Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Nur Afandi dan Paradoks Manajemen Karir, Kisah Lain di Balik Seleksi Calon PNS

8 Februari 2020   03:06 Diperbarui: 9 Februari 2020   09:06 1191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sela pelaksanaan Seleksi Kompetensi Dasar (SKD) dalam rangka penerimaan Calon PNS Formasi Tahun 2019, di antara personil yang terlibat langsung sebagai panitia maupun yang tidak langsung sebagai personil pendukung, adalah seorang petugas kebersihan yang menyumbang gagasan kreatif untuk mengisi waktu jeda saat tidak bertugas dengan kegiatan yang tidak saja bermanfaat untuk mengusir rasa bosan dan lelah, tapi juga menghibur personil panitia dari unit kerja lainnya.

Adalah Nur Afandi, seorang petugas kebersihan pada Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Karo, yang sehari-harinya bertugas menyapu jalan, dan selama 8 hari pelaksanaan SKD ditugaskan menjaga kebersihan lingkungan dan ruangan-ruangan yang dipakai oleh 7.386 pelamar yang ikut ujian sejak tanggal 4 hingga 11 Februari 2020.

Pengalaman bekerja selama lebih kurang 3 tahun pada Dinas Kebersihan Kabupaten Karo (sebelum berubah menjadi Dinas Lingkungan Hidup) sejak tahun 2012 hingga 2015, membuat penulis paham betul karakteristik pekerjaan dan gambaran umum profil para pekerjanya. 

Hidup dalam segala keterbatasan, ditambah image masyarakat yang memandang rendah pekerjaan jenis ini, di samping risiko kerja yang tinggi, baik dari sisi kesehatan maupun keselamatan kerja, adalah beberapa persoalan yang melekat erat bagi orang-orang yang bekerja membersihkan jalanan dari sampah-sampah yang sebagian besar diakibatkan oleh pola perilaku hidup masyarakat yang belum sadar dengan pentingnya arti menjaga kebersihan lingkungan.

Hal ini belum termasuk soal kesejahteraan yang secara umum masih tetap menjadi persoalan jenis profesi orang-orang yang dipekerjakan, istilah keren untuk kaum buruh, termasuk Aparatur Sipil Negara (ASN) di berbagai belahan bumi negara-negara dunia ketiga dan negara berkembang. Namun, ada pesan terselip dalam contoh kisah hidup seorang Nur Afandi, yang bukan seorang ASN, tapi ikut mendukung rangkaian proses manajemen ASN dari sisi rekrutmen.

Sekilas melihat parasnya, barangkali yang tergambar adalah sosok seorang buruh sebagaimana umumnya, dengan personality profile berpendidikan rendah, acuh tak acuh dengan masalah tata krama dan sopan-santun, pokoknya jauh dari adab kelas kaum priyayi. Itu adalah kaum para pangreh praja feodalis hasil didikan adab modern zaman kolonial. 

Pejabat yang suka tampil necis, dengan olesan pomade yang tebal di rambut nya yang tipis, dan wewangian di tubuhnya yang tercium sejak pintu mobil dinasnya dibuka oleh jongos.

Namun, begitulah ungkapan klasik menemukan relevansinya dalam kenyataan saat bertemu dengan seorang Nur Afandi. Jangan menilai sebuah buku dari sampulnya. Tidak selalu seorang buruh berarti rendah selusuh penampilannya.

Nur Afandi memang hanya mengecap pendidikan hingga bangku SMP, tapi soal kemampuan intelegensia barangkali ia mampu bersaing dengan sebagian besar peserta ujian Calon PNS yang sedang berpacu dengan waktu dan bersaing dengan sesama pelamar di ruang-ruang ujian yang dibersihkannya mulai sejak subuh sebelum peserta ujian datang hingga mereka pulang usai ujian.

Hingga hari keempat, pada Jumat, 7/2/2020 yang lalu, tercatat nilai Tes Intelegensia Umum (TIU) yang merupakan salah satu sub kompetensi dasar yang diuji, paling tinggi yang diraih peserta ujian adalah 170, hanya salah satu dari keseluruhan soal. Namun, walaupun tidak setinggi itu, atau bisa juga sama, bahkan lebih tinggi, kecerdasan intelektual Nur Afandi boleh dibilang cukup memukau panitia yang dia hibur di sela waktu jeda dengan bermacam variasi permainan angka.

Nur Afandi mampu menebak angka-angka dengan kombinasi hingga puluhan digit, dengan berbagai variasi permainan. Penulis sendiri diajak olehnya memainkan dua permainan tebak angka dan satu permainan pola matematis dengan alat peraga.

Barangkali itu memang permainan sederhana, karena pola dan rumus deret yang baku dan sudah dipahami akan memberikan jawaban yang tepat untuk setiap kombinasi. Namun, kecepatan seseorang dalam membaca pola dan deret, baik deret angka maupun geometrik, tentu berhubungan erat dengan tingkat kecerdasan seseorang.

TIU sendiri erat kaitannya dengan kemampuan verbal meliputi analogi, silogisme dan analitik. Juga berhubungan dengan kemampuan numerik yang meliputi kemampuan berhitung, deret angka, perbandingan kuantitatif dan soal cerita. Di samping itu juga berhubungan dengan kemampuan figural meliputi ketidaksamaan dan serial.

Barangkali apa yang berbeda dengan para pelamar calon PNS ini dari seorang Nur Afandi adalah ia tidak mengetahui istilah akademik dari potensi diri yang ia miliki, karena tidak pernah mengecap megahnya "altar suci" akademika di bangku kuliah. 

Dunia akademik sendiri tidak kurang dari sejuta paradoks yang melingkupinya, terutama dalam adab orang-orang di belahan bumi dengan generasi sarimin yang ketagihan kuliah, dalam istilah di bukunya Rhenald Kasali, Change! Kuliah demi selembar ijazah, STTB, surat tanda tamat tapi bodoh.

Memang tidak semua seperti itu, hanya sekadar gambaran bahwa kulit tidak selalu menentukan isi. Bukan masalah siapa dan dimana ia berada yang utama, tapi bagaimana ia menjalankan perannya. 

Bukankah dari sana asal ungkapan bahwa emas akan selalu menjadi emas sekalipun di dalam lumpur? Meskipun pada diri manusia ada juga emas yang menjadi suasa dalam lingkungan lumpur yang feodalistik seperti pada diri Nur Afandi. Kalau bukan dijajah oleh orang lain atau kultur, bisa saja manusia terjajah oleh pikirannya sendiri.

Demikianlah sedikit cerita di balik layar pelaksanaan SKD dari sub kompetensi intelegensia umum. Mungkin sisa empat hari tes SKD ini akan menghadirkan juga kisah unik, menarik, menghibur dan inspiratif, atau bahkan tidak menarik dari sub kompetensi Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), maupun Tes Karakteristik Pribadi (TKP), dalam diri orang-orang luar biasa atau tingkah-tingkah konyol dan kejadian-kejadian unik di sekitar seleksi kompetensi untuk menjaring orang-orang yang lulus dengan maksud membangun karir. Sebuah paradoks.

Referensi:
Permanpanrb Nomor 23 Tahun 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun