Dengan mata airnya yang melimpah, air yang jernih dan segar, ditambah iklim yang hangat dan lembab ditandai ciri khas vegetasi dataran rendah seperti pohon kelapa, sawo dan durian, membuat acara mandi-mandi dan berendam di tempat ini sebagai sebuah kesempatan yang menyenangkan untuk menenangkan sekaligus mendinginkan kepala dan badan yang panas.
Di samping juga adanya kawanan monyet yang barangkali adalah penghuni asli kawasan ini. Sebagaimana umumnya di sekitar mata air atau hulu sungai, itu seringkali menjadi habitat alamiah bagi hewan primata yang dipercayai oleh kaum Darwinian sebagai kerabat dekat manusia, yang hidup dalam ruang dan waktu yang memuai dan menciut bergantian.
Teman kami yang mengajak berkunjung ke tempat bermain masa kecilnya ini sudah berusia sekitar 33 tahun. Menilik dari ceritanya bahwa tempat ini adalah tempat bermain masa kecilnya, maka barangkali itu adalah masa dimana ia masih duduk di bangku SD, sekitar 27-28 tahun yang lalu.
Dengan kata lain, setidaknya sejak rumah pompa di sumber mata airnya itu dibangun oleh orang Belanda pada tahun 1940-an, yang mana itu adalah sekitar 70-80 tahun yang lalu, maka orang-orang mungkin sudah mengenal tempat ini sebagai tempat pemandian yang asri selama lebih kurang 30-40 tahun.
Hal ini mungkin menjelaskan, mengapa akses ke tempat ini seperti kurang terawat. Pengunjung juga kurang menyadari arti penting kebersihan, tampak dari banyaknya pengunjung yang membuang sampah sembarangan bahkan ke dalam pemandian, padahal sudah ada tempat-tempat sampah yang disediakan oleh pemilik pondok.
Sempat saya tanyai, sebagian dari pengunjung ada yang berasal dari kota Medan, dari Asahan dan dari pegunungan di Tanah Karo seperti saya, yang memang berbatasan dengan Kabupaten ini.
Barangkali, kawanan monyet dari pepohonan di sekitar tempat itu sekalipun tidak mengganggu, tetapi sesekali tampak memonyongkan moncongnya seperti mengejek pengunjung yang jahil, mungkin merasakan terjadinya perubahan pada habitat alaminya ini dari kondisi pada 70-80 tahun yang lalu, saat pertama kali "manusia putih dari Eropa" disaksikan oleh nenek moyang mereka membangun hunian buatan yang tampak asing bagi mereka.
Namun, monyet yang dengan tingkat kemampuan berpikir dan kesadaran alamiahnya mungkin tidak mampu membahasakan perubahan yang mereka rasakan, sebagai sebuah dampak buruk dari spektrum ruang dan waktu yang memuai dan menciut dalam sebuah laju kontinum.
Maka, adalah sebuah jalan yang arif, apabila manusia sendiri yang katanya adalah makhluk dengan karunia akal budi lebih baik di atas makhluk hidup lainnya, lebih bertanggung jawab atas kelestarian dan kesinambungan lingkungan di sekitar tempat ini.