari 2020   14:10 407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bang Ginting dan anak-anaknya, bersama karung bototnya (Foto: Dokpri)

Selesai mengikuti apel pagi pada hari ini, aku bergegas kembali ke rumah mengambil telefon genggam yang ketinggalan dengan berjalan kaki. Akhir-akhir ini, aku sudah sering sekali meninggalkan sesuatu tanpa sengaja, atau lupa menaruh sesuatu entah di mana. Apakah ini ada hubungannya dengan demensia yang datang terlalu dini, aku tidak tahu.

Padahal aku sering menulis di Kompasiana. Bukankah menulis dan menikmati kopi, katanya adalah dua hal dari sekian banyak cara untuk mencegah agar demensia tidak datang menimpa sejak dini?

Karena jarak ke rumah hanya sekitar 500 meter, aku hanya perlu berjalan kaki pulang balik 1 kilometer. Dalam perjalanan kembali ke kantor aku melihat seorang bapak dengan pakaian lusuh dengan dua anak balitanya. Sungguh, mereka bukan sedang berjemur saudara.

Karena tidak tega mewawancarainya terlalu dalam, aku tidak sempat menanyakan namanya. Aku sebut saja namanya bang Karoja, singkatan dari Karo dan Jawa. Dia adalah seorang keturunan suku Jawa yang sudah dianggap bermarga Ginting di keluarga mertuanya. Istrinya adalah seorang dari klan marga Tarigan. Kalau di adat budaya suku Karo, perempuan dari klan marga Tarigan di sebut Beru Tarigan. Istrinya wanita suku Karo dari marga Tarigan, begitulah singkatnya.

Karena isrtrinya Beru Tarigan dan aku adalah seorang bermarga Tarigan, jadi dalam sistem sosial budaya Karo, maka aku menjadi "Kalimbubu"-nya. Kalimbubu adalah pihak keluarga istri kita yang marganya sama dengan istri kita. Dalam pandangan hidup suku Karo, Kalimbubu disebut juga "Dibata ni Idah", artinya "tuhan yang tampak". Jadi dalam konsep falsafah hidup pun, Kalimbubu yang disebut sebagai "Dibata ni Idah" adalah sumber "Pasu-pasu" atau berkat (bahasa Indonesia) kepada pihak "Anak beru" atau menantunya. Kalimbubu adalah sejenis saluran berkat, demikian singkatnya

Tanpa maksud melakukan sinkretisme untuk mencampuradukkan konsep budaya dan agama, sebetulnya konsep "Dibata ni Idah" ini memiliki kesamaan hubungan dengan penemuan Paulus saat ia berkeliling dalam perjalanan penginjilannya di Kota Roma. Di sana, Paulus menemukan sebuah kuil dengan persembahan yang ditaruh pada altar dengan tulisan "Kepada Tuhan yang tidak dikenal".

Lalu bila ada Tuhan yang tidak dikenal, bukankah itu berarti menurut mereka ada tuhan-tuhan yang dikenal? Dalam artian konotatif, aku memaknai bahwa tuhan-tuhan yang dikenal menurut mereka itu adalah sebuah konsepsi falsafah hidup yang dibuat oleh manusia, sepanjang dan sejauh indera dan akal bawaannya sendiri mampu mendefinisikannya. Mungkin tuhan yang seperti itu dirasakannya lewat perbuatan-perbuatan konkret, mulai dari hal-hal yang kecil seperti kebaikan-kebaikan kecil setiap hari.

Seperti saat menyeberangkan seorang nenek tua di jalan raya yang ramai, memberi uang recehan ke pengamen dan pengemis yang kumal, hingga hal-hal yang besar, namun masih terselami oleh manusia, seperti yang tampak pada hujan, angin, petir dan awan-awan, yang sekalipun tampak digerakkan oleh kuasa yang besar, tapi masih mampu dijangkau ide dan akal manusia.

Namun, sering juga terjadi sesuatu yang secara ide dan akal bawaan tidak mampu lagi didefinisikan oleh manusia. Dalam bentuk yang seperti itulah barangkali orang Roma membuat sebuah kuil dengan altar persembahan bagi Tuhan yang tidak dikenal. Dari mana logikanya, misalnya seseorang yang sudah sangat disakiti tapi masih tetap mampu mengasihi dan mencintai, atau seorang yang sakit parah dalam kemiskinannya mendapatkan kesembuhan dari pertolongan seseorang yang tergerak hatinya untuk membantu. Dia, yang oleh orang Roma dulu disebut sebagai Tuhan yang tidak dikenal, justru terasa lewat tangan, kaki, mata dan hati manusia-manusia yang tergerak oleh cinta, oleh kasih.

Paulus sendiri adalah seorang Rasul dalam keyakinan Kristen, yang bukan murid Yesus. Sementara kota Roma yang dikunjunginya adalah sebuah pusat peradaban manusia yang hidup dengan pengaruh kuat filsafat Yunani, dimana sudah ada pengetahuan tentang gejala-gejala alam, pengetahuan sosial dan seni, serta dengan keyakinan kepada banyak dewa-dewi.

Bang Karoja dan istrinya sehari-harinya bekerja mengumpuli "botot" atau barang-barang bekas yang masih bisa dijualkan ke pengepul atau penampung barang-barang rongsokan. Hari ini aku melihatnya membawa sebuah karung goni plastik yang besar berisi botol-botol minuman kemasan yang barangkali dia kumpulkan dari jalanan dan dari tempat-tempat sampah yang dia lalui sambil menggendong si bungsu dan menuntun anak sulungnya, yang keduanya tampak luar biasa dengan sorot matanya yang berbinar.

Bang Ginting dan anak-anaknya, bersama karung bototnya (Foto: Dokpri)
Bang Ginting dan anak-anaknya, bersama karung bototnya (Foto: Dokpri)

Kembali ke kenyataan Roma, siapakah yang mampu membuat kedua bola mata dua orang bocah balita anak Bang Karoja, yang hidup dalam kemiskinan dan keterbatasan tampak sangat berseri, kalau bukan Tuhan yang dikenali lewat kasih kedua orang tuanya yang masih saja setia mendulang asa di antara barang-barang bekas dan bau busuk tempat-tempat sampah yang mereka sambangi secara bergantian setiap hari? Kalau hari ini istrinya mencari botot ke arah pasar dan bang Karoja ke arah perumahan, besok sebaliknya, dengan kedua anaknya tetap ikut bersama mereka.

Saat aku lewat, bang Karoja yang mengumpuli botot sambil menjaga anaknya, tampak sedang mengganti popok anak bungsunya dan menyiapkan susu dalam botol susu formula untuk bayi. Ia membaringkan anaknya, di emperan teras rumah dengan alas kain gendongannya.

Sementara anak sulungnya yang berumur 3 tahun, bermain-main di sekitar kedua sanak keluarganya itu, tetap dengan sorot mata cerah dan senyumnya yang ceria. Seolah tidak mau tahu dengan kerasnya kehidupan yang sedang mereka jalani, berbekal perlindungan dari bapak dan ibunya, yang sebenarnya juga membutuhkan tembok perlindungan dari kerasnya kehidupan. Ya, apalagi cuaca saat inipun sangat dingin pada malam hari dengan angin yang berhembus cukup kencang. Entah bagaimana keluarga ini mampu melewati semua hari hanya dengan berbekal beberapa kilogram "sampah-sampah" kemasan plastik yang mereka kumpulkan setiap hari.

Kutanya, "Sudah makan Pak?" jawabnya, "Sudah Pak, tadi ada dikasih sama orang".

Teringat kepada ibadah kebaktian Minggu pagi sehari yang lalu, saat pendeta berkhotbah bahwa tidak ada seorang manusiapun yang bisa lepas dari masalah dalam hidup. Oleh sebab itu, manusia membutuhkan perlindungan. Seringkali dijumpai dalam kenyataan, 10 sukacita yang dialami dapat dikalahkan oleh 1 saja penderitaan dan masalah dalam hidup.

Manusia yang sedang tidak dirundung masalah sebenarnya bertanggung jawab membawa sesamanya yang sedang dirundung masalah datang meminta perlindungan ke hadapan Tuhan. Barangkali, begitu juga maksud Kristus kepada murid-murid dan orang-orang yang mendengar khotbahnya saat Ia mengatakan "Apa yang engkau perbuat kepada salah seorang saudaraku yang paling hina, itulah yang engkau perbuat kepadaku". Bukankah sulit untuk memahami, bagaimana seseorang bisa mengatakan bahwa ia mencintai Tuhan, saat saudaranya sendiri yang tampak di depan matanya tidak mampu ia cintai?

Kalau Paman Ben pernah berpesan kepada Peter Parker keponakannya yang adalah sang Spiderman, bahwa "Di dalam kekuatan yang besar terkandung tanggung jawab yang besar", maka dalam kaitan ini bisa juga dikatakan bahwa "Dalam berkat yang melimpah terkandung tanggung jawab yang besar". Bila ditimbang-timbang, dalam kehidupan ini hampir tidak relevan dalam setiap hal bagi setiap seorang yang hidupnya diberkati dengan melimpah untuk berkata: "Ini bukan urusanku, atau itu bukan urusanku". Justru dalam tanggung jawab bersama untuk mengatasi masalah bersama umat manusia, dari sanalah nilai dari frasa "sesama manusia" menjadi relevan.

Bahkan juga bagi orang gila sekalipun. Benarkah orang gila tidak berpikir? Jika manusia adalah apa yang mereka pikirkan, dan orang yang tidak berpikir bukan manusia, sehingga dengan demikian orang gila menjadi tidak memenuhi kriteria untuk dikatakan sebagai manusia, dan bahwa manusia tidak ada yang lepas dari masalah, bukankah itu berarti "Orang gila adalah orang yang lepas dari masalah"?

Tapi siapakah sesamanya kalau orang gila dianggap tidak memenuhi kriteria untuk dikatakan sebagai manusia yang punya sesama? Atau jangan-jangan sesamanya pun mungkin adalah orang-orang yang juga dipandang gila lainnya? Mereka yang dipandang gila, sebagaimana diangkat dalam novel Norwegian Wood, karya Haruki Murakami, sebenarnya memiliki kelebihan, karena mereka sadar mereka gila, bukan dalam artian pura-pura gila. Dan karena itulah mereka berobat.

Buktinya, sering kali mereka yang dipandang gila justru tidak mendendam seperti manusia "normal". Mereka tidak membalas kejahatan dengan kejahatan, tidak memperhitungkan balasan budi "gila"nya. Itu adalah apa yang tidak dimiliki oleh manusia normal dan sesamanya, yang sering kali justru tidak menyadari kalau mereka gila.

Memang ditemukan juga dalam kenyataan, bahwa semakin mendekat ke Tuhan bukan berarti memberikan jaminan  bahwa hidup pasti akan jauh dari masalah. Tapi sebaliknya, mendekatkan diri ke Tuhan itu berarti mendekatkan diri kita ke sumber perlindungan dan sumber kekuatan untuk menghadapi persoalan-persoalan dan masalah-masalah yang datang dalam hidup.

Minggu 23 Februari 2020 yang lalu, bagi umat Kristen adalah minggu pertama dari rangkaian minggu-minggu Passion sebelum Paskah. itu adalah minggu-minggu untuk merenungkan jalan penderitaan yang harus dilalui oleh Yesus Kristus untuk mendamaikan manusia yang sudah jatuh ke dalam dosa dengan Tuhan. Minggu Passion yang pertama disebut juga Estomihi, yang artinya "Jadilah bagiku gunung batu tempat perlindungan" (Mazmur 31 : 3b).

Apa yang bisa aku beri mungkin tidak cukup meskipun hanya untuk beberapa jam ke depan Bang. Karena itu, marilah kita makin dekat kepadaNya agar kita menerima keselamatan, dan katakan : "Sendengkanlah telinga-Mu kepadaku, bersegeralah melepaskan aku! Jadilah bagiku gunung batu tempat perlindungan, kubu pertahanan untuk menyelamatkan aku!" 

TUHAN memberkati engkau dan melindungi engkau; TUHAN menyinari engkau dengan wajah-Nya dan memberi engkau kasih karunia; TUHAN menghadapkan wajah-Nya kepadamu dan memberi engkau damai sejahtera. (Bilangan 6:24-26)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun