Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

"Toilet: Ek Prem Katha", Kalau Menginginkan Istrimu, Kau Harus Punya Toilet di Rumah

15 Desember 2019   02:42 Diperbarui: 15 Desember 2019   03:24 1274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Barangkali begitulah yang terjadi bila suatu negara dengan wilayah yang sangat luas dan penduduk yang sangat banyak, maka akan banyak hal yang terjadi. 

Di satu tempat terjadi hal yang baik, sementara di tempat lain terjadi sesuatu yang buruk. Di satu tempat tampak sudah sangat modern, sementara di tempat yang lain tampak masih sangat primitif. Itu terjadi bahkan di satu negara, pada tempat-tempat yang saling berdekatan, tapi dengan kenyataan yang sama sekali berbeda, di India.

Sebuah film drama komedi berjudul "Toilet: Ek Prem Katha" dirilis pada 11 Agustus 2017, dengan sutradara Shree Narayan Singh, dibintangi oleh Akshay Kumar sebagai Keshav dan Bhumi Pednekar sebagai Jaya. 

Film ini bercerita tentang realita sosial dalam bungkus drama percintaan dan komedi yang terinspirasi dari kehidupan warga desa di sekitar Mathura, India, yang sekurang-kurangnya sekitar 80% rumah tangganya tidak memiliki akses terhadap jamban atau toilet.

Keshav yang berumur 37 tahun bekerja di sebuah bengkel sepeda dan sepeda motor dan memiliki seorang kekasih bernama Jaya. Ia adalah seorang perempuan terdidik lulusan perguruan tinggi dari sebuah keluarga yang juga sudah terbiasa dengan nilai-nilai hidup modern, sehingga komunikasi dan cara-cara menyatakan pendapat di antara anggota keluarga berlangsung secara terbuka. 

Sementara Keshav adalah seorang anak yang lahir dan dibesarkan di tengah keluarga golongan Brahman, dengan ayah yang sangat ortodoks dan dengan kaku menegakkan tradisi, bahkan keras dan kejam apabila ada yang menentangnya, sekalipun anak-anaknya.

Keshav sangat mencintai Jaya. Atas dorongan adiknya, Keshav memberanikan diri membujuk ayahnya untuk mengijinkannya menikah.

Saat menyampaikan maksudnya, ayah Keshav menekankan bahwa ia hanya akan memberi restu bila calon menantunya adalah wanita yang juga menjunjung budaya dan agama, sehingga membawa berkat bagi keluarga. Bahkan, secara fisik ayah Keshav memberi gambaran bahwa perempuan dengan dua jari jempol pada sebelah tangannya adalah calon istri yang paling baik. Karena jempol dalam susunan jari adalah simbol untuk api, maka dua jari jempol pada sebelah tangan adalah simbol bagi calon istri yang bisa membawa api terang dan berkat yang lebih lagi bagi keluarga suaminya.

Penekanan atas hal ini adalah salah satu bagian pengajaran moral dalam film ini, yang menjelaskan bagaimana seorang anak yang sebenarnya sudah hidup di zaman yang sudah modern pun, bila hidup dan besar dalam lingkungan keluarga yang sudah terbiasa dengan pemahaman logika mistik yang sudah sedemikian mengakarnya, hanya akan mencari jalan pintas demi menyenangkan orang tua agar harapan dan permintaannya terwujud, sekalipun untuk itu mereka harus membohongi orang tua.

Maka, demi menikah dengan Jaya, Keshav meminta Jaya merajutkan sarung tangan wanita bagi dirinya sendiri dengan dua jari jempol pada tangannya yang sebelah kiri. Dan bermodal jahe yang tampak seperti jari jempol, Keshav menempelkan jempol tambahan di tapak tangan sebelah kiri calon istrinya, demi mendapat restu dari ayahnya.

Semalam berlalu setelah pesta pernikahan itu langsung timbul sebuah masalah. Pada pagi-pagi buta, Jaya dibangunkan oleh wanita-wanita tetangganya. Mau ke lapangan katanya, untuk buang air besar.

Masalahnya adalah, tidak ada toilet di rumah-rumah di kampung itu, bahkan toilet umumpun tidak. Para wanita harus pergi ke sebuah lapangan terbuka bersemak-semak agak jauh dari desa pada pagi-pagi buta kalau hendak buang air besar. Karena kalau sudah siang dan seterusnya itu adalah waktu bagi laki-laki, yang sebenarnya bebas mau melakukannya kapan saja dan di mana saja di kampung itu.

Lapangan terbuka itu sebenarnya tidak jauh juga dari rel kereta api. Jadi sebenarnya masalah toilet itu adalah sebuah masalah sepele yang terjadi di sebuah negara yang sebenarnya juga sudah maju dipengaruhi perkembangan zaman. Namun, masalah toilet ini menjadi rumit, karena bukan saja berbicara tentang bangunan fisik toilet dan seluruh kelengkapannya yang tidak diterima oleh masyarakat desa, tapi karena orang-orang desa itu terperangkap dalam benturan paradigma antara fakta masalah sanitasi, higienitas, kriminalitas, ekologis dengan masalah moral, agama dan budaya yang diputarbalikkan dan disalahgunakan untuk kepentingan dan tujuan tertentu dari masing-masing pihak yang terkait.

Benturan itu tampak dalam pandangan warga desa yang tradisionil terhadap Jaya yang dianggap terlalu banyak pendidikan. Hal itu tidak bagus karena menjadikannya tampak melampaui agama dan budaya.

Jaya yang kecewa karena merasa Keshav tidak jujur dari awal tentang masalah toilet ini, sangat tersiksa bahkan cenderung merasa terhina. Apalagi pada suatu pagi hari buta, saat Jaya sedang berjongkok di semak-semak di dekat selokan pinggir jalan, membuang air besar, lewatlah ayah mertuanya yang sedang mengendarai motor dengan sorot lampu menyala. Mungkin ia pun baru pulang dari membuang hajat di semak-semak bagian lainnya sesaat yang lalu. Jaya memang sempat menutupi mata dan kepalanya tapi tidak mungkin dengan bokongnya. Bapak mertuanya pun terkejut dan terjerembab ke semak-semak.

Sakitnya mungkin tidak seberapa, tapi malunya tentu bukan main malu rasanya. Buktinya sejak saat itu, Keshav pun merasa tidak penting lagi memakai kerudung menutup kepalanya di dalam rumah hanya demi simbol semu budaya untuk menghormati bapak mertua yang bahkan telah melihat bokongnya, dan besok, lusa dan hari seterusnya entah oleh siapa lagi. Ayah Keshav, yang bapak mertua Jaya, tentu saja sangat berang dengan perubahan ini. Ia menganggap sikap ini sebagai sebuah pemberontakan yang sudah sangat melampaui batas.

Jaya juga mengeluh kepada suaminya. Kata Jaya kepada Keshav sudah sejak lahir ia menggunakan toilet, mengapa ia harus mengubah kebiasaannya setelah menikah. Maksudnya mengapa ia harus membuang air besar sembarangan justru setelah menikah.

Keshav mencari sebuah solusi. Setiap pagi ia mengantar istrinya ke stasiun kereta api. Di sana ia bisa menggunakan toilet yang ada di gerbong kereta, yang setiap pagi berhenti selama 7 menit di stasiun itu sebelum melanjutkan perjalanannya. Tapi kata Jaya itu hanya solusi sementara dan tidak menyelesaikan masalahnya. Ia meminta ada toilet di rumahnya.

Bahkan secara terang-terangan, Jaya yang nekad minggat dari rumah mertuanya menggugat nurani wanita-wanita yang sudah menikah lainnya, yang tampak pasrah meskipun diperlakukan diskriminatif hanya atas dasar ajaran agama dan budaya.

Jaya menggugat: "Mengapa hanya perempuan yang harus selalu mengalah sementara lelaki bebas melakukan apa saja yang dia suka? Bila laki-laki bebas buang air besar pada siang hari, mengapa perempuan harus mempertaruhkan harga diri dan bahkan keselamatannya dengan pergi saat hari masih pagi-pagi buta, untuk berjongkok di semak-semak."

Lagi sambungnya: "Bila ada laki-laki yang lewat, kita hanya bisa menutupi mata dan kepala, bukan bokong kita. Dan mereka mungkin hanya akan berkata kepada teman-temannya keesokannya, aku hanya melihatnya sekilas, tapi aku tidak tahu itu siapa, karena aku tidak melihat wajahnya."

Barangkali, perlakuan diskriminatif yang demikian bagi kaum perempuan di India, adalah salah satu penjelasan mengapa sering kali kita dengar ada tindak kriminal perkosaan terhadap perempuan, bahkan anak gadis yang dibakar keluarganya sendiri hanya gara-gara menikah dengan pasangan yang lain kasta misalnya, selain masalah toilet seperti ini.

Gugatan cerai Jaya atas suaminya Keshav hanya karena masalah toilet semakin luas menarik perhatian masyarakat dan juga pemerintah India. Keshav juga tampak memandang hal ini bukan lagi sebatas persolan yang berpeluang membuat ia akan kehilangan istrinya.

Di hadapan sidang dewan desa, ia pun menggugat nurani kepala desa, tokoh budaya, tokoh agama dan juga warga desa. Katanya: "Mengaitkan malu dengan agama, memalukan bagimu bila istriku meninggalkanku dari rumah, tapi tidak malu kalau anak gadis dan istrimu buang air besar di selokan dan lapangan terbuka. Buka kitab sucimu, apakah kewajiban moral kita demi nama budaya dan agama membiarkan istri kita ditonton buang air besar di lapangan terbuka dan merasa pantang membangun toilet di dalam rumah?"

Keshav sempat mencurahkan beban pikiran dan perasaannya kepada sesama temannya. Pernikahan ini katanya membuat hidupnya terasa seperti ada dalam kendi. Ia meyakini bahwa rasa seperti itulah yang membuat para pria yang mengalami masalah di rumah akan mencari solusi di luar rumah.

Tapi ia sungguh sangat bingung. Istrinya hanya membutuhkan sebuah toilet kecil di dalam rumah. Tapi itu pun menjadi masalah. "Aku siap untuk memberi lapangan terbuka, dan hutan belantara tapi ia hanya membutuhkan sebuah toilet kecil di dalam rumah," kata Keshav.

Dalam hal ini, kata adiknya: "Ayah adalah penghalang dalam hidupmu, kau adalah masalah dalam hidupku." Lagi-lagi, ini adalah masalah benturan paradigma yang pertempurannya ada dalam alam pikiran, tidak di alam nyata.

Berperang menantang budaya bukanlah hal yang mudah. Sesuatu yang tidak pernah dilihat tapi mempengaruhi pikiran dan tindakan kita, itu adalah budaya menurut pengertian adik Keshav. "Atas dasar itulah kita memberikan persembahan di kuil dan di rumah ibadah lainnya, termasuk yang menggerakkan kita tetap memilih buang air di lapangan terbuka atas nama budaya dan ajaran agama," kata adik Keshav.

Sebelum sidang gugatan cerai yang diajukan istrinya digelar di pengadilan, Keshav sempat berusaha membangun toilet di rumah orang tuanya, demi mengupayakan agar istrinya kembali pulang. Namun, bersama dengan kepala desa, sang penjaga ajaran agama dan budaya, ayahnya merusak kamar mandi itu pada malamnya setelah toilet itu selesai dibangun.

Pernah juga Keshav menjajaki upaya pembangunan toilet umum ke kantor pemerintah. Kata pejabat di kantor pemerintah itu bahwa dana proyek pemerintah untuk membangun 6 juta toilet selama 5 tahun terakhir sebenarnya telah dikucurkan. Itu memakan biaya 30 miliar, tapi masyarakat desa yang tidak mau atau tidak mau tahu untuk menggunakannya.

Ada warga desa yang membuka usaha jasa cukur rambut di bangunan yang sebenarnya adalah untuk bangunan toilet. Ada juga yang membuka usaha tukang jahit pakaian dan ada yang menjadikannya kandang sapi.

Lalu pejabat pemerintah itu justru membalikkan keadaan, "Siapa yang salah, pemerintah atau warga desa anda yang justru tidak mau menggunakan toilet?" tanyanya kepada Keshav. Maka Keshav pun hanya bisa merasa kecewa. Dari semua orang yang diharapkannya akan bersedia membantu justru yang ia temukan kenyataan bahwa selama suatu masalah tidak menjadi masalah pribadi maka tidak akan ada yang mau berjuang atau mencari solusinya.

Setelah gagal meyakinkan orang tua Keshav yang dari golongan Brahman, yang katanya hidup untuk budaya dan bahkan bersedia mati demi budaya, dan gagal membujuk pemerintah untuk membangun toilet umum ke desanya, maka Keshav dan Jaya, yang sudah mengajukan gugatan cerai, membuat janji temu pada suatu malam.

Mereka sebenarnya saling mencintai, tidak menduga kalau masalah toilet ini akan menjadi serius membawa mereka ke perceraian. Bagi Jaya, apabila ia mundur dari sikapnya, maka ia akan dianggap menyerah dan akan menutup kesempatan bagi wanita di India, siapapun dia dan dengan masalah apa pun, untuk berani bersuara. Wanita-wanita desa itu mungkin hanya akan merasa kalau ternyata Jaya yang pemberontak saja akhirnya tunduk juga pada budaya dan agama.

Namun Keshav menyemangati dia. Bahwa kehilangan kesempatan mencintai Jaya sebagai istri dalam artian sebenarnya tidak akan pernah mengecewakan dirinya, apabila dengan demikian ia justru bisa menyelamatkan lebih banyak lagi kepentingan para wanita di India.

"Lebih baik kehilangan istriku dalam keadaan yang begini, daripada kehilangan dia di semak-semak dan lapangan terbuka" katanya. Itu adalah Jaya yang lebih daripada sekadar istri baginya. Maka mereka pun bersepakat untuk besok bertemu dalam sidang gugatan perceraian di pengadilan, gara-gara masalah toilet.

Dalam masa-masa persidangan itu wanita-wanita di desa Keshav pun semakin berpikir tentang kondisi mereka. Semakin banyak wanita yang berani menyuarakan ketidakadilan yang mereka alami.

Bila dulu sering ada berita tentang pernikahan massal, maka pada masa itu stasiun televisi menayangkan fenomena yang lain, adanya perceraian massal di sebuah desa hanya karena satu alasan sepele yang sama "menuntut adanya toilet di rumah."

Perdana Menteri India menonton tayangan berita itu di televisi. Ketika ia bertanya kepada anak buahnya mengapa hal itu bisa terjadi, jawab anak buahnya: "Karena untuk membangun sebuah toilet hingga sampai di desa harus melewati tujuh kantor, dan itu bisa memakan waktu 11 bulan."

Kata sang Perdana Menteri: "Hanya yang terluka merasakan sakit. Beli 7 kunci untuk mengunci 7 unit toilet di kantor ini. Supaya orang sekantor merasakan apa yang dirasakan orang desa itu."

Dalam sidang pembacaan vonis atas kasus gugatan cerai Jaya terhadap Keshav itu, sidang sempat terhenti sejenak. Ada utusan yang katanya membawa surat dari Perdana Menteri India.

Ketua mahkamah pun membacakan putusannya, bahwa pengadilan menolak permintaan cerai, karena Pemerintah menerima permintaan Keshav untuk membangun toilet umum di luar desanya. Dalam sikapnya Keshav memang sejalan dengan Jaya. Kalau Jaya mengancam bahwa bila tidak ada toilet di rumah, maka tidak ada pernikahan. Maka Keshav bersikap, "Kalau kau ingin istrimu, kau harus punya toilet di rumah."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun