Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Muka Songong dan Moncong Serong Manusia Gosong

14 Januari 2020   14:11 Diperbarui: 14 Januari 2020   21:27 1277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Walaupun tentu saja, dengan mengherankan hampir semua manusia juga akan sepakat mengatakan bahwa mengingkari integritas bukanlah suatu hal yang manusiawi. Mengapa tidak manusiawi?

Karena dalilnya adalah, bila lembu yang dipegang adalah tali kekangnya, maka dari seorang manusia yang bisa dipegang seharusnya adalah ucapan atau janjinya. Lalu, kalau ada manusia yang tidak bisa dipegang ucapan atau janjinya, apakah itu manusiawi? Entah apa maunya manusia ini?

Penggunaan frasa jasad manusia gosong dalam tulisan ini bukanlah dalam makna sebenarnya untuk tujuan peyoratif yang merendahkan, melainkan hanya metafora lukisan yang berdasarkan perbandingan dalam memaknai kemanusiaan yang hidup dan kemanusiaan yang mati.

Sesuatu yang mati tidak mungkin diuji integritasnya, karena bagaimana mungkin menilai integritas sebuah meja atau kursi, sementara benda itu tidak akan pernah mampu berbicara dan bertindak? Bagaimana mau menilai apakah itu atau ini jujur atau berbohong? Sebaliknya, sekalipun seorang insan manusia tampak hidup, tapi tanpa integritas sebenarnya dia sudah mati.

Sesesorang bisa saja selamat bahkan dengan membohongi sesamanya manusia berkali-kali, tapi ia tidak akan bisa membohongi dirinya sendiri, sekuat apapun ia menyangkalnya. Bila ia mampu menyangkal suara hatinya sendiri, lalu apa bedanya dia dengan jasad yang sudah mati?

Setidaknya pengalaman teman saya di pemadam kebarakan menunjukkan hal itu melalui bau jasad gosong manusia yang lebih bau dari jasad makhluk-makhluk hidup lainnya yang terbakar. Tanpa mengesampingkan empati dan simpati kepada korban-korban kebakaran, melainkan hanya metafora untuk menggali kedalaman penampilan, perkataan dan tindakan manusia yang sungguh misterius. Maka tidak heran mengapa manusia bermuka songong dengan moncong serong sungguh sangat bau, apalagi bila ia gosong.

Benar bahwa tidak ada manusia yang sempurna, tapi benar juga bila mengutip Soe Hok Gie, bahwa jauh lebih baik hidup diasingkan dari pada menyerah pada kemunafikan. Munafik adalah jenis kesongongan yang sungguh sangat serong.

Bila diandaikan dengan bumbu masakan, kemunafikan itu barangkali sama dengan santan, yang dimaksudkan untuk menambah enak makanan, tapi juga sebenarnya adalah zat pembunuh yang membunuh dalam senyap secara perlahan, melalui kolesterol dan diabetes. Yang penting adalah bagaimana berusaha agar tidak songong, tidak serong, apalagi jadi gosong.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun