Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama FEATURED

Makna Natal yang Melampaui Cinta Barsoom dan Jasoom

25 Desember 2019   20:19 Diperbarui: 25 Desember 2020   08:57 3397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dekorasi Lilin dan Pohon Natal di altar gereja (Foto Dokumentasi GBKP Simpang VI Kabanjahe)

"Ock okheim octei weis Barsoom" demikianlah John Carter dari Virginia mengucapkan mantera sambil memegang medali sakti dan kemudian tiba-tiba entah bagaimana dia bisa sampai di Barsoom. Itu adalah nama lain planet Mars, yang pada masa itu telah didiami oleh manusia. Mars terpisah 401 juta kilometer jauhnya dari Bumi.

Orang Barsoom menyebut Bumi sebagai Jasoom. Orang-orang seperti John Carter yang bisa bepergian seenaknya antara Barsoom dan Jasoom dimungkinkan karena mereka memiliki medali sakti yang berperan sebagai teletransporter dengan kecepatan yang mungkin melampaui kecepatan cahaya.

John Carter dari Virginia menemukan belahan jiwanya di Barsoom, setelah sebelumnya lama menduda ditinggal mati istrinya yang meninggal bersama anak mereka ketika rumah mereka terbakar. 

Adalah Dejah Thoris, seorang puteri pewaris tahta Raja Jasoom, yang disebut oleh Carter sebagai Princess of Mars. Dia menjadi alasan Carter untuk memilih berpura-pura seolah sudah mati di Bumi, dan meminta keponakannya untuk menjadi pengawas "makamnya" yang dikunci dari dalam.

Itu adalah cara Carter untuk bisa seterusnya tinggal bersama dengan kekasihnya di Barsoom. Kisah tentang John Carter of Earth (Virginia) dan Dejah Thoris, Princess of Mars ini, tentu saja adalah kisah fiksi, dari sebuah film produksi tahun 2012 yang berjudul "John Carter" adaptasi dari novel "Princess of Mars."

Namun, ada sebuah pesan dari Carter kepada keponakannya sebagai pintu masuk yang sulit bagi tulisan ini, katanya "Berhasratlah akan sesuatu, jatuh cinta, dan tulislah buku." Tidak dijelaskan lebih jauh mengapa ketiga hal itu yang harus menjadi pesannya kepada keponakannya sebelum ber-disapparate, istilah dalam film Harry Potter untuk orang-orang yang berpindah tempat dengan kecepatan super melampaui kecepatan cahaya secara misterius, ke Barsoom.

Bila ditelisik lebih jauh, memang ada hubungan yang berkesinambungan antara hasrat, jatuh cinta dan tulisan. Hasrat yang kuat akan sesuatu akan menumbuhkan rasa cinta yang sangat kuat terhadap sesuatu itu, dan bagi sebagian orang, tidak ada cara yang lebih baik untuk mengabadikan rasa cinta yang seperti itu selain melalui tulisan.

Bukankah filsafat sendiri menjelaskan tentang pengenalan ciri manusia dengan kata kunci filsafat, bahwa untuk menandai masyarakat dengan budaya beraliran romantisme cukup menanyakan apa yang disukainya, maka kita dapat mengetahui dari mana dia berasal?

Barangkali pesan Carter kepada keponakannya dalam film fiksi Man of Mars itu bisa dimaknai sebagai pesan moral terselip, bahwa orang Bumi adalah manusia yang jatuh cinta pada budaya menulis. Hehe.

Lalu, sekalipun mungkin penghubungan pesan itu sedikit agak memaksa, maka tulisan ini adalah sebuah bentuk pengungkapan hasrat menulis tentang sebuah momen cinta kasih, tentang Natal.

Sudah umum orang saling berkirim ucapan selamat natal dengan menyelipkan harapan-harapan, agar kiranya Natal membawa damai dari sorga turun ke bumi. Namun, sudahkah sesungguhnya demikian adanya? Atau adakah kedamaian yang bisa tercipta melalui perayaan natal?

Tidak sedikit orang yang merasakan kehampaan dalam perayaan natal. Ibadah dan perayaan yang akan selalu berulang setiap tahun ini bahkan ada yang sudah merasakannya sebagai beban. Terlalu banyak hal yang prosedural dan seremonial, banyak biaya yang dibutuhkan, sehingga pada masa ini semua orang akan tampak menjadi malaikat yang menyilaukan dengan segala perlengkapannya yang kosmetis.

Bila demikian halnya, maka bisa jadi semakin banyak perayaan natal hanya akan menumpuk semakin banyak kehampaan bagi sebagian. Mengapa demikian? Memang akan tetap ada jenis golongan manusia yang menikmati hal seperti apa pun. 

Bukankah dunia menjadi kacau, sehingga juru selamat perlu datang mendamaikannya, adalah karena untuk setiap pilihan selalu saja ada pendukungnya, entah itu benar atau tidak? Di sana, di Jasoom dan Barsoom mungkin, bukan lagi soal benar atau tidak yang menentukan suatu pilihan, melainkan apakah aku menyukai yang ini atau yang itu. Itu saja.

Juru selamat yang adalah Gembala yang Baik itu, tidak menginginkan satu pun dombanya tersesat. Bila satu saja tersesat, Ia akan memberikan perhatian khusus padanya untuk mencari yang satu itu sampai dapat. Bahkan bila perlu meninggalkan yang sembilan puluh sembilan lainnya yang sudah aman di kawanan.

Bila melihat lebih luas dalam konteks Indonesia pun, tidak kurang persatuan Indonesia masih saja bergulat dengan isu nasionalisme dan keberagaman. Sehingga menjadi benarlah yang disampaikan oleh Muhammad Hatta, bahwa untuk menjadi Indonesia, yang disebut oleh Sukarno sebagai Taman Sari Peradaban Dunia, haruslah kita mempunyai keluasan mental dan keluasan kerohanian seluas wilayah Indonesia. Tidak lain karena Indonesia adalah taman sari peradaban dengan begitu banyak keberagaman.

Menyadari hal itu, untuk menyerukan keprihatinannya, maka Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) mengusung tema bersama Natal Tahun 2019 "Hiduplah sebagai Sahabat bagi Semua Orang" (Yoh 15: 14-15). Tema ini sangat relevan untuk merefleksikan esensi cinta kasih dalam semangat natal di tengah tantangan isu nasionalisme dan keberagaman kita.

Kegagalan mewujudkan esensi cinta kasih natal yang lebih tampak menjadi sekadar ritual seremonial, hanya akan membawa kehampaan yang terjadi berulang-ulang setiap tahunnya bagi mereka yang merayakannya. Bila demikian halnya, maka sudah bisa kita duga-duga, apa lagi yang mungkin akan dirasakan oleh mereka yang tidak merayakannya?

Seperti kata Pendeta AA. Yewanggoe, mantan Ketua Umum PGI dan saat ini merupakan salah seorang anggota dalam Badan Pengarah Ideologi Pancasila, bahwa soal ucap mengucapkan selamat natal ini bukanlah sebuah hal yang perlu diatur-atur, semua orang dari segala kalangan harusnya sudah cukup dewasa untuk memilih mengucapkan atau tidak mengucapkannya.

Hal yang esensial lainnya dalam hal ini bukanlah soal partisipasi dan boleh tidaknya hal ucap mengucap soal natal, tapi sudahkah kedewasaan untuk memilih ikut mengucapkan atau tidak itu diikuti oleh kedewasaan manusia Indonesia, yang adalah Taman Sari Peradaban Dunia dengan segala keberagamannya, mampu memberikan ruang dan waktu bagi mereka yang ber-Natal di taman sari peradaban dunia itu untuk merayakannya?

Bila kita tidak dewasa memilih hal yang esensi, maka bisa kita bayangkan, kata kunci filsafat romantisme akan membawa kita kepada sebuah kesimpulan berdasarkan hal-hal yang kita sukai, dari manakah kita ini berasal? 

Di saat kita seharusnya merasa dan memang demikian kenyataannya, bahwa "kau saudaraku dan kau sahabatku, tiada yang dapat memisahkan kita", tapi ada yang merasakan tidak demikian halnya, maka janganlah kiranya Indonesia dikenali dari apa yang kita sukai saat ini.

Sebaliknya, perayaan Natal harusnya dapat menjadi momentum untuk mengubah benci menjadi kasih, curiga menjadi atensi, dan pertikaian menjadi obrolan antar sahabat. Sama seperti Jesus yang kelahirannya diperingati melalui Natal, mengambil rupa sebagai manusia bahkan dalam sosok seorang hamba, hanya untuk bisa mengobrol, bercakap-cakap dengan manusia yang sudah berkubang dengan dosa. 

Manusia berdosa tidak mungkin menggapai Dia yang kudus. Demikianlah, manusia Indonesia pun membutuhkan ruang dan waktu yang memadai untuk bisa saling bercakap-cakap tentang segala hal yang baik dan berguna. Adakah yang bisa dikatakan sebagai sahabat bila tidak pernah saling bertukar cerita?

Manusia yang berdosa tidak akan bisa menemui Dia yang kudus hanya dengan merapal mantra "Ock okheim octei weis Barsoom" atau "Ock okheim octei weis Jasoom". Natal yang mampu melahirkan semangat persahabatan hanya bisa lahir melalui cinta kasih, yang di dalamnya sudah terkandung ketekunan, ketabahan dan pengorbanan dalam hubungan antar sesama.

Selamat natal. Kiranya damai sejahtera yang melampaui segala akal akan senantiasa memelihara hati dan pikiran kita, dan membawa damai sejahtera turun bersemayam di antara kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun